MASALAH HIPERTENSI (TEKANAN DARAH TINGGI)
2.1 Tekanan
darah
2.1.1
Definisi
tekanan darah
Tekanan
darah adalah darah yang dihasilkan oleh tekanan terhadap pembuluh darah.
Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas pembuluh darah.
Peningkatan pembuluh darah disebabkan peningkatan volume darah atau penurunan
elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan
tekanan darah (Ronny, Setiawan, Fatimah 2008, h. 26).
Darah yang
dipompa oleh jantung akan mengalir ke dalam pembuluh darah arteri. Pada saat
darah mengalir ke dalam arteri, arteri meregang namun karena sifatnya yang
elastisitas arteri akan kembali ke ukuran semula dan dengan demikian darah akan
mengalir ke daerah yang lebih distal. Tekanan darah ditentukan oleh curah
jantung atau cardiac output (CO)
dikali total peripheral resistance (TPR).
Curah jantung normal adalah 5 liter/menit dan dipengaruhi oleh usia, posisi
tubuh, olahraga, obat-obatan (digitalis), dan penyakit intrakardial atau
ekstra-kardial (Ronny, Setiawan, Fatimah 2008, h. 26).
Ketika
jantung kita berdetak, lazimnya 60 hingga 70 kali dalam 1 menit pada kondisi istirahat
(duduk atau berbaring), darah dipompa menuju dan melalui arteri. Tekanan darah
paling tinggi terjadi ketika jantung berdetak memompa darah. Ini disebut
tekanan sistolik. Tekanan darah menurun saat jantung relaks di antara dua
denyut nadi. Ini disebut tekanan diastolik. Tekanan darah ditulis sebagai
tekanan sistolik per tekanan diastolik (sebagai contoh, 120/80) (E. Kowalski
2010, hh. 36-37).
Tekanan darah amat dipengaruhi oleh kondisi
saat itu, misalnya seseorang yang sedang ketakutan atau habis beraktivitas
fisik berat akan memiliki tekanan darah yang tinggi (Sallika 2010, h. 141).
2.1.2
Regulasi
tekanan darah
Ginjal
memegang peranan utama pada pengaturan tingginya tekanan darah, yang
berlangsung melalui suatu sistem khusus, yakni sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron,
singkatnya RAAS. Bila volume darah yang mengalir melalui ginjal berkurang dan
tekanan darah di gromeruli ginjal menurun, misalnya karena penyempitan arteri
setempat, maka ginjal dapat membentuk dan melepaskan enzim proteolitis renin.
Dalam plasma renin menghidrolisa protein Angiotensino-gen (yang terbentuk di
dalam hati) menjadi Angiotensin I (AT I). Zat ini diubah oleh enzim ACE
(Angiotensin Converting Enzyme, yang disintesa antara lain di paru-paru) menjadi
zat aktif Angiotensin II. AT II ini antara lain berdaya vasokonstriktif kuat
dan menstimulasi sekresi hormon aldosteron oleh anak ginjal dengan sifat
retensi garam dan air. Akibatnya ialah volume darah dan tekanan darah naik lagi
menjadi normal (Hoan dan Rahardja 2007, h.539).
Di samping regulasi hormonal tersebut dangan RAAS, masih
terdapat beberapa faktor fisiologi yang dapat mempengaruhi tekanan darah,
yakni:
Gambar 2.1 Sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) (Tjay H, Rahardja dan Kirana, 2007)
2.1.3
Klasifikasi
tekanan darah
A.
Hipotensi
Hipotensi
(tekanan darah rendah) timbul akibat penurunan curah jantung, atau penurunan
resistensi perifer. Penurunan curah jantung terjadi pada penyakit Addison, Miokarditis, Infark miokard,
dan Perikarditis dengan efusi, tekanan darah rendah juga dapat
terjadi setelah pendarahan. Hipotensi mungkin merupakan tanda gangguan
pengaturan otonom pada sindroma
Shy-Drager. Tekanan darah rendah adalah kurang dari 90/60 mmHg (H. Delp
1996, h. 333).
