Sabtu, 13 Agustus 2011

SKABIES / KUDIS / GUDIK

Dr. Suparyanto, M.Kes

SKABIES / KUDIS / GUDIK

a). Definisi
  • Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch, gudikan, gatal agogo, budukan atau penyakit ampera (Harahap, 2008).
b). Etiologi
  • Skabies disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan, dan didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang menderita penyakit ini. Tungau skabies (Sarcoptes scabiei) ini berbentuk oval, dengan ukuran 0,4 x 0,3 mm pada jantan dan 0,2 x 0,15 pada betina (Brown dkk, 2002).
c). Faktor Risiko
  • Semua kelompok umur bisa terkena skabies. Penularan dapat terjadi melalui kontak fisik yang erat seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual, serta dapat juga melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur (Brown dkk, 2002).
  • Beberapa fakor yang dapat membantu penyebaranya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual (Harahap, 2008).
d). Patogenesis
  • Infestasi dimulai saat tungau betina yang telah dibuahi tiba di permukaan kulit. Dalam waktu satu jam, tungau tersebut akan mulai menggali terowongan. Setelah tiga puluh hari, terowongan yang awalnya hanya beberapa millimeter bertambah panjang menjadi beberapa centimeter. Meskipun begitu, terowongan ini hanya terdapat di stratum korneum dan tidak akan menembus lapisan kulit di bawah epidermis. Terowongan ini dibuat untuk menyimpan telur- telur tungau, kadang- kadang juga ditemukan skibala di dalamnya. Tungau dan produk- produknya inilah yang berperan sebagai iritan yang akan merangsang sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen- komponennya (Habif, 2003).
  • Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun spesifik lainnya belum memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem imun non spesifik yang disebut inflamasi. Tanda dari terjadinya inflamasi ini antara lain timbulnya kemerahan pada kulit, panas, nyeri dan bengkak. Hal ini disebabkan karena peningkatan persediaan darah ke tempat inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin dan mediator lainnya yang berasal dari sel mastosit. Mediator- mediator inflamasi itu juga menyebabkan rasa gatal di kulit. Molekul- molekul seperti prostaglandin dan kinin juga ikut meningkatkan permeabilitas dan mengalirkan plasma dan protein plasma melintasi endotel yang menimbulkan kemerahan dan panas (Baratawidjaja, 2007).
  • Faktor kemotaktik yang diproduksi seperti C5a, histamine, leukotrien akan menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas vaskuler memudahkan neutrofil dan monosit memasuki jaringan tersebut. Neutrofil datang terlebih dahulu untuk menghancurkan/ menyingkirkan antigen. Meskipun biasanya berhasil, tetapi beberapa sel akan mati dan mengeluarkan isinya yang juga akan merusak jaringan sehingga menimbulkan proses inflamasi. Sel mononuklear datang untuk menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan (Baratawidjaja, 2007).
  • Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen (Kresno, 2007).
  • Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th, kemudian akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3b yang merupakan hasil aktivasi komplemen. Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen (Kresno, 2007).
  • Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi akan mencapai kadar protektif yang berlangsung dalam waktu cukup lama. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari (Kresno, 2007).

e). Gambaran Klinik
  • Gejala utama skabies adalah gatal, yang secara khas terjadi di malam hari. Terdapat dua tipe utama lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan ruam. Terowongan terutama ditemukan pada tangan dan kaki, khususnya bagian samping jari tangan dan kaki, sela- sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki. Masing- masing terowongan panjangnya beberapa millimeter hingga beberapa centimeter, biasanya berliku- liku dan ada vesikel pada salah satu ujung yang berdekatan dengan tungau yang sedang menggali terowongan, seringkali disertai eritema ringan (Brown dkk, 2002).
  • Terowongan bisa juga ditemukan pada genetalia pria, biasanya tertutupi oleh papula yang meradang, dan papula tersebut jika ditemukan pada penis dan skrotum adalah patognomonis untuk skabies. Sehingga bila pada seorang pria diduga menderita skabies, hendaknya genetalianya selalu diperiksa (Brown dkk, 2002).
  • Ruam skabies berupa erupsi papula kecil yang meradang, yang terutama terdapat di sekitar aksila, umbilikus dan paha. Ruam ini merupakan suatu reaksi alergi tubuh terhadap tungau (Brown dkk, 2002).
  • Selain itu juga dapat terjadi lesi sekunder akibat garukan maupun infeksi sekunder seperti eksema, pustula, eritema, nodul dan eksoriasi (Habif, 2003).

f). Diagnosis
  • Menurut Handoko, 2007, diagnosis ditegakkan jika terdapat setidaknya dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu:
  1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
  2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok.
  3. Adanya terowongan pada tempat- tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu- abuan, berbentuk lurus atau berkelok, rata- rata panjang 1cm, dan pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Tempat predileksinya adalah tempat- tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti jari- jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, umbilikus, genetalia pria dan perut bagian bawah.
  4. Menemukan tungau. Untuk menemukan tungau atau terowongan, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Kerokan kulit
  • Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak mineral/ KOH, kemudian dikerok dengan scalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan lensa mantap, lalu diperiksa di bawah mikroskop.
b. Mengambil tungau dengan jarum
  • Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.
c. Epidermal shave biopsy
  • Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan scalpel no. 15 sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi.
d. Burrow ink test
  • Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama dua menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig- zag.
e. Swab kulit
  • Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat. Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.
f. Uji tetrasiklin
  • Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukkan fluoresesnsi (Sungkar, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdillah A., Mansyur M., Maria A., Munandar A., Wibowo A.A. 2007. Pendekatan kedoktran keluarga pada penatalaksanaan scabies. Majalah Kedokteran Indonesia. 57: 63-67.
  2. Admin. 2009. Asrama Santri. http://assalaam.or.id/fasilitas/asrama-santri/302-asrama-santri.html. [21 April 2010]
  3. Boediardja S. 2003. Skabies pada Bayi dan Anak. Editor: Boediardja S, Sugito T, Kurniati D, Elandari. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  4. Bratawidjaja, K.G. 2007. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 260-262.
  5. Brown R.G., Burns T. 2002. Lecture Notes Dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Penerbit Erlangga. pp: 42-47
  6. Bruckner D.A., Garcia L.S. 2007. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Dalam: Padmasutra L. (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 335
  7. Budiarto E. 2008. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 38-49.
  8. Chosidow O. 2006. Scabies. The New England Journal of Medicine. 354: 1718- 27.
  9. Darwanto., Prianto J., Tjahaya P.U. 2000. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. p: 154.
  10. Dorland .2006. Kamus Kedokteran Dorland. . 29th ed.. Philadelphia : W. B. Saunders Company Inc Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
  11. Fernawan, N.S. 2008. Perbedaan Angka Kejadian Skabies di Kamar Padat dan Kamar tidak Padat di Pondok Pesantren As Salaam Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  12. Flinders D., Schweinitz P.D. 2004. Pediculosis and scabies. American Family Physcian. 69: 349- 50.
  13. Gandahusada S., Ilahude H.D., Pribadi W. (ED). 2000. Parasitologi Kedokteran. Jaakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 264-266.
  14. Granholm J.M. 2005. Scabies prevention and control manual. Michigan Department of Community Health. pp: 29-33.
  15. Habif T.H. 2003. Clinical Dermatology. China: Mosby. pp: 497-505.
  16. Handoko R.P. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 122- 125.
  17. Harahap M. 2008. Penyakit Kulit. Jakarta: Gramedia. p: 100.
  18. Irianto K. 2009. Panduan Praktikum Parasitologi Dasar. Bandung: Yrama Widia. pp: 130-132.
  19. Johnston, Graham. 2005. Scabies: diagnosis and treatment. British Medical Journal. 331:619- 662.
  20. Kresno, S.B. 2007. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. p: 182.
  21. Ma’rufi I., Keman S., Notobroto H.B. 2005. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit scabies studi pada santri di pondok pesantren kabbupaten lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2: 11-18.
  22. Mansjoer A., Savitri R., Setiowulan W., Triyanti K., Wardhani W.I. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. p: 110
  23. McCroskey A.L. 2009. Scabies. Emedicine. 24: 5-6.
  24. Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  25. Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip- Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. p: 146
  26. Price S.A., Stawiski M.A. 2003. Penyakit Lyme dan Infestasi. Dalam: Hartanto H., Maharani D.A., Susi N., Wulansari P. (ed). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 1466.
  27. Sastroasmoro S., Sofyan I. 2004. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. pp: 66-70.
  28. Shimizu H. 2007. Shimizu’s Textbook of Dermatology. Hokkaido: Hokkaido Press University. pp: 500-502.
  29. Siregar R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 164-65.
  30. Sudirman T. 2006. Skabies: masalah diagnosis dan pengobatannya. Majalah Kedokteran Damianus. 5: 177.
  31. Sugiyono. 2003. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. pp: 56- 69.
  32. Sungkar S. 2000. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
  33. Tabri F. 2003. Skabies pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Kurniati DD, editor. Infeksi kulit pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 62-79
  34. Taufiqurohman, M A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. The Community Of Self Help Group Forum.
  35. Wolff K. 2003. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. United States: The McGraw-Hill Companies. pp: 869-876.


    STRES, PENANGGANAN DAN PENGUKURAN

    Dr. Suparyanto, M.Kes

    STRES, PENANGGANAN DAN PENGUKURAN

    1.Pengertian Stres
    • Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Indri, 2007) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntunan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan,dll) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping.
    • Menurut Selye (dalam Indri, 2007) stres diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya denyut jantung, yang kemudian diikuti dengan reaksi penolakan terhadap stressor dan akan mencapai tahap kehabisan tenaga (exhaustion) jika individu merasa tidak mampu untuk bertahan.
    • Stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan menggangu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping) (Santrock, 2003).
    • Atkinson (dalam Indri, 2007) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Lazarus (dalam Indri, 2007) menjelaskan bahwa stres juga dapat diartikan sebagai :
    1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stresor.
    2. Respon, yaitu stres merupakan suatu respon atau reaksi individu yang muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara fisiologis seperti : jantung berdebar, gemetar dan pusing serta psikologis seperti : takut, cemas, sulit berkonsentrasi dan mudah tersinggung.
    3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku.
    • Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan koping dan adaptasi. Sindrom adaptasi umum atau teori Selye, menggambarkan stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu (Isaacs, 2004 dalam A’at, 2008).
    • Stres adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan subjektif terhadap stres, konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres, semua sebagai suatu sistem (WHO, 2003 dalam A’at, 2008).
    • Stres menurut Dadang Hawari (2008) merupakan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila seseorang setelah mengalami stres mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis.
    • Empat variabel psikologik yang dianggap mempengaruhi mekanisme respons stres (Papero, 1997 dalam A’at, 2008):
    1. Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor yang mengurangi intensitas respons stres.
    2. Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.
    3. Persepsi: pandangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respons stres.
    4. Respons koping: ketersediaan dan efektivitas mekanisme mengikat ansietas dapat menambah atau mengurangi respons stres.
    • Berdasarkan berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanyan tuntutan internal maupun eksternal (stimulus) yang dapat membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu sehingga individu akan bereaksi baik secara fisik maupun secara psikis (respon) dan melakukan usaha-usaha penyesuaian diri terhadap situasi tersebut (proses).

    2. Penggolongan Stres
    • Selye (dalam Indri, 2007) menggolongkan stres menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya.
    1. Distress (stres negatif)
    • Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.
    2. Eustress (stres positif)
    • Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Indri, 2007) mengemukakan frase joy of stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu, misalnya menciptakan karya seni.
    3. Stresor
    • Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Indri, 2007) kondisi fisik, lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stresor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Indri, 2007). Situasi, kejadian, atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan penyebab reaksi psikologis ini disebut stressor (Berry, 1998 dalam Indri, 2007). Pikiran ataupun perasaan individu sendiriyang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stresor tersebut sehingga timbul keluhan-keluhan diantaranya stres (Hawari, 2008).
    • Beberapa contoh stresor psikososial menurut Dadang Hawari (2008) antara lain sebagai berikut:
    a. Perkawinan
    • Dalam masyarakat modern seperti sekarang ini, lembaga perkawinan adalah lembaga yang paling banyak menderita. Salah satu faktor yang menyebabkan krisis perkawinan adalah ketidaksetiaan atau perselingkuhan sehingga menyebabkan perceraian.
    b. Problem Orangtua
    • Salah satu problem orangtua pada zaman sekarang adalah bahwa yang penting bukan berapa banyak jumlah anak (kuantitas), melainkan yang utama adalah kualitas dari anak yang diasuhnya. Orang tua juga akan mengalami problem manakala anak terlibat kenakalan remaja, pergaulan bebas, kehamilan diluar nikah, aborsi dan penyalahgunaan narkotika.
    c. Hubungan Interpersonal (Antar Pribadi)
    • Hubungan antar sesama manusia (perorangan/ individual) yang tidak baik dapat merupakan sumber stres. Misalnya hubungan yang tidak serasi, tidak baik atau buruk dengan kawan dekat atau kekasih, antara sesama rekan, antara bawahan dan atasan, pengkhianatan dan lain sebagainya.
    d. Pekerjaan
    • Kehilangan pekerjaan (PHK, Pensiun) yang berakibat pada pengangguran akan berdampak pada gangguan kesehatan bahkan bisa sampai pada kematian. Dengan meningkatnya pengangguran, maka terlalu banyak beban pekerjaan sementara waktu yang tersedia sangat sempit, hal ini dapat pula menyebabkan stres.
    e. Lingkungan Hidup
    • Kondisi lingkungan hidup yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang. Misalnya masalah perumahan, polusi, penghijauan dan lain-lain yang merupakan sarana dan prasarana pemukiman hendaknya memenuhi syarat kesehatan lingkungan dan terciptanya suasana kehidupan yang bebas dari gangguan kriminalitas.
    f. Keuangan
    • Masalah keuangan dalam kehidupan sehari-hari ternyata merupakan salah satu stresor utama. Misalnya, pendapatan lebih kecil dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan dan lain sebagainya.
    g. Hukum
    • Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres. Misalnya, tuntutan hukum, pengadilan, penjara dan lain sebagainya. Selain itu tidak ditegakkannya supremasi hukum yang berdampak pada ketidakadilan dapat pula merupaka sumber stres. 
    h. Perkembangan
      • Yang dimaksudkan disini adalah tahapan perkembangan baik fisik maupun mental seseorang (siklus kehidupan). Misalnya masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut dan lain sebagainya yang secara alamiah akan dialami oleh setiap orang. Dan apabila tahapan perkembangan tersebut tidak dapat dilampaui dengan baik (tidak mampu beradaptasi), yang besangkutan dapat mengalami stres.
      i. Penyakit Fisik atau Cidera
      • Berbagai penyakit fisik terutama yang kronis dan atau cidera dapat menyebabkan stres pada diri seseorang, sebagai contoh misalnya penyakit jantung, paru-paru, stroke, kanker, HIV/ AIDS, kecelakaan dan lain sebagainya.
      j. Faktor Keluarga
      • Anak dan remaja dapat pula mengalami stres yang disebakan karena kondisi keluarga yang tidak harmonis. Sikap orang tua terhadap anak yang dapat menimbulkan stres antara lain:
      1. Hubungan kedua orangtua yang dingin, atau penuh ketegangan, atau acuh tak acuh.
      2. Kedua orangtua jarang dirumah dan tidak ada waktu untuk bersama dengan ank-anak.
      3. Komunikasi antara orangtua dan anak yang tidak serasi (communication gap).
      4. Kedua orangtua berpisah atau bercerai.
      5. Salah satu orangtua menderita gangguan jiwa atau kelainan kepribadian.
      6. Orangtua dalam mendidik anak kurang sabar, pemarah, keras, otoriter dan lain sebagainya.
      k.Trauma
      • Seseorang yang mengalami bencana alam, kecelakaan transportasi (darat, laut dan udara), kebakaran, kerusuhan, peperangan, kekerasan, penculikan, perampokan, perkosaan, kehamilan diluar nikah dan lain sebagainya merupakan pengalaman yang traumatis yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat mengalami stres.

      4. Mekanisme Terjadinya Stres
      • Mekanisme respon tubuh terhadaps stres diawali dengan adanya rangsang yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh individu itu sendiri dan diteruskanpada sistim limbik yang meliputi hiphotalamus sebagai pusat pengatur adaptasi. Hipothalamus memiliki efek yang sangat kuat hampir seluruh sistim visceral tubuh kita dikarenakan hampir semua bagian di otak memiliki hubungan dengannnya. Oleh karean hubungan inilah maka hiphotalamus dapat merespon rangsang psikologis dan emosional. 
      • Peran hipothalamus terhadap stres meliputi empat fungsi spesifik. Fungsi tersebut adalah:
      1. Menginisiasi aktifitas sistim saraf autonom
      2. Merangsang hipofise anterior memproduksi hormon ACTH
      3. Memproduksi ADH
      4. Merangsang kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroksin
      • Hipothalamus saat stres akan mensekresi CRF (corticotrophin releasing factor) yang memacu hipofise anterior untuk memproduksi ACTH (adenocorticotrophic hormone). Pelepasan ACTH menyebabkan kelenjar adrenal mensekresi beberapa hormon, meliputi kortisol, dan adrenalin. Adanya sekresi kortisol menimbulkan respon kewaspadaan yang merupakan salah satu respon tubuh terhadap stres. Sebagai akibat dari cara penyelamatan diri tekanan darah meningkat secara perlahan, produksi seks hormon (estrogen dan progesteron) di tekan sedemikian rupa sehingga tidak berkompetisi mendapatkan energi akibatnya terjadi gangguan sistim reproduksi meliputi gangguan siklus haid (oligomenore) (Hager, 2002).

      5. Tipe Kepribadian Yang Rentan Terkena Stres
      • Tipe kepribadian yang beresiko tinggi terkena stres (yaitu tipe ”A”) Rosenmen & Chesney (dalam Hawari, 2008) menggambarkannya antara lain dengan ciri-ciri sebagai berikut:
      1. Ambisius, agresif dan kompetitif (suka akan persaingan).
      2. Kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah (emosional).
      3. Kewaspadaan berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri berlebihan.
      4. Cara bicara cepat, bertindak serba cepat, hiperaktif, tidak dapat diam.
      5. Bekerja tidak mengenal waktu (workaholik).
      6. Pandai berorganisasi, memimpin dan memerintah.
      7. Lebih suka bekerja sendirian bila ada tantangan.
      8. Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang, serba tergesa-gesa.
      9. Mudah bergaul, pandai menimbulkan perasaan empati, dan bila tidak tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan.
      10. Tidak mudah terpengaruh, kaku (tidak fleksibel).
      11. Bila berlibur pikirannya ke pekerjaanya, tidak dapat santai.
      12. Berusaha keras agar segala sesuatunya terkendali.
      • Sedangkan orang dengan kepribadian tipe ”B” adalah kebalikan dari tipe ”A” yang tersebut diatas.

      6. Tanda dan Gejala Stres
      • Neil Hibler (dalam Hager, 2002) menjelaskan tanda-tanda emosional, perilaku, dan fisik dari stres terhadap diri manusia meliputi :
      a. Tanda emosional
      1. Apati, meliputi : perasaan sedih, tidak bisa menikmati liburan
      2. Kecemasan : gelisah, merasa tidak pasti, merasa tidak berguna
      3. Kelelahan mental : sulit berkonsentri
      b. Tanda perilaku
      1. Menghindar : terpakuk pada diri sendiri, tidak menerima tanggung jawab
      2. Melakukan hal sampai ekstrim : alkoholisme, obat, berbelanja boros
      3. Masalah administratif : kelambanan, penampilan buruk, higiene buruk
      4. Masalah hukum : kekerasan yang tidak terkendali
      c.Tanda fisik

      1). Reaksi fisik akibat stres menurut Ayodya (2002) antara lain :
      1. Otot-otot tegang
      2. Jantung berdebar-debar lebih cepat dan tidak teratur
      3. Pernapasan lebih cepat dan pendek
      4. Berkeringat
      5. Kewaspadaan yang berlebihan
      6. Perubahan nafsu makan
      7. Otot melemah atau bergetar
      8. Rasa mual
      9. Sulit tidur
      10. Gugup
      11. Sakit kepala
      12. Gangguan pencernaan
      13. Sembelit atau diare
      14. Resah dan gelisah terus menerus
      2). Kelelahan fisik
      • Timbulnya penyakit-penyakit, seperti nyeri kepala, insomnia, perubahan nafsu makan, peningkatan atau penurunan berat badan, gangguan menstruasi.