B.
Normotensi
Normotensi
(tekanan darah normal) adalah tingkatan sistolik dan diastolik darah seseorang
yang masih dalam batas normal yaitu 120/80 mmHg (Sallika 2010, h. 141).
C.
Hipertensi
Hipertensi
adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang menetap. Secara
sederhana seseorang disebut hipertensi apabila tekanan darah sistolik di atas
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg (Tuti dan Susirah 2005,
h. 5).
2.2 Hipertensi
2.2.1
Definisi
hipertensi
Hipertensi
adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang cukup banyak mengganggu
kesehatan masyarakat. Pada umumnya, terjadi pada manusia yang sudah berusia
setengah umur (usia lebih dari 40 tahun). Namun, banyak orang yang tidak
menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya
tidak nyata dan pada stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada
kesehatannya (Gunawan 2001 h.16).
Hipertensi
adalah kondisi jika dimana tekanan darah sistole 140 mmHg atau lebih tinggi dan
tekanan darah diastole 90 mmHg atau lebih tinggi. Hipertensi merupakan penyakit
multifaktor. Secara prinsip terjadi akibat peningkatan curah jantung atau
akibat peningkatan resistansi vaskular karena efek vasokonstriksi yang melebihi
efek vasodilatasi. Peningkatan vasokonstriksi dapat disebabkan karena efek
alpha adrenegik, aktivasi berlebihan dari sistem RAAS atau karena peningkatan
sensitivitas arteriol perifer terhadap mekanisme vasokonstriksi normal (Syamsudin
2011, h.22).
2.2.2
Gejala
klinis hipertensi
Menurut
Elizabeth J. Corwin, sebagian besar tanpa disertai gejala yang mencolok dan
manifestasi klinis timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun berupa:
1)
Sakit
kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan
tekanan darah intrakranium.
2)
Penglihatan
kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.
3)
Cara
berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
4)
Nokturia
yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
5)
Edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler (J. Corwin 2009,
h. 487).
2.2.3
Klasifikasi
hipertensi
1.
Berdasarkan
tekanan sistolik dan diastoliknya
Tekanan
sistolik (bagian atas) adalah tekanan puncak yang tercapai pada waktu jantung
berkontraksi dan memompakan darah melalui arteri. Sedangkan tekanan diastolik
(angka bawah) adalah tekanan pada waktu
jatuh ke titik terendah saat jantung mengisi darah kembali, atau disebut juga
tekanan arteri di antara denyut jantung (Tuti dan Susirah 2005, h.5).
Tabel 2.1 Kategori hipertensi berdasarkan
tekanan sistolik dan diastolik
Kategori
|
Tekanan
sistolik/ mmHg
|
Tekanan
diastolik/ mmHg
|
Normal
|
< 130
|
<85 span="">85>
|
Normal tinggi
|
130-139
|
85-89
|
Hipertensi ringan
|
140-159
|
90-99
|
Hipertensi sedang
|
160-179
|
100-109
|
Hipertensi berat
|
180-209
|
110-119
|
Hipertensi sangat berat
|
>210
|
>120
|
(Sumber: Hidangan Sehat Untuk
penderita Hipertensi, 2005)
2.
Berdasarkan
etiologinya
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas
hipertensi esensial (primer) dan hipertensi sekunder.
A.
Hipertensi
esensial (primer)
Hipertensi primer adalah penyakit
hipertensi yang tidak langsung disebabkan oleh penyebab yang telah diketahui.
Dalam bahasa sederhana atau menurut istilah orang awam adalah hipertensi yang
penyebabnya tidak atau belum diketahui (Bangun 2003, h.3).
Mereka yang menderita hipertensi primer,
tidak menunjukkan gejala apa pun. Pada umumnya, penyakit hipertensi primer baru
diketahui pada waktu memeriksakan kesehatan ke dokter (Bangun 2003, h.3).
Juga disebut hipertensi esensial atau
idiopatik dan merupakan 95% dari kasus-kasus hipertensi. Selama 75 tahun
terakhir telah banyak penelitian untuk mencari etiologinya (Gray 2002, h. 58).
B.
Hipertensi
sekunder
Hipertensi
sekunder adalah hipertensi yang telah diketahui penyebabnya. Timbulnya penyakit
hipertensi sekunder sebagai akibat dari suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan
seseorang (Bangun 2003, h.4). Sekitar 5% kasus hipertensi telah diketahui
penyebabnya, dan dapat dikelompokkan seperti di bawah ini:
1)
Penyakit
parenkim ginjal (3%). Setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) yang
menyebabkan kerusakan parenkim akan cenderung menimbulkan hipertensi dan
hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan ginjal (Gray 2002,
h.62-63).
2)
Penyakit
renovaskular (1%). Terdiri atas penyakit yang menyebabkan gangguan pasokan
darah ginjal dan secara umum dibagi atas aterosklerosis,
yang terutama mempengaruhi sepertiga bagian proksimal arteri renalis dan paling
sering terjadi pada pasien usia lanjut, dan fibrodisplasia yang terutama
mempengaruhi 2/3 bagian distal, dijumpai paling sering pada individu muda,
terutama perempuan. Penurunan pasokan darah ginjal akan memicu produksi renin
ipsilateral dan meningkatakan tekanan darah. Keadaan ini perlu dicurigai jika
hipertensi terjadi mendadak, secara umum sukar diterapi tetapi kembali normal
dengan penghambat ACE, jika berat atau meningkat, dan jika bruit abdominal
dapat didengar (Gray 2002, h.62-63).
3)
Endokrin
(1%). Pertimbangkan aldosteronisme primer
(sindrom conn) jika terdapat hipokalemia bersama hipertensi. Tingginya
kadar aldosteron dan renin yang rendah akan mengakibatkan kelebihan (overload) natrium dan air. Biasanya
disebabkan adenoma jinak soliter atau hyperplasia adrenal bilateral. Diagnosis
dibantu dengan pemindaian tomografi computer (CT) atau pencitraan resonansi magnetik
(MR), dan terapinya adalah dengan reseksi tumor atau menggunakan antagonis
aldosteron, spironolakton (Gray H et al 2002, h. 63).
4)
Sindrom chusing disebabkan oleh
hyperplasia adrenal bilateral yang disebabkan oleh adenoma hipofisis yang
menghasilkan ACTH (adrenocorticotrophic
hormone) pada dua pertiga kasus, dan tumor adrenal primer pada sepertiga
kasus. Perlu dicurigai jika terdapat hipertensi bersama dengan obesitas, kulit
tipis, kelemahan otot, dan osteoporosis. Diagnosis diketahui dengan pemeriksaan
kortisol urin 24 jam dan tes supresi deksametason, dilanjutkan CT atau
pemindaian MR kelenjar hipofisis dan adrenal jika kortisol abnormal (Gray 2002,
h.62-63).
5)
Hyperplasia
adrenal kongenital merupakan penyebab hipertensi pada anak (jarang) (Gray 2002,
h.63).
6)
Feokromositoma disebabkan oleh tumor sel
kromafin asal neural yang mensekresikan katekolamin, 90% berasal dari kelenjar
adrenal. Kurang lebih 10% terjadi di tempat lain dalam rantai simpatis, 10%
dari tumor ini ganas, dan 10% adenoma adrenal adalah bilateral. Feokromositoma dicurigai jika tekanan
darah berfluktuasi tinggi, disertai takikardia, berkeringat, atau edema paru
karena gagal jantung (Gray 2002, h.63).