      d .Beberapa tanda yang ditunjukkan remaja ketika mengalami stres
      1. Remaja tiba-tiba malas dan tidak lagi berminat terhadap kegiatan atau hal-hal yang disukai.
      2. Sering merasa cemas tanpa sebab yang jelas, selalu khawatir, tegang dan tidak dapat santai serta selalu gelisah.
      3. Sulit tidur, tidak dapat tidur nyenyak, terbangun dalam malam hari dan sering mengalami mimpi buruk.
      4. Nafsu makan meningkat atau sebaliknya kehilangan nafsu makan.
      5. Mudah marah, mudah kesal, mudah menangis karena hal-hal kecil.
      6. Khusus remaja putri mengalami gangguan menstruasi.
      7. Reaksi Tubuh Terhadap Stres
      • Stres yang ringan dapat memacu seseorang untuk berusaha lebih berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-hari. Tetapi stres yang berkelanjutan dan berat jika tidak ditanggulangi akan dapat membahayakan kesehatan (Vinosa, 2007). 
      • Walter canon (dalam Indri, 2007) memberikan deskripsi mengenai bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia menyebut reaksi tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapai atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. 
      • Fight-or-flight response menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu.
      • Sarafino (dalam Indri, 2007) mempelajari akibat yang diperoleh bila stresor terus menerus muncul. Ia kemudian menemukan istilah General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri dari rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stresor:
      1. Alarm Reaction
      • Tahapan pertama ini mirip dengan fight-or-flight response. Pada tahap ini arousal yang terjad pada tubuh organisme berada di bawah normal yang untuk selanjutnya meningkat diatas normal. Pada akhir tahap ini, tubuh melindungi organisme terhadap stresor. Tapi tubuh tidak dapat mempertahankan intesitas arousal dari alarm reaction dalam waktu yang sangat lama.
      2. Stage of Resistance
      • Arousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk melawan dan beradaptasi dengan stresor. Respon fisiologis menurun, tetapi masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.
      3. Stage of Exhaustion
      • Respon fisiologis masih terus berlangsung. Hal ini dapat melemahkan sistim kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh. Sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stresor yang terus terjadi akan mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis dan dapat menyebabkan kematian.
      • Reaksi tubuh terhadap stres menurut Dadang Hawari (2008) antara lain :
      1. Daya pikir
      • Kemampuan bepikir dan mengingat serta konsentrasi menurun. Orang menjadi pelupa dan seringkali mengeluh sakit kepala pusing.
      2. Ekspresi wajah
      • Wajah seseorang yang stres nampak tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat, sukar untuk senyum/tertawa dan kulit muka kedutan (tic facialis).
      3. Mulut
      • Mulut dan bibir terasa kering sehingga seseorang sering minum. Selain daripada itu pada tenggorokan seolah-olah ada ganjalan sehingga ia sukar menelan, hal ini disebabkan karena otot-otot lingkar di tenggorokan mengalami spasme (muscle cramps) sehingga serasa tercekik.
      4. Sistem Pernafasan
      • Pernafasan seseorang yang sedang mengalami stres dapat terganggu misalnya nafas terasa berat dan sesak disebabkan terjadi penyempitan pada saluran pernafasan mulai dari hidung, tenggorokan dan otot-otot rongga dada. Nafas terasa sesak dan berat dikarenakan otot-otot rongga dada (otot-otot antar tulang iga) mengalami spasme dan tidak atau kurang elastis sebagaimana biasanya. Sehingga ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik nafas. Stres juga dapat memicu timbulnya penyakit asma (asthma bronchiale) disebabkan karena otot-otot pada saluran nafas paru-paru juga mengalami spasme.
      5. Sistem Kardiovaskuler
      • Sistem jantung dan pembuluh darah atau kardiovaskuler dapat terganggu faalnya karena stres. Misalnya, jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar (dilatation) atau menyempit (constriction) sehingga yang bersangkutan nampak mukanya merah atau pucat. Pembuluh darah tepi (perifer) terutama di bagian ujung jari-jari tangan atau kaki juga menyempit sehingga terasa dingin dan kesemutan. Selain daripada itu sebahagian atau seluruh tubuh terasa panas (subfebril) atau sebaliknya terasa dingin.
      6. Sistem Pencernaan
      • Orang yang mengalami stres seringkali mengalami gangguan pada sistem pencernaannya. Misalnya, pada lambung terasa kembung, mual dan pedih; hal ini disebabkan karena asam lambung yang berlebihan (hiperacidity). Dalam istilah kedokteran disebut gastritis atau dalam istilah awam dikenal dengan sebutan penyakit maag. Selain gangguan pada lambung tadi, gangguan juga dapat terjadi pada usus, sehingga yang bersangkutan merasakan perutnya mulas, sukar buang air besar atau sebaliknya sering diare.
      7. Sistem Perkemihan.
      • Orang yang sedang menderita stres faal perkemihan (air seni) dapat juga terganggu. Yang sering dikeluhkan orang adalah frekuensi untuk buang air kecil lebih sering dari biasanya, meskipun ia bukan penderita kencing manis (diabetes mellitus).
      8. Sistem Endokrin
      • Gangguan pada sistem endokrin (hormonal) pada mereka yang mengalami stres adalah kadar gula yang meninggi, dan bila hal ini berkepanjangan bisa mengakibatkan yang bersangkutan menderita penyakit kencing manis (diabetes mellitus). Gangguan hormonal lain misalnya pada wanita adalah gangguan menstruasi yang tidak teratur dan rasa sakit (dysmenorrhoe).
      9. Rambut
      • Warna rambut yang semula hitam pekat, lambat laun mengalami perubahan warna menjadi kecoklat-kecoklatan serta kusam. Ubanan (rambut memutih) terjadi sebelum waktunya, demikian pula dengan kerontokan rambut.
      10. Mata
      • Ketajaman mata seringkali terganggu misalnya kalau membaca tidak jelas karena kabur. Hal ini disebabkan karena otot-otot bola mata mengalami kekenduran atau sebaliknya sehingga mempengaruhi fokus lensa mata.
      11. Telinga
      • Pendengaran seringkali terganggu dengan suara berdenging (tinitus).
      12. Kulit
      • Pada orang yang mengalami stres reaksi kulit bermacam-macam. Pada kulit dari sebagian tubuh terasa panas atau dingin atau keringat berlebihan. Reaksi lain kelembapan kulit juga berubah, kulit menjadi lebih kering. Selain daripada itu perubahan kulit lainnya adalah merupakan penyakit kulit, seperti urtikaria (biduran), gatal-gatal dan pada kulit muka seringkali timbul jerawat (acne) berlebihan, juga sering dijumpai kedua belah tapak tangan dan kaki berkeringat (basah).
      13. Sistem Otot dan Tulang
      • Stres dapat pula menjelma dalam bentuk keluhan-keluhan pada otot dan tulang (musculoskeletal). Yang bersangkutan sering mengeluh otot terasa sakit (keju) seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang. Selain daripada itu keluhan-keluhan pada tulang persendian sering pula dialami, misalnya rasa ngilu atau rasa kakubila menggerakkan anggota tubuhnya. Masyarakat awam sering mengenal gejala ini sebagai keluhan ”pegel linu”.
      14. Libido
      • Kegairahan seseorang di bidang seksual dapat pula terpengaruh karena stres. Yang bersangkutan seringkali mengeluh libido menurun atau sebaliknya meningkat tidak sebagaimana mestinya. Selain keluhan pada orang yang bersangkutan dampak dari gangguan libido ini dapat pula dirasakan oleh pasangannya.

      8. Penanganan Stres

      1. Menghilangkan stres mekanisme pertahanan, dan penanganan yang berfokus pada masalah
      • Menurut Lazarus (dalam Santrock, 2003) penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk, yaitu :
      1. Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya.
      2. Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping)adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.

      2.Strategi penanganan stres dengan mendekat dan menghindar (Santrock, 2003):

      1. Strategi mendekati (approach strategies) meliputi usaha kognitif untuk memahami penyebab stres dan usaha untuk menghadapi penyebab stres tersebut dengan cara menghadapi penyebab stres tersebut atau konsekuensi yang ditimbulkannya secara langsung
      2. Strategi menghindar (avoidance strategies) meliputi usaha kognitif untuk menyangkal atau meminimalisasikan penyebab stres dan usaha yang muncul dalam tingkah laku, untuk menarik diri atau menghindar dari penyebab stres
      • Menurut Ebata & Moos (dalam Santrock, 2003) individu yang menggunakan strategi mendekat untuk menghadapi stres adalah remaja yang berusia lebih tua, lebih aktif, menilai stresor utama yang muncul sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan dan sebagai suatu tantangan, dan memiliki sumber daya sosial yang dapat digunakan. Sedangkan, individu yang menggunakan strategi menghindar mudah merasa tertekan dan mengalami stres, memiliki stresor yang lebih kronis, dan telah mengalami kejadian-kejadian yang lebih negatif dalam kehidupannya selama tahun sebelumnya.

      3. Berpikir positif dan self-efficacy
      • Menurut Bandura (dalam Santrock, 2003) self-efficacy adalah sikap optimis yang memberikan perasaan dapat mengendalikan lingkungannya sendiri. Menurut model realitas kenyataan dan khayalan diri yang dikemukan oleh Baumeister, individu dengan penyesuaian diri yang terbaik seringkali memiliki khayalan tentang diri mereka sendiri yang sedikit di atas rata-rata. Memiliki pendapat yang terlalu dibesar-besarkan mengenai diri sendiri atau berpikir terlalu negatif mengenai diri sendiri dapat mengakibatkan konsekuensi yang negatif.
      • Bagi beberapa orang, melihat segala sesuatu dengan terlalu cermat dapat mengakibatkan merasa tertekan. Secara keseluruhan, dalam kebanyakan situasi, orientasi yang berdasar pada kenyataan atau khayalan yang sedikit di atas rata-rata dapat menjadi yang paling efektif (dalam Santrock, 2003).

      4.Sistem dukungan
      • Menurut East, Gottlieb, O’Brien, Seiffge-Krenke, Youniss & Smollar (dalam Santrock, 2003 ), keterikatan yang dekat dan positif dengan orang lain – terutama dengan keluarga dan teman – secara konsisten ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres.
      5. Berbagai strategi penanganan stres
      • Dalam penanganan stres dapat menggunakan berbagai strategi coping, karena stres juga disebabkan tidak hanya oleh satu faktor, melainkan oleh berbagai faktor (Susman, 1991 dalam Santrock, 2003).

      9. Pengukuran Stres
      • Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur skala stres adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yang biasanya digunakan untuk mengukur skala kecemasan karena kecemasan merupakan salah satu emosi yang paling menimbulkan stres yang dirasakan oleh banyak orang (Wangmuba, 2009). Disamping itu, salah satu respon individu dalam menghadapi stres adalah perasaan cemas (Herlambang, 2008). HARS terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik (Hawari, 2008).
      1. Perasaan cemas, ditandai dengan : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, dan mudah tersinggung.
      2. Ketegangan yang di tandai oleh : merasa tegang, lesu, tidak dapat istirahat tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah.
      3. Ketakutan ditandai oleh : ketakutan pada gelap, ketakutan ditinggal sendiri, ketakutan pada orang asing, ketakutan pada binatang besar, ketakutan pada keramaian lalu lintas, ketakutan pada kerumunan orang banyak.
      4. Gangguan tidur ditandai oleh : sukar untuk tidur, terbangun malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk atau menakutkan.
      5. Gangguan kecerdasan ditandai oleh: sukar konsentrasi, daya ingat buruk, daya ingat menurun.
      6. Perasaan depresi (murung) di tandai oleh : kehilangan minat, sedih, bangun dini hari, kurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
      7. Gejala somatik (otot) ditandai oleh : nyeri pada otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.
      8. Gejala sensorik (sistem saraf) ditandai oleh : tinitus (telinga berdenging), penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemah, perasaan di tusuk-tusuk.
      9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) ditandai oleh : takikardia (denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lemah seperti mau pingsan, detak jantung menghilang (berhenti sekejap).
      10. Gejala pernafasan di tandai oleh : rasa tertekan atau sempit didada, perasaan tercekik, merasa nafas pendek/ sesak, sering menarik nafas panjang.
      11. Gejala Gastrointestinal (pencernaan) ditandai oleh : sulit menelan, mual, perut melilit, nyeri lambung sebelum atau sesudah makan, perut terasa kembung atau penuh, muntah, defekasi lembek, berat badan menurun, dan kontipasi (sukar buang air besar)
      12. Gejala Urogenital (perkemihan dan kelamin) ditandai oleh : sering kencing, tidak dapat menahan kencing, tidak datang bulan (tidak ada haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang, impotensi.
      13. Gejala Saraf Autonom ditandai oleh : mulut kering, muka merah dan kering, mudah berkeringat, pusing/ sakit kepala, bulu kuduk berdiri.
      14. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang, otot tegang, nafas pendek dan cepat, muka memerah.

      Cara penilaian :
      • Dari 14 kelompok gejala, masing-masing kelompok diberi penilaian angka (skor) antara 0-4, yang artinya adalah:
      1. Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali
      2. Skor 1 : 1 dari gejala yang ada
      3. Skor 2 : separuh dari gejala yang ada
      4. Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada
      5. Skor 4 : semua gejala ada
      • Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor kelompok gejala 1 sampai dengan 14 dengan ketentuan sebagai berikut:
      1. Skor kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
      2. Skor 14-20 = kecemasan ringan
      3. Skor 21-27 = kecemasan sedang
      4. Skor 28-41 = kecemasan berat
      5. Skor 42-56 =kecemasan berat sekali

      DAFTAR PUSTAKA

      1. A’at, Sriati. (2008). Tinjauan Tentang Stres. Retrieved January 03, 2009, from Http://www.recaucesunpad.ac.id
      2. Agus. (2007). Amenore Primer dan Sekunder. Retrieved December 20, 2008, from Http://cpddokter.com
      3. Agus, Rahmadi. (2008). Beberapa Penyebab Terganggunya Siklus Haid. Retrieved March 06, 2009, from Http://eramuslim.com
      4. Alimul H, Aziz. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
      5. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
      6. Arju. (2008). Gangguan siklus Haid. Retrieved March 06, 2009, from Http://tabloidnova.com
      7. Aryana, Ahmad. (2009). Remaja dan Stres. Retrieved March 12, 2009, from Http://id.answer.yahoo.com
      8. Ayodya, L.Riyadi. (2002). Seri Kesehatan Bimbingan Dokter Pada Stres. Jakarta: Dian Rakyat
      9. Bernike. (2008). Stres Pada Remaja. Retrieved March 12, 2009, from Http://remajaelim1.blogspot.com
      10. Budiarto, Eko. (2004). Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC
      11. Hager, W. David. (2002). Stres dan Tubuh Wanita. Batam: Interaksara
      12. Hawari, Dadang. (2008). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI
      13. Herlambang. (2008). Stres dan Gangguan Hormonal. Retrieved December 20, 2008, from Http://www.jambi-independent.co.id
      14. Indri, Kemala Nasution. (2007). Stres Pada Remaja. Retrieved January 03, 2009, from Http://libraryusu.ac.idh
      15. Iskandar, Sugi Suhardi. (2007). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gangguan Siklus Haid. Retrieved March 06, 2009, from Http://www.kompas.com
      16. Mansjoer, Arif. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius
      17. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
      18. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
      19. Potter&Perry. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta: EGC
      20. Santrock. (2003). Perkembangan Remaja. Retrieved March 06, 2009, from Http://lussysf .multiply.com./journal/journal/item/67
      21. Sastroasmoro, Sudigdo. (2002). Dasar-dasar Mentodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto
      22. Teddy, Rochantor. (2008). Penyebab Terganggunya Siklus Haid. Retrieved March 06, 2009, from Http://www.jambi-independence.co.id
      23. Tim Konsultasi Kesehatan. (2009). Fisiologi Haid. Retrieved March 12, 2009, from Http://indonesiaindonesia.com
      24. Usman, Said. (2008). Masa Depan Ginekologi Remaja dalam Peningkatan Mutu Sumber Daya Manusia. Retrieved March 06, 2009, from Http://www.obgyn-unsri.org
      25. Vinosa. (2007). Menilik Beberapa sumber Stres Pada Remaja. Retrieved March 12, 2009, from Http://vinosa.wordpress.com
      26. Windhu, Purnomo. (2008). Handout & Bahan Kuliah Metodologi Penelitian. Surabaya
      27. Winkjosastro, Hanifa. (2005a). Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
      28. Winkjosastro, Hanifa. (2005b). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo


      PERILAKU PEMBERIAN ASI

      Dr. Suparyanto, M.Kes

      PERILAKU PEMBERIAN ASI

      1.Pengertian
      • Perilaku pemberian ASI adalah suatu bentuk tindakan yang dilakukan seorang ibu dalam memberikan ASI pada bayi.
      2.Bentuk Perilaku Pemberian ASI
      • Menurut Hurlock (2004), perilaku dibagi menjadi 2, yaitu :
      3.Perilaku yang Tampak (overt behavior)

      a. Cara menyusui yang benar
      1. Sebelum menyusui ASI dikeluarkan sedikit kemudian diolesi pada puting susu dan areola sekitarnya. Cara ini mempunyai manfaat sebagai desinfektan dan menjaga kelembaban puting susu.
      2. Bayi diletakkan menghadap perut ibu atau payudara
      3. Duduk atau berbaring santai atau duduk lebih baik mengunakan kursi yang rendah agar kaki ibu tidak menggantung dan punggung ibu bersandar pada sandaran kursi.
      4. Bayi dipegang dengan satu lengan, kepala bayi terletak pada lengkung siku ibu dan bokong bayi terletak pada lengan.kepala bayi tidak boleh tengadah dan bokong bayi ditahan dengan telapak tangan ibu.
      5. Satu tangan bayi diletakkan dibelakang badan ibu, dan yang satu didepan.
      6. Perut bayi menempel badan ibu, kepala bayi mengahadap payudara (tidak hanya membelokkan kepala bayi).
      7. Telinga dan lengan bayi terletak pada satu garis lurus.
      8. Ibu menatap bayi dengan kasih sayang
      9. Payudara dipegang dengan ibu jari diatas dan jari yang lain menopang dibawah. Jangan menempelkan puting susu atau areolanya saja
      10. Bayi diberi rangsangan untuk membuka mulut (Rooting Reflek) dengan cara: a)Menyentuh pipi dengan puting susu atau, b)Menyentuh mulut sisi bayi
      11. Setelah bayi membuka mulut dengan cepat kepala bayi didekatkan di payudara ibu dengan puting serta areola dimasukan ke mulut bayi
      12. Usahakan sebagian besar areola dapat masuk ke dalam mulut bayi, sehingga puting susu dibawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan ASI keluar dari tempat penampungan ASI yang terletak dibawah areola
      13. Setelah bayi mulai menghisap payudara tidak perlu dipegang atau disangga lagi
      14. Melepas isapan bayi, setelah menyusui pada satu payudara sampai terasa kosong, sebaiknya ganti menyusui payudara yang lain.cara melepas isapan bayi: a)Jari kelingking ibu dimasukkan ke mulut bayi melalui sudut mulut, atau b)Dagu bayi ditekan ke bawah
      15. Menyusui berikutnya mulai dari payudara yang belum terkosongkan (yang dihisap terakhir)
      16. Setelah menyusui ASI dikeluarkan sedikit kemudian dioleskan pada puting susu dan areola dan sekitarnya, biarkan kering dengan sendirinya.
      17. Menyendawakan bayi. Tujuan menyendawakan bayi adalah mengeluarkan udara dari labung supaya bayi tidak muntah (gumoh) setelah menyusui.cara menyedawakan bayi: a)Bayi digendong tegak bersandar pada bahu ibu kemudian punggungnya ditepuk perlahan atau, b)Bayi tidur tengkurap dipangkuan ibu, kemudian punggungnya ditepuk perlahan, (Suradi, 2006).

      b. Perilaku yang Tidak Tampak (covert behavior)

      1). Belonging
      • Ibu merasa memiliki bayinya sehingga tercermin dari ibu selalu ingin melindungi bayinya.
      2). Accepted
      • Ibu menerima jenis kelamin yang anak yang dilahirkan terbukti dengan ibu sangat meyayangi dan memanjakan anaknya.
      3). Love
      • Ibu menyayangi bayinya tercermin dengan rasa cemas dan bingung apabila ibu merasakan ada sesuatu masalah pada bayinya.