7)
Kaitan
dengan kehamilan. Hipertensi gestasional terjadi sampai 10% kehamilan pertama,
lebih sering pada ibu muda, diperkirakan karena aliran uteroplasental yang
kurang baik dan umumnya terjadi pada trimester terakhir atau awal periode
postpartum. Terdapat proteinuria, peningkatan kadar urat serum, dan pada kasus
yang berat menyebabkan sindrom pre-eklamsia. Kelahiran akan mengakhiri
hipertensi (Gray 2002, h.63).
8)
Akibat
obat. Penggunaan obat yang paling banyak berkaitan dengan hipertensi adalah pil
kontrasepsi oral (OCP), dengan 5% perempuan mengalami hipertensi dalam 5 tahun
sejak memulai penggunaan. Perempuan usia lebih tua (>35 tahun) lebih mudah
terkena, begitu pula dengan perempuan yang pernah mengalami hipertensi selama
hamil. Obat lain yang berkaitan dengan hipertensi termasuk siklosporin,
eritropoietin, dan kokain (Gray 2002, h.64).
2.2.4
Faktor
risiko
Seseorang
yang menderita hipertensi akan memilik penderitaan yang lebih berat lagi jika
semakin banyak faktor risiko yang menyertai. Hampir 90% penderita hipertensi
tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Para ahli membagi dua kelompok faktor
risiko pemicu timbulnya hipertensi, yaitu faktor yang tidak dapat dikontrol dan
faktor yang dapat dikontrol (Dalimartha 2008, h.21).
1.
Faktor
yang tidak dapat dikontrol
Beberapa faktor
yang tidak dapat dikontrol antara lain sebagai berikut:
a.
Ras
Suku berkulit hitam berisiko lebih
tinggi terkena hipertensi. Di amerika, penderita hipertensi berkulit hitam 40%
lebih banyak dibandingkan penderita berkulit putih (Sutomo 2009, h.20).
b.
Usia
Hipertensi
bisa terjadi pada semua usia. Tetapi semakin bertambah usia seseorang, risiko
terserang hipertensi semakin meningkat. Hal ini terjadi akibat perubahan alami
pada jantung, pembuluh darah, dan hormon (Sutomo 2009, h.20).
Pada
umumnya, hipertensi menyerang pria pada usia diatas 31 tahun, sedangkan pada
wanita terjadi setelah usia 45 tahun (menopause) (Dalimartha 2008, h.22).
c.
Riwayat
keluarga
Hipertensi
bisa diturunkan. Anak yang salah satu orang tuanya mengidap hipertensi,
memiliki risiko 25% menderita hipertensi juga. Apabila kedua orang tuanya
menderita hipertensi, 60% keturunanya menderita hipertensi juga (Sutomo 2009,
h.20).
Hipertensi
juga banyak dijumpai pada penderita yang kembar monozigot (satu telur) apabila
salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik
mempunyai peran dalam terjadinya hipertensi (Dalimartha 2008, h.22).
d.
Jenis
kelamin
Hipertensi
lebih mudah menyerang kaum laki-laki daripada perempuan. Hal itu kemungkinan
karena laki-laki banyak memiliki faktor pendorong terjadinya hipertensi,
seperti stress, kelelahan, dan pola makan yang tidak terkontrol. Adapun
hipertensi pada perempuan peningkatan risiko terjadi setelah masa menopause
(sekitar 45 tahun) (Dalimartha 2008, h.22).
2.
Faktor
yang dapat dikontrol
a.
Kegemukan
Berdasarkan
penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi. Telah
dibuktikan pula bahwa faktor ini mempunyai kaitan erat dengan terjadinya
hipertensi dikemudian hari (Dalimartha 2008, h.22).
Kegemukan
sendiri tidak sama dengan kelebihan berat badan. Kegemukan adalah tubuh yang
mengandung lemak lebih dari yang dibutuhkan untuk memelihara fungsi tubuh.