      DAFTAR PUSTAKA

      1. Alimul Aziz.2003. Metode dan Riset Keperawatan. PT.Rineka Cipta. Jakarta.
      2. Amirudin. 2007. Praktik Menyusui di Dunia. http://www.nakita.com. diakses tanggal 7 Maret 2009
      3. Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
      4. BKKBN, 2008. Cakupan ASI Eksklusif. http://www.Pikiran-Rakyat.com. diakses tanggal 7 Maret 2009.
      5. Dinkes, Jatim. 2007. Standar Pelayanan Minimal. http://www.dinkes-jatim.com. diakses tanggal 7 Maret 2009.
      6. Heather. 2001. Promosi ASI Eksklusif. http://www.info-balita.com.id diakses tanggal 7 Maret 2009.
      7. Jensen. 2005. Kebutuhan Cairan Ibu Menyususi. http://www.Pikiran-Rakyat.com. diakses tanggal 7 Maret 2009.
      8. Kristina.2007. ASI Eksklusif dan Diare. http://www.info ibu.com. diakses tanggal 7 Maret 2009
      9. Linda, Juall.2006. Diagnosa Keperawtan. Jakarta:EGC
      10. Lita. 2007. Rendahnya Pemberian ASI. http://www.Pikiran-Rakyat.com. diakses tanggal 7 Maret 2009.
      11. Nazir. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia
      12. Markum.2003.Diare Pada Balita. http://www.info ibu.com. diakses tanggal 7 April 2009
      13. Notoatmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT Rineka Cipta.
      14. Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta.
      15. Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta
      16. Nursalam, 2003. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
      17. Pekey. 2007. Prevalensi Pemberian ASI. http://www.Pikiran-Rakyat.com. diakses tanggal 7 April 2009.
      18. Safitri.2006. ASI Eksklusif. http://www.info ibu.com. diakses tanggal 7 Maret 2009
      19. SKRT.2004. Angka Kejadian Diare. Jakarta:PT. Rineka Cipta
      20. Suciningsih.2004.Susu Formula dan Diare. http://www.kompas.com. diakses tanggal 7 Maret 2009
      21. Sugiyono. 2006. Statistik Untuk Kesehatan. ALFABETA. Bandung
      22. Supariasa.2001. Pemantauan Status Gizi. Jakarta:EGC
      23. Suradi, 2006. ASI Menyelamatkan Jiwa Bayi. http://www.kompas.com. diakses tanggal 7 Maret 2009
      24. Suririnah. 2007.Faktor Penyebab Diare. http://WWW. Info-Balita.com.id diakses pada tanggal 7 Maret 2009
      25. Tarmudji.2003.Faktor Pemberian ASI Eksklusif. Jakarta:Salemba Medika
      26. Utami, Roesli. 2004. ASI dan Manfaatnya. http://www.Pikiran-Rakyat.com. diakses tanggal 7 Maret 2009.
      27. Utami. 2005. Diare Pada Balita. . http: // WWW. Info-kia.com. id diakses pada tanggal 7 Maret 2009
      28. Warta.2006. Diare. http: // WWW. Info-balita.com. id diakses pada tanggal 7 Maret 2009


      MOBILISASI DINI IBU POST PARTUM

      Dr. Suparyanto, M.Kes

      MOBILISASI DINI IBU POST PARTUM

      DEFINISI MOBILISASI
      • Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk berjalan bangkit berdiri dan kembali ke tempat tidur, kursi, kloset duduk, dan sebagianya disamping kemampuan mengerakkan ekstermitas atas. (Hincliff, 1999)
      • Mobilisasi dini menurut Carpenito tahun 2000 adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.

      BENTUK MOBILISASI DINI
      1. Berdiri
      2. Duduk
      3. Berpindah dari satu kelompok lain, seperti :
      • Dari tempat tidur ke kursi,
      • Dari kursi biasa ke kursi berlubang,
      • Dari kursi roda ke kloset duduk,
      • Dari lantai ke kursi atau tempat tidur,
      • Bangkit dari duduk,
      • Berjalan : dengan bantuan (1). Penyangga kaki dari logam, 2). Sepatu khusus, 3). Bidai, 4). Kaki palsu),
      • Menggerakkan tubuh, bahu, tangan dan lengan untuk berbagai macam gerakan, seperti : 1). Menggerakkan dan melepaskan pakaian, 2). Menjaga kebersihan pribadi, 3). Mengerjakan pekerjaan rumah tangga
      • Melakukan gerakan badan
      • Mobilisasi dengan bantuan alat mekanik
      • Kursi roda : di dorong oleh orang lain di jalanan sendiri. (Roper, 2002)

      BENTUK LAIN MOBILISASI DINI

      1. Membantu pasien duduk di tempat tidur
      • Tindakan ini merupakan salah satu cara mempertahankan kemampuan mobilitas pasien :
      • Memenuhi kebutuhan mobilitas
      • Mempertahankan toleransi terhadap aktivitas
      • Mempertahankan kenyamanan
      • Bentuknya meliputi :
      • Mengatur posisi pasien di tempat tidur
      1. Posisi fowler
      • Posisi dengan tubuh setengah duduk atau duduk
      • Tujuan :
      1. Mempertahankan kenyamanan
      2. Memfasilitas fungsi pernafasan
      2. Posisi SIM
      • Pada posisi ini pasien berbaring miring, baik miring ke kanan atau miring ke kiri.
      • Tujuan :
      1. Memberikan kenyamanan
      2. Melakukan hukna
      3. Memberikan obat per anus (supositorial)
      4. Melakukan pemeriksaan daerah anus
      3. Posisi trendelenburg
      • Posisi ini menempatkan pasien di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah dari bagian kaki.
      • Tujuan :memperlancar peredaran darahke otak
      4. Posisi Dorsal Recumbent
      • Pada posisi ini, pasien ditempatkan pada posisi terlentang dengan kedua lutut fleksi di atas tempat tidur.
      • Tujuan :
      1. Perawatan daerah genitalia
      2. Pemeriksaan genetalia
      3. Posisi pada proses persalinan
      5. Posisi Litotomi
      • Pada posisi ini, pasien ditempatkan pada posisi terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan ditarik ke atas abdomen.
      • Tujuan :
      1. Pemeriksaan alat genetalia
      2. Proses persalinan
      3. Pemasangan alat kontrasepsi
      6. Posisi Genu Pektoral (Knee chest)
      • Pada posisi genu pektoral, pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel pada bagian alas tempat tidur.
      • Tujuan : pemeriksaan daerah rektum dan sigmoid
      2. Memindahkan pasien dari tempat tidur satu ke kursi roda
      • Aktivitas ini dilakukan pada pasien yang membutuhkan bantuan untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi roda.
      • Tujuan :
      1. melatih otot skelet mencegah kontraktur
      2. Mempertahankan kenyamanan pasien
      3. mempertahankan kontrol diri pasien
      4. Memindahkan pasien untuk pemeriksaan (diagnosa, fisik)
      3. Memindahkan pasien oleh dua atau tiga perawat
      • Pada tindakan ini pemindahan pasien dilakukan oleh dua sampai tiga orang perawat. Pemindahan ini dapat dari tempat tidur atau ke brankart atau dari satu tempat tidur ke tempat tidur yang lain. Pemindahan ini biasanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat atau tidak boleh melakukan pemindahan sendiri. Hal yang perlu disiapkan sama dengan pemindahan pasien ke tempat tidur ke kursi roda.
      • Tujuan : Memindahkan pasien dari rungan satu ke ruangan yang lain untuk tujuan tertentu (pemeriksaan diagnostik atau pindah ruangan)
      4. Membantu pasien berjalan
      • Seperti halnya tindakan lain, membantu pasien berjalan memerlukan persiapan. Perawat mengkaji beberapa toleransi pasien terhadap aktivitas, kekuatan, adanya nyeri dan keseimbangan pasien untuk menentukan jumlah bantuan yang diperlukan paien.
      • Aktivitas ini memungkinkan memerlukan alat seperti kruk dan tongkat. Namun ada prinsipnya, perawat dapat melakukan aktivitas ini meskipun tanpa menggunakan alat.
      • Tujuan :
      1. Memulihkan kembali toleransi aktivitas
      2. Mencegah terjadinya kontraktur sendi

      Tabel  Derajat Kekuatan Otot

      Skala % Kekuatan Normal Keterangan
      0 0 Paralisis sempurna
      1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau di lihat
      2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi, dengan topangan
      3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
      4 75 Gerakan yang penuh melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal
      5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan penuh.

      (A.Aziz. Alimul Hidayat dan Musrifatul Uliyah, 2004)


      MANFAAT MOBILISASI DINI
      1. Melancarkan pengeluaran lokia, mengurangi infeksi peurperium
      2. Mempercepat involusi alat kandungan
      3. Melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan
      4. Meningkatkan kelancaran peredaran darah, sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran sisa metabolisme. (Manuaba, 1998)
      • Menurut Rambey, 2008 manfaat mobilisasi dini adalah :
      1. Melancarkan sirkulasi darah
      2. Membantu proses pemulihan
      3. Mencegah terjadinya infeksi yang timbul karena gangguan pembuluh darah balik serta menjaga pedarahan lebih lanjut
      • Menurut Fizari, 2009 manfaat lain dari mobilisasi dini adalah:
      1. Ibu merasa lebih sehat dan kuat
      2. Faal usus dan kandung kencing lebih baik
      3. Kesempatan yang baik untuk mengajari merawat atau memelihara anaknya

      MACAM MOBILISASI DINI

      1. Mobilisasi penuh
      • Yaitu seluruh anggota dapat melakukan mobilisasi secara normal. Mobilisasi penuh mempunyai peranan penting dalam menjaga kesehatan baik secara fisiologis maupun psikologis.
      2. Mobilisasi sebagian
      • Yaitu sebagian dari anggota badan yang dapat melakukan mobilisasi secara normal.
      • Terjadi pada pasien dengan gangguan saraf motorik dan sensorik, terdiri dari :
      1. Mobilisasi sebagian dengan temporer, disebabkan oleh trauma yang reversibel
      2. Pada sistem muskuloskeletal
      3. Mobilisasi sebagian permanen disebabkan karena rusaknya sistem saraf yang reversibel (hemiplagi karena kecelakaan).