Tidak seorang pun mengetahui dengan tepat mengapa kegemukan menyebabkan
hipertensi atau mengapa tekanan darahnya menurun jika mengurangi berat badan (Bangun
2003, h.31).
Jika kita
terlalu gemuk, pengurangan berat badan dapat menurunkan tekanan darah sampai
tingkatan tertentu. Dr. William B. Kannel, Kepala Bagian Pencegahan Kesehatan
dan Epidemiologi, Pusat kedokteran Universitas Boston, Massachusetts, Amerika
Serikat, menyatakan bahwa kelebihan berat badan adalah salah satu penyebab
terbesar terjadinya hipertensi (Bangun 2003, h.31).
Diperkirakan
sebanyak 70% kasus baru penyakit hipertensi adalah orang dewasa yang berat
badannya sedang bertambah. Dugaannya adalah jika berat badan seseorang
bertambah, volume darah akan bertambah pula, sehingga beban jantung untuk
memompa darah juga bertambah. Sering kali kenaikan volume darah dan beban pada
tubuh yang bertambah berhubungan dengan hipertensi, karena semakin besar
bebannya, semakin berat pula kerja jantung dalam memompa darah keseluruh tubuh.
Kemungkinan lain adalah dari faktor produksi insulin, yakni suatu hormon yang
diproduksi oleh pankreas untuk mengatur kadar gula dalam darah. Jika berat
badan bertambah, terdapat kecenderungan pengeluaran insulin yang bertambah.
Dengan bertambahnya insulin, penyerapan natrium dalam ginjal akan berkurang.
Dengan bertambahnya natrium dalam tubuh, volume cairan dalam tubuh juga akan
bertambah. Semakin banyak cairan termasuk darah yang ditahan, tekanan darah
semakin tinggi (Bangun 2003, h.32).
Lemak jenuh
dan lemak trans yang masuk kedalam tubuh patut juga untuk diwaspadai. Konsumsi
kedua lemak ini secara terus-menerus menyebabkan penumpukan lemak di dalam
pembuluh darah. Akibatnya arteri menyempit dan perlu tekanan lebih besar untuk
mengalirkan darah keseluruh tubuh (Sutomo 2009, h.21).
b.
Sindroma
resistensi insulin atau sindroma metabolik
Faktor ini dipercaya
para dokter sebagai faktor genetik. Glukosa hasil sintesa makanan akan diangkut
oleh darah ke seluruh tubuh lalu diubah menjadi sumber energi. Agar glukosa bisa
masuk ke dalam sel-sel tubuh dibutuhkan insulin. Namun, ada beberapa orang yang
kurang mampu merespon insulin sehingga tubuh memproduksi lebih banyak insulin.
Lama-kelamaan, pankreas tidak mampu lagi mengatasi resistensi insulin. Kondisi
ini akan mengarah ke diabetes tipe II. Inilah kenyataan mengapa diabetes sangat
berkaitan dengan hipertensi (Sutomo 2009, h.21).
c.
Kurangnya
aktivitas fisik
Faktor ini
merupakan salah satu langkah mengatasi faktor pertama dan kedua. Apabila
seseorang yang kurang aktivitas fisik (olahraga), frekuensi denyut jantung
menjadi lebih tinggi sehingga memaksa jantung bekerja lebih keras setiap
kontraksi (Sutomo 2009, h.21).
d.
Merokok
Hipertensi
juga dapat dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang dihisap
seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat meningkatkan
penggumpalan darah dalam pembuluh darah. Selain itu, nikotin juga dapat
menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding pembuluh darah (Dalimartha 2008,
h.23).
e.
Sensitivitas
natrium
Garam
mempunyai sifat menahan air. Konsumsi garam yang berlebihan dengan sendirinya
akan menaikkan tekanan darah (Dalimartha 2008, h.22).