      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN GERAK

      1. Sendi
      • Yaitu pertemuan antara dua atau lebih ujung tulang
      2. Tulang
      • Merupakan jaringan hidup yang mempulnyai banyak suplai darah.Tulang dapat tumbuh dan memperbaiki dirinya. Fungsi tulang sebagai tuas untuk menggerakkan otot-otot dan menyimpan kalsium dan fosfat, mengeluarkannya bila dibutuhkan.
      3. Tendon
      • Merupakan jaringan ikat yang kuat, berwarna putih dan tidak elastis untuk melekatkan otot pada tulang.
      4. Ligamen
      • Merupakan pita jaringan fibrosa yang kuat dan berfungsi untuk mengikat serta menyatukan tulang atau bagian lain untuk menyangga suatu organ.
      5. Otot
      • Otot dibagi menjadi 3, yaitu:
      1. Otot skeletal yaitu otot yang ditemukan pada tulang rawan atau kulit. Dikendalikan melalui sistem syaraf pusat, serat-seratnya memperlihatkan garis-garis melintang.
      2. Otot polos ditemukan pada dinding visera dan pembuluh darah. Dikendalikan melalui sistem syaraf otonom, serat-seratnya tidak memperlihatkan garis melintang.
      3. Otot jantung yang hanya ditemukan di jantung
      6. Sistem syaraf
      • Jaringan syaraf dibentuk dari neuron yang sel-selnya terkadang mengalami proses yang sangat panjang dikhususkan untuk penghantar implus syaraf yang menyokong dan memberi makan neuron-neuron.
      • Neuron adalah unit dasar sistem persyarafan. (Cambridge Comunication Limited, 1998)

      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOBILISASI DINI

      1. Penyakit tertentu dan cidera
      • Penyakit-penyakit tertentu dan cidera berpengaruh terhadap mobilitas misalnya penderita multipe aklerosis dan cidera pada urat saraf tulang belakang. Demikian juga pada pasien post operasi atau yang mengalami nyeri, cenderung membatasi gerakan.
      2. Budaya
      • Beberapa faktor budaya juga mempunyai pengaruh terhadap aktivitas. Misalnya di Jawa berpenampilan halus dan merasa tabu bila mengerjakan aktivitas berat dan pria cenderung melakukan aktivitas lebih berat.
      3. Energi
      • Tingkat energi bervariasi pada setiap individu. Terkadang seseorang membatasi aktivitas tanpa mengetahui penyebabnya. Selain itu tingkat usia juga berpengaruh terhadap aktivitas. Misalnya orang pada usia pertengahan cenderung mengalami penurunan aktivitas yang berlanjut sampai usia tua.

      RESIKO BILA TIDAK MELAKUKAN MOBILISASI
      • Berbagai masalah dapat terjadi bila tidak melakukan mobilisasi dini, misalnya :
      1. Gangguan pernafasan yaitu sekret akan terakumulasi pada saluran pernafasan yang akan berakibat klien sulit batuk dan mengalami gangguan bernafas.
      2. Pada sistem kardiovaskuler terjadi hipotensi ortostatik yang disebabkan oleh sistem syaraf otonom tidak dapat menjaga keseimbangan suplai darah sewaktu berdiri dari berbagai dalam waktu yang lama.
      3. Pada saluran perkemihan yang mungkin terjadi adalah statis urin yang disebabkan karena pasien pada posisi berbaring tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara sempurna.
      4. Pada gastrointestinal terjadi anoreksia diare atau konstipasi. Anoreksia disebabkan oleh adanya gangguan katabolisme yang mengakibatkan ketidak seimbangan nitrogen karena adanya kelemahan otot serta kemunduran reflek deteksi, maka pasien dapat mengalami konstipasi.

      JENIS GERAKAN SENDI

      1. Fleksi
      • Yaitu tindakan menekuk dua ujung sesuatu alat saling mendekati atau keadaan dua ujung sesuatu alat yang tertekuk berekatan.
      2. Ekstensi
      • Yaitu gerakan yang membesarkan sudut antara dua ujung tulang yang bersendi. Gerakan yang menjauhkan ujung-ujung alat atau bagian tubuh.
      • Hiperektensi yaitu ekstensi lebih lanjut.
      3. Abduksi
      • Yaitu gerakan anggota badan atau mata kesisi menjahui sumbu tengah tubuh
      4. Rotasi
      • Yaitu gerakan memutari pusat axis dari tulang
      5. Eversi
      • Yaitu tindakan memutarkan telapak kaki kebagian luar
      6. Inversi
      • Yaitu putar bagian telapak kaki kebagian dalam membentuk sudut dari persendian
      7. Pronasi
      • Yaitu pemutaran lengan bawah ke dalam
      8. Supinasi
      • Yaitu gerakan memutar lengan bawah ke luar. (Hincliff, 1999).

      DAFTAR PUSTAKA

      1. Alimul, A. (2007), Metode Penelitian Penulisan Ilmiah, Jakarta: Salemba Medika.
      2. Alimul, H. A, dan Musrifatul, U. (2004), Buku Saku Pratikan Kebutuhan Dasar Manusia, Jakarta: EGC.
      3. Arikunto, S. (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT Rineka Cipta.
      4. Cambridge, C. L. (1998) Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia dan System Reproduksi, Jakarta: EGC.
      5. Desiyati, D. (2008) Fisiologi Nifas, from Http://we-littlefairy. blogspot.com
      6. Fizari, S. (2009) Perubahan Fisiologi pada Masa Nifas, From Http://sekuracity/blogspot.com
      7. Hincliff, S. (1999) Kamus Keperawatan, Jakarta: EGC.
      8. Ibrahim, C.S. (1996) Perawatan Kebidanan, Jakarta: Bhratara.
      9. Manuaba, I. B. G. (1998) Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, Jakarta: EGC.
      10. Mochtar, R. (1998) Sinopsis Obstetric, Jakarta: EGC.
      11. Notoadmodjo, S. (2005) Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
      12. Nursalam, (2003) Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
      13. Nursalam, dan Pariani, S. (2001) Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan, CV, Info Medika.
      14. Prawirohardjo, S. (2002) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
      15. ___________, (2002) Ilmu Kebidanan, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
      16. Pusdiknakes, WHO, JHPIEGO. (2001) Post Partum, Jakarta: MNH
      17. Ramali, A. (2003) Kamus Kedokteran, Jakarta: Djambatan.
      18. Rambey, R. (2008) Tetap Sehat Setelah Bersalin, from Http:// nursingwear/wordpress.
      19. Roper, N. (2002) Prinsip-Prinsip Keperawatan, Yogyakarta: Yayasan Essentia Medika.
      20. Sinsin, L. (2009). Masa Kehamilan dan Persalinan. PT. Elex Media Komputindo, from Http:// www.elexmedia.co.id, 118-119.

      Kamis, 11 Agustus 2011

      KONTRASEPSI SPIRAL, AKDR (ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM), IUD (INTRA UTERINE DEVICE)

      Dr. Suparyanto, M.Kes

      KONTRASEPSI SPIRAL, AKDR (ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM), IUD (INTRA UTERINE DEVICE)

      PENGERTIAN IUD
      • IUD (Intra Uterine Device) adalah alat kontrasepsi yang disisipkan ke dalam rahim, terbuat dari bahan semacam plastik, ada pula yang dililit tembaga, dan bentuknya bermacam-macam. Bentuk yang umum dan mungkin banyak dikenal oleh masyarakat adalah bentuk spiral. Spiral tersebut dimasukkan ke dalam rahim oleh tenaga kesehatan (dokter/bidan terlatih). Sebelum spiral dipasang, kesehatan ibu harus diperiksa dahulu untuk memastikan kecocokannya. Sebaiknya IUD ini dipasang pada saat haid atau segera 40 hari setelah melahirkan (Subrata, 2003).
      • IUD adalah suatu alat atau benda yang dimasukkan ke dalam rahim yang sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang, dapat dipakai oleh semua perempuan usia reproduktif
      • IUD atau AKDR atau Spiral adalah suatu alat yang dimasukkan ke dalam rahim wanita untuk tujuan kontrasepsi.
      • IUD adalah suatu usaha pencegahan kehamilan dengan menggulung secarik kertas, diikat dengan benang lalu dimasukkan ke dalam rongga rahim.
      • IUD/AKDR adalah suatu benda kecil yang terbuat dari plastik yang lentur, mempunyai lilitan tembaga atau juga mengandung hormon dan dimasukkan ke dalam rahim melalui vagina dan mempunyai benang ( Handayani, 2010:141)
      • IUD atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) bagi banyak kaum wanita merupakan alat kontrasepsi yang terbaik. Alat ini sangat efektif dan tidak perlu diingat setiap hari seperti halnya pil. Bagi ibu yang menyusui, AKDR tidak akan mempengaruhi isi, kelancaran ataupun kadar air susu ibu (ASI). Karena itu, setiap calon pemakai AKDR perlu memperoleh informasi yang lengkap tentang seluk - beluk alat kontrasepsi ini (Manuaba , 2010).

      JENIS – JENIS IUD
      • IUD yang banyak dipakai di indonesia dewasa ini dari jenis Un Medicate yaitu Lippes Loop dan yang dari jenis Medicate Cu T, Cu-7, Multiload dan Nova-T. (Handayani, 2010)
      1. AKDR Non-Hormonal
      • Pada saat ini AKDR telah memasuki generasi ke-4, karena itu berpuluh-puluh macam AKDR telah dikembangkan. Mulai dari generasi pertama yang terbuat dari benang sutra dan logam sampai generasi plastic (polietilen) baik yang ditambah obat maupun tidak.
      a.Menurut bentuknya AKDR dibagi menjadi 2 :
      1. Bentuk terbuka (oven device): Misalnya : LippesLoop, CUT, Cu-7, Marguiles, Spring Coil, Multiload, Nova-T.
      2. Bentuk tertutup (closed device): Misalnya : Ota-Ring, Atigon dan Graten Berg Ring.

      b.Menurut Tambahan atau Metal

      1). Medicated IUD
      • Misalnya : Cu T 200 (daya kerja 3 tahun), Cu T 220 (daya kerja 3 tahun), Cu T 300 (daya kerja 3 tahun), Cu T 380 A (daya kerja 8 tahun), Cu-7, Nova T (daya kerja 5 tahun), ML-Cu 375 (daya kerja 3 tahun).
      • Pada jenis Medicated IUD angka yang tertera dibelakang IUD menunjukkan luasnya kawat halus tembaga yang ditambahkan, misalnya Cu T 220 berarti tembaga adaklah 200m².
      • Cara insersi : withdrawal
      2). Un Medicated IUD
      • Misalnya : Lippes Loop, Marguiles, Saf-T Coil, Antigon.
      • Cara insersi lippes loop : Push Out
      • Lippes Loop dapat dibiarkan in-utero untuk selama-lamanya sampai menopause, sepanjang tidak ada keluhan dan atau persoalan bagi akseptornya.
      3). Copper-T
      • AKDR berbentuk T, terbuat dari bahan polyethelen di mana pada bagian vertikalnya diberi lilitan kawat tembaga halus. Lilitan kawat tembaga halus ini mempunyai efek antifertilisasi (anti pembuahan) yang cukup baik.
      4). Copper-7
      • AKDR ini berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pemasangan. Jenis ini mempunyai ukuran diameter batang vertikal 32 mm dan ditambahkan gulungan kawat tembaga (Cu) yang mempunyai luas permukaan 200 mm2, fungsinya sama seperti halnya lilitan tembaga halus pada jenis Coper-T.
      5). Multi Load
      • AKDR ini terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Panjangnya dari ujung atas ke bawah 3,6 cm. Batangnya diberi gulungan kawat tembaga dengan luas permukaan 250 mm2 atau 375 mm2 untuk menambah efektivitas. Ada 3 ukuran multi load, yaitu standar, small (kecil), dan mini.
      6). Lippes Loop
      • AKDR ini terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti spiral atau huruf S bersambung. Untuk meudahkan kontrol, dipasang benang pada ekornya. Lippes Loop terdiri dari 4 jenis yang berbeda menurut ukuran panjang bagian atasnya. Tipe A berukuran 25 mm (benang biru), tipe B 27,5 mm 9 (benang hitam), tipe C berukuran 30 mm (benang kuning), dan 30 mm (tebal, benang putih) untuk tipe D. Lippes Loop mempunyai angka kegagalan yang rendah. Keuntungan lain dari spiral jenis ini ialah bila terjadi perforasi jarang menyebabkan luka atau penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan plastic ( Erfandi, 2008).

      2.IUD yang mengandung hormonal

      a.Progestasert-T = Alza T
      1. Panjang 36 mm, lebar 32 mm, dengan 2 lembar benang ekor warna hitam.
      2. Mengandung 38 mg progesteron dan barium sulfat, melepaskan 65 mcg progesteron per hari.
      3. Tabung insersinya berbentuk lengkung
      4. Daya kerja : 18 bulan
      5. Teknik insersi : plunging (modified withdrawal)

      b. LNG-20
      1. Mengandung 46-60 mg Levonorgestrel, dengan pelepasan 20 mcg per hari.
      2. Sedang ditelit di Firlandia.
      3. Angka kegagalan / kehamilan angka terendah : <0,5 per 100 wanita per tahun.
      4. Penghentian pemakaian oleh karena persoalan-persoalan perdarahan ternyata lebih tinggi dibandingkan IUD lainnya, karena 25% mengalami amenore atau pendarahan haid yang sangat sedikit.

      EFEKTIFITAS
      • Sebagai kontrasepsi AKDR tipe T efektifitasnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 0,6-0,8 kehamilan per 100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalan 125-170 kehamilan). Sedangkan AKDR dengan pregesteron antara 0,5-1 kehamilan per 100 perempuan pada tahun pertama penggunaan (saifuddin, 2003)
      • Efektivitas dari IUD dinyatakan dalam angka kontinuitas (continuation rate) yaitu berapa lama IUD tetap tinggal in-utero tanpa : Ekspulsi spontan, terjadinya kehamilan & pengangkatan / pengeluaran karena alasan-alasan medis atau pribadi.
      1.Efektivitas dari bermacam-macam IUD tergantung pada :
      • IUD-nya : ukuran, bentuk & mengandung Cu atau Progesterone.
      • Akseptor
      1. Umur : Makin tua usia, makin rendah angka kehamilan, ekspulsi dan pengangkatan / pengeluaran IUD.
      2. Paritas : Makin muda usia, terutama pada nulligravid, makin tinggi angka ekspulsi dan pengangkatan/pengeluaran IUD.
      3. Frekuensi senggama

      2.Sebagai kontrasepsi, efektivitasnya tinggi. Sangat efektif 0,6-0,8 kehamilan per 100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegiatan dalam 125-170 kehamilan). (Handayani, 2010)

      CARA KERJA
      • Cara kerja dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut.
      1. Menghambat kemampuan sperma masuk ketuba fallopi.
      2. Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri.
      3. IUD bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu.
      4. IUD membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi.
      5. Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus. (Sarwono, 2007)
      • Mekanisme kerja AKDR sampai saat ini belum diketahui secara pasti, ada yang berpendapat bahwa AKDR sebagai benda asing yang menimbulkan rekasi radang setempat dengan serbukan lekosit yang dapat melarutkan blastosis atau sperma.
      1. Sifat-sifat dari cairan uterus mengalami perubahan-perubahan pada pemakaian AKDR yang menyebabkan blastokista tidak dapat hidup dalam uterus.
      2. Produksi lokal prostaglandin yang meninggi, yang menyebabkan sering adanya kontraksi uterus pada pemakaian AKDR yang dapat menghalangi nidasi.
      3. AKDR yang mengeluarkan hormon akan mengentalkan lender serviks sehingga menghalangi pergerakan sperma untuk dapat melewati cavum uteri.
      4. Pergerakan ovum yang bertambah cepat didalam tuba fallopii
      5. Sebagai metode biasa (yang dipasang sebelum hubungan sexual terjadi) AKDR mengubah transportasi tuba dalam rahim dan mempengaruhi sel telur dan sperma sehingga pembuahan tidak terjadi. Sebagai kontrasepsi darurat (dipasang setelah hubungan sexual terjadi) dalam beberapa kasus mungkin memiliki mekanisme yang lebih mungkin adalah dengan mencegah terjadinya implantasi atau penyerangan sel telur yang telah dibuahi ke dalam dinding rahim.( Hadayani, 2010)

      KEUNTUNGAN, KERUGIAN DAN EFEK SAMPING

      1. Keuntungan dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut: a.sebagai kontrasepsi, efektifitasnya tinggi. b.IUD (AKDR) dapat efektif segera setelah pemasangan, c.Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak perlu diganti), d.Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat, e.Tidak mempengaruhi hubungan seksual, f.Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk hamil, g.Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A), h.Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI, i.Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak terjadi infeksi). j.Dapat digunakan sampai menopause (1 tahun lebih setelah haid terakhir). k.Tidak ada interaksi dengan obat-obat., l.Membantu mencegah kehamilan ektopik (Saifuddin. AB, 2006).
      2. Kerugian dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut. Setelah pemasangan, beberapa ibu mungkin mengeluh merasa nyeri dibagian perut dan pendarahan sedikit-sedikit (spoting). Ini bisa berjalan selama 3 bulan setelah pemasangan. Tapi tidak perlu dirisaukan benar, karena biasanya setelah itu keluhan akan hilang dengan sendrinya. Tetapi apabila setelah 3 bulan keluhan masih berlanjut, dianjurkan untuk memeriksanya ke dokter. Pada saat pemasangan, sebaiknya ibu tidak terlalu tegang, karena ini juga bisa menimbulkan rasa nyeri dibagian perut. Dan harus segera ke klinik jika: a.Mengalami keterlambatan haid yang disertai tanda-tanda kehamilan: mual, pusing, muntah-muntah. b.Terjadi pendarahan yang lebih banyak (lebih hebat) dari haid biasa. c.Terdapat tanda-tanda infeksi, semisal keputihan, suhu badan meningkat, mengigil, dan lain sebagainya. Pendeknya jika ibu merasa tidak sehat. d.Sakit, misalnya diperut, pada saat melakukan senggama. Segeralah pergi kedokter jika anda menemukan gejala-gejala diatas.
      3. Efek samping yang umum terjadi: a.Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan berkurang setelah 3 bulan), b.Haid lebih lama dan banyak. c.Perdarahan (spotting) antara menstruasi, d.Saat haid lebih sakit
      4. Komplikasi lain : a.Merasakan sakit dan kejang selama 3-5 hari setelah pemasangan, b.Perdarahan pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan penyebab anemia, c.Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar).
      5. Tidak mencegah IMS termasuk HIV/AIDS
      6. Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering berganti pasangan.
      7. Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai AKDR. Penyakit radang panggul memicu infertilitas.
      8. Prosedur medis, termasuk pemeriksaan pelvik diperlukan dalam pemasangan AKDR. Seringkali perempuan takut selama pemasangan
      9. Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan AKDR. Biasanya menghilang dalam 1-2 hari
      10. Klien tidak dapat melepas AKDR sendiri
      11. Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apabila AKDR dipasang segera setelah melahirkan)
      12. Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi AKDR untuk mencegah kehamilan normal. Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu. Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam vagina, sebagian perempuan tidak mau melakukan ini. ( Handayani, 2010 )

      INDIKASI

      1.Yang dapat menggunakan: Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang akan memilih AKDR (IUD) adalah :
      1. Usia reproduktif
      2. Keadaan nulipara
      3. Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
      4. Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
      5. Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
      6. Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi Resiko rendah dari IMS
      7. Tidak menghendaki metode hormonal
      8. Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
      9. Tidak menghendaki kehamilan setelah 1-5 hari senggama.

      2. Pada umumnya seorang ibu dapat menggunakan AKDR dengan aman dan efektif. AKDR juga dapat digunakan pada ibu dalam segala kemungkinan keadaan, misalnya:
      1. Perokok
      2. Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat adanya infeksi
      3. Sedang memakai antibiotika atau antikejang
      4. Gemuk ataupun kurus
      5. Sedang menyusui

      3. Begitu juga ibu dalam keadaan seperti di bawah ini:
      1. Penderita tumor jinak payudara
      2. Penderita kanker payudara
      3. Pusing-pusing, sakit kepala
      4. Tekanan darah tinggi
      5. Varises di tungkai atau di vulva
      6. Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat diberi antibiotika sebelum pemasangan AKDR)
      7. Pernah menderita stroke
      8. Penderita diabetes
      9. Penderita penyakit hati atau empedu
      10. Malaria
      11. Skistosomiasis (tanpa anemia)
      12. Penyakit tiroid
      13. Epilepsi
      14. Nonpelvik TBC
      15. Setelah kehamilan ektopik
      16. Setelah pembedahan pelvic. ( Handayani, 2010 )

      KONTRA INDIKASI

      1. Ada beberapa ibu yang dianggap tidak cocok memakai kontrasepsi jenis IUD ini. Ibu-ibu yang tidak cocok itu adalah mereka yang menderita atau mengalami beberapa keadaan berikut ini:
      1. Kehamilan.
      2. Penyakit kelamin (gonorrhoe, sipilis, AIDS, dsb).
      3. Perdarahan dari kemaluan yang tidak diketahui penyebabnya.
      4. Tumor jinak atau ganas dalam rahim.
      5. Kelainan bawaan rahim.
      6. Penyakit gula (diabetes militus).
      7. Penyakit kurang darah.
      8. Belum pernah melahirkan.
      9. Adanya perkiraan hamil.
      10. Kelainan alat kandungan bagian dalam seperti: perdarahan yang tidak normal dari alat kemaluan, perdarahan di leher rahim, dan kanker rahim
      11. Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm (Saifuddin, 2006).