Beberapa
orang lebih sensitif terhadap natrium. Tubuh mereka akan menahan natrium di
dalam tubuh sehingga terjadi retensi air dan peningkatan tekanan darah. Usia
pun mempengaruhi kemampuan tubuh menahan natrium. Semakin tua umur seseorang,
maka tubuhnya semakin sensitif terhadap natrium (Sutomo 2009, h.21).
f.
Kalium
rendah
Kalium
membantu tubuh menjaga keseimbangan jumlah natrium di dalam jaringan sel.
Apabila tubuh kekurangan kalium, natrium yang berlebihan di dalam tubuh tidak
bisa dikeluarkan sehingga risiko hipertensi meningkat (Sutomo 2009, h.22).
g.
Konsumsi
minuman beralkohol secara berlebihan
Sekitar
5-20% kasus hipertensi disebabkan oleh alkohol. Hubungan alkohol dan hipertensi
memang belum jelas. Tetapi penelitian menyebutkan, risiko hipertensi meningkat
dua kali lipat jika mengonsumsi alkohol tiga gelas atau lebih (Sutomo 2009,
h.22).
h.
Stres
Tekanan darah
bisa sangat tinggi ketika stres datang, tetapi sifatnya hanya sementara. Stres
juga bisa memicu seseorang berperilaku buruk yang bisa meningkatkan risiko
hipertensi (Sutomo 2009, h.22).
2.2.5
Komplikasi
dan penyakit penyerta
Seperti
penyakit kronis lalinnya, pada hipertensi pun berbagai penyakit dapat menyertai
(penyakit penyerta) dan timbul bersamaan sehingga berpotensi memperburuk
kerusakan organ.
A.
Komplikasi
Penderita
hipertensi beresiko terserang penyakit lain yang timbul kemudian. Beberapa penyakit
yang timbul sebagai akibat hipertensi diantaranya sebagai berikut (Dalimartha
2008, hh. 13-15).
1)
Penyakit
jantung koroner
Penyakit ini
sering dialami penderita hipertensi sebagai akibat terjadinya pengapuran pada
dinding pembuluh darah jantung. Hal ini menyebabkan rasa nyeri di dada dan
dapat berakibat gangguan pada otot jantung. Bahkan, dapat menyebabkan timbulnya
serangan jantung (Dalimartha 2008, h.13-15).
2)
Gagal
jantung
Tekanan
darah yang tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat untuk memompa darah.
Kondisi itu berakibat otot jantung akan menebal dan meregang sehingga daya
pompa otot menurun. Pada akhirnya, dapat terjadi kegagalan kerja jantung secara
umum. Tanda-tanda adanya komplikasi yaitu sesak nafas, nafas putus-putus (pendek),
dan terjadi pembengkakan pada tungkai bawah serta kaki (Dalimartha 2008,
h.13-15).
3)
Kerusakan
pembuluh darah otak
Beberapa
penelitian di luar negeri mengungkapkan bahwa hipertensi menjadi penyebab utama
pada kerusakan pembuluh darah otak. Ada dua jenis kerusakan yang ditimbulkan
yaitu pecahnya pembuluh darah dan rusaknya dinding pembuluh darah. Dampak
akhirnya, seseorang bisa mengalami stroke dan kematian (Dalimartha 2008,
h.13-15).
4)
Gagal
ginjal
Gagal ginjal merupakan peristiwa dimana
ginjal tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ada dua jenis kelainan
ginjal akibat hipertensi, yaitu nefrosklerosis benigna dan nefrosklerosis
maligna. Nefrosklerosis benigna terjadi pada hipertensi yang berlangsung lama
sehingga terjadi pengendapan fraksi-fraksi plasma pada pembuluh darah akibat
proses menua. Hal itu akan menyebabkan daya permeabilitas dinding pembuluh
darah berkurang. Adapun nefrosklerosis maligna merupakan kelainan ginjal yang
ditandai dengan naiknya tekanan diastole di atas 130 mmHg yang disebabkan terganggunya
fungsi ginjal (Dalimartha 2008, h.13-15).
B.