      FAKTOR -FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN IUD
      • Ada beberapa faktor yang kurang mendukung penggunaan metode kontrasepsi IUD ini, antara lain :
      1.Faktor internal

      a. Pengalaman
      • Orang yang pernah memakai metode KB IUD, kemudian mengalami efek samping yang dirasa mengganggu atau menyebabkan rasa tidak enak/kurang menyenangkan maka kemungkinan akan mengalihkan metode kontrasepsi IUD yang digunakan ke metode KB lainnya. (Erfandi, 2008).
      b. Takut terhadap efek samping
      • Ketakutan akan keluarnya (ekspulsi) material IUD dari rahim/jalan lahir. Hal ini biasanya terjadi pada waktu haid, disebabkan ukuran IUD yang terlalu kecil. Ekspulsi ini juga dipengaruhi oleh jenis bahan yang dipakai. Makin elastis sifatnya makin besar kemungkinan terjadinya ekspulsi. Sedangkan jika permukaan IUD yang bersentuhan dengan rahim (cavum uteri) cukup besar, kemungkinan terjadinya ekspulsi kecil. Ketakutan juga dapat terjadi akibat pengalaman individual orang lain yang mengalami nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan IUD. Biasanya menghilang dalam 1-2 hari (Erfandi, 2008).
      c. Pengetahuan/pemahaman yang salah tentang IUD
      • Kurangnya pengetahuan pada calon akseptor sangat berpengaruh terhadap pemakaian kontrasepsi IUD. Dari beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala pengetahuan dari wanita kurang maka penggunaan kontrasepsi terutama IUD juga menurun. Jika hanya sasaran para wanita saja yang selalu diberi informasi, sementara para suami kurang pembinaan dan pendekatan, suami kadang melarang istrinya karena faktor ketidaktahuan dan tidak ada komunikasi untuk saling memberikan pengetahuan (Evereet, 2008). d.Pendidikan PUS yang rendah
      • Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan pasangan suami - istri yang rendah akan menyulitkan proses pengajaran dan pemberian informasi, sehingga pengetahuan tentang IUD juga terbatas (Erfandi, 2008).
      e. Malu dan risih
      • Perasaan malas atau risih karena harus memeriksa posisi benang IUD dari waktu ke waktu. Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam vagina, sebagian perempuan tidak mau melakukan ini (Erfandi, 2008).
      f. Adanya penyakit atau kondisi tertentu yang merupakan kontraindikasi pemasangan IUD.
      • Penyakit kelamin (gonorrhoe, sipilis, AIDS, dsb), perdarahan dari kemaluan yang tidak diketahui penyebabnya, tumor jinak atau ganas dalam rahim, kelainan bawaan rahim, penyakit gula (diabetes militus), dan anemia (Erfandi, 2008).
      g. Persepsi tentang IUD
      • Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika persepsi seseorang tidak akurat, seseorang tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan seseorang untuk memiih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain (Sobur Alex, 2009).
      • Belum terbiasanya masyarakat setempat dalam penggunaan kontrasepsi IUD bisa terjadi akibat salah persepsi atau pandangan-pandangan subyektif seperti IUD dapat mempengaruhi kenyamanan dalam hubungan seksual (Erfandi, 2008). Sikap dan pandangan negatif masyarakat juga berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan seseorang. Banyak mitos tentang IUD seperti mudah terlepas jika bekerja terlalu keras, menimbulkan kemandulan, dan lain sebagainya (Erfandi, 2008).

      2. Faktor eksternal

      a. Prosedur pemasangan IUD yang rumit.
      • Prosedur medis, termasuk pemeriksaan plevik diperlukan dalam pemasangan IUD seringkali menimbulkan perasaan takut selama pemasangan (Erfandi, 2008).
      b. Pengaruh dan pengalaman akseptor IUD lainnya
      • Pengaruh dari cerita atau pengalaman mantan pengguna atau akseptor IUD tentang ketidaknyamanan yang dirasakan akan mengurungkan niat calon akseptor untuk menggunakan metode IUD. Mereka akan memilih metode yang dianggapnya lebih aman, mudah, dan sedikit efek samping (Erfandi, 2008).
      c. Sosial budaya dan ekonomi
      • Tingkat ekonomi mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi yang diperlukan akseptor harus menyediakan dana yang diperlukan. Walaupun jika dihitung dari segi keekonomisannya, kontrasepsi IUD lebih murah dari KB suntik atau pil, tetapi kadang orang melihatnya dari berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali pasang. Kalau patokannya adalah biaya setiap kali pasang, mungkin IUD tampak jauh lebih mahal. Tetapi kalau dilihat masa/jangka waktu penggunaannya, tentu biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasangan IUD akan lebih murah dibandingkan KB suntik ataupun pil. Untuk sekali pasang, IUD bisa aktif selama 3-5 tahun, bahkan seumur hidup/sampai menopause. Sedangkan KB Suntik atau Pil hanya mempunyai masa aktif 1-3 bulan saja, yang artinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan IUD, seseorang harus melakukan 12-36 kali suntikan bahkan berpuluh-puluh kali lipat (Erfandi, 2008).
      • Pandangan dari agama-agama tertentu yang melarang atau mengharamkan penggunaan IUD. Ada beberapa orang yang menganggap bahwa metode KB IUD termasuk yang dilarang dalam ajaran agama, karena beberapa produk IUD saat ini terbuat dari bahan yang tidak kondusif bagi zygote sehingga bisa membunuhnya dan proses kehamilan tidak terjadi.
      d. Pekerjaan
      • Wanita yang bekerja, terutama pekerjaan yang melibatkan aktivitas fisik yang tinggi seperti bersepeda angin, berjalan, naik turun tangga atau sejenisnya, kemungkinan salah akan persepsi untuk menggunakan metode IUD dengan alasan takut lepas (ekspulsi), khawatir mengganggu pekerjaan atau menimbulkan nyeri saat bekerja. Pekerjaan formal kadang-kadang dijadikan alasan seseorang untuk tidak menggunakan kontrasepsi, karena tidak sempat atau tidak ada waktu ke pusat pelayanan kontrasepsi (Erfandi, 2008).

      INSERSI / PEMASANGAN IUD

      1.Insersi yang tidak baik dari IUD dapat menyebabkan :
      • Ekspulsi.
      • Kerja kontraseptif tidak efektif.
      • Perforasi uterus.
      2.Untuk sukses / berhasilnya insersi IUD tergantung pada beberapa hal, yaitu :
      • Ukuran dan macam IUD beserta tabung inserternya.
      • Makin kecil IUD, makin mudah insersinya, makin tinggi ekspulsinya.
      • Makin besar IUD, makin sukar insersinya, makin rendah ekspulsinya.
      3.Waktu atau saat insersi.

      a.Insersi Interval
      1. Kebijakan (policy) lama : Insersi IUD dilakukan selama atau segera sesudah haid. Alasan : Ostium uteri lebih terbuka, canalis cervicalis lunak, perdarahan yang timbul karena prosedur insersi, tertutup oleh perdarahan haid yang normal, wanita pasti tidak hamil. Tetapi, akhirnya kebijakan ini ditinggalkan karena : Infeksi dan ekspulsi lebih tinggi bila insersi dilakukan saat haid, Dilatasi canalis cervicalis mid-siklus, memudahkan calon akseptor pada setiap ia datang ke klinik KB.
      2. Kebijakan (policy) sekarang : Insersi IUD dapat dilakukan setiap saat dari siklus haid asal kita yakin seyakin-yakinnya bahwa calon akseptor tidak dalam keadaan hamil.
      b.Insersi Post-Partum
      • Insersi IUD adalah aman dalam beberapa haris post-partum, hanya kerugian paling besar adalah angka kejadian ekspulsi yang sangat tinggi. Tetapi menurut penyelidikan di Singapura, saat yang terbaik adalah delapan minggu post-partum. Alasannya karena antara empat-delapan minggu post-partum, bahaya perforasi tinggi sekali.
      c.Insersi post-Abortus
      • Karena konsepsi sudah dapat terjadi 10 hari setelah abortus, maka IUD dapat segera dipasang sesudah :
      1. Abortus trimester I : Ekspulsi, infeksi, perforasi dan lain-lain sama seperti pada insersi interval.
      2. Abortus trimester II : Ekspulsi 5 – 10x lebih besar daripada setelah abortus trimester I.
      d.Insersi Post Coital

      e.Dipasangkan maksimal setelah 5 hari senggama tidak terlindungi.

      4.Teknik insersi, ada tiga cara :
      1. Teknik Push Out : mendorong : Lippes Loop, Bahaya perforasi lebih besar.
      2. Teknik Withdrawal : menarik : Cu IUD.
      3. Teknik Plunging : “mencelupkan” : Progestasert-T.( Handayani, 2010 )

      WAKTU KUNJUNGAN ULANG
      1. Satu (1) satu bulan setelah pemasangan
      2. Tiga (3) bulan kemudian
      3. Setiap 6 bulan berikutnya
      4. Satu (1) tahun sekali
      5. Bila terlambat haid 1minggu
      6. Bila terjadi perdarahan banyak dan tidak teratur

      DAFTAR PUSTAKA

      1. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
      2. Depkes, RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta : di akses 18 Mei 2011.
      3. Erfandi. (2008). Metode AKDR/IUD. diakses 20 Mei 2011. From http://puskesmas-oke.Blogspot.com
      4. Handayani, S (2010). Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta : Pustaka Rihana.
      5. Hartanto, H. (2007). Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta : Sinar Harapan.
      6. Mansjoer Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran I. Jakarta: Media Ausculapieus.
      7. Mubarok. Wahid Iqbal. (2007). Promosi Kesehatan. Jogjakarta : Graha ilmu.
      8. Mubarak, Wahit Iqbal.2007.Promosi Kesehatan.Jogjakarta:Graha Ilmu
      9. Mubarak, Wahit Iqbal, dkk.2007.Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan aplikasi.Jakarta:Salemba Medika
      10. Manuaba, IBG. (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
      11. Notoatmodjo, S. 2007.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
      12. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010.Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
      13. Nursalam, (2008) .Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
      14. Suyanto. S. Kp. M. kep. ( 2009 ). Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Jogjakarta :
      15. Saifudin Abdul Bari. (2006). Buku acuan Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
      16. Sarwono, P. (2005). Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
      17. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan.Jogjakarta: Graha Ilmu
      18. Setya Arum, Dyah N. (2009). Panduan Lengkap Pelayanan KB terkini. Jogjakarta : Nuha Medika.
      19. Suyanto dan Ummi Salamah.2009.Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Jogjakarta:Mitra Cendekia
      20. Varney, Helen. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan edisi 4 volume 1. jakarta : EGC.