Penyakit
penyerta
Hipertensi
merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang juga sering diikuti penyakit
lain yang menyertai dan memperburuk kondisi organ penderita. Penyakit yang
sering kali menjadi penyerta dari penyakit hipertensi antara lain sebagai
berikut.
1)
Kencing
manis (diabetes mellitus)
Penyakit ini
perlu segera ditangani sehingga kadar gula darah penderita terkontrol. Hal itu
dapat menjauhkan penderita dari komplikasi sehingga tidak memperberat kerusakan
organ yang ditimbulkan hipertensi selain kerusakan akibat diabetes itu sendiri
(Dalimartha 2008, h.13-15).
2)
Resistensi
insulin (R-I)
Resistensi
insulin adalah penyakit yang timbul karena sel tubuh tidak dapat memanfaatkan
maksimal insulin yang tersedia dalam darah sehingga glukosa darah tidak dapat
seluruhnya masuk ke jaringan tubuh. Keadaan ini banyak terjadi pada penderita
obesitas (kegemukan). Resistensi insulin itu dapat menjadi penyebab timbulnya
penyakit diabetes, gangguan kadar lemak darah (dislipidemia), ataupun
hipertensi yang pada akhirnya dapat merusak lapisan pembuluh darah (endotelium)
dengan berbagai efek medisnya (Dalimartha 2008, h.13-15).
3)
Hiperfungsi
kelenjar tiroid (hipertiroid)
Gangguan
hiperfungsi kelenjar tiroid merupakan penyakit endokrin yang meningkatkan
metabolisme normal di dalam tubuh dan menyebabkan naiknya tekanan darah. Oleh
karena itu, metabolisme dalam tubuh yang terganggu dan naiknya tekanan darah
perlu segera ditangani (Dalimartha 2008, h.13-15).
4)
Rematik
Jenis
penyakit rematik sangat beragam, bahkan mencapai lebih 100 jenis, dari yang
ringan sampai yang berat. Ada jenis yang merusak berbagai macam organ tubuh
sehingga akibat yang ditimbulkannya akan semakin memperberat kondisi penderita
hipertensi (Dalimartha 2008, h.13-15).
5)
Gout/Hiperurisemia/Asam urat
Gout dapat menyebabkan penyakit rematik, gout dipengaruhi oleh makanan yang
banyak mengandung purin, seperti hati, lompa, ginjal, jeroan, otak, sardine,
jantung, kerang, kacang tanah, kedelai, bayam, buncis, dan kembang kol
(Dalimartha 2008, h.13-15).
Purin dalam
bahan makanan oleh tubuh akan dimetabolisme menjadi asam urat. Serangan rematik
gout terjadi akibat konsentrasi asam
urat di dalam darah meninggi atau disebut juga hiperurisemia. Gout dapat merusak organ tubuh misalnya
penurunan fungsi ginjal, memicu perlekatan trombosit pada pembuluh darah, dan
mengendap pada katup jantung (Dalimartha 2008, h.13-15).
6)
Kadar
lemak darah tinggi (hiperlipidemia)
Hiperlipidemia menyebabkan terjadinya
penimbunan lemak pada dinding pembuluh darah, termasuk pembuluh darah jantung.
Komplikasi hipertensi akan bertambah parah dengan tingginya kadar lemak
(Dalimartha 2008, h.13-15).
2.2.6
Diagnosis
hipertensi
Seperti lazimnya
penyakit lain, hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis (konsultasi dokter),
pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium, maupun pemeriksaan penunjang.
Pada saat konsultasi dengan dokter, pasien perlu memberitahukan hal-hal
berikut:
1)
Riwayat
Hipertensi orang tuanya (faktor genetik). Hal itu penting mengingat 70-80%
kasus hipertensi esensial diturunkan dari orang tuanya.
2)
Pengobatan
yang sedang dijalaninya pada saat itu. Ada beberapa obat-obatan yang dapat
menimbulkan hipertensi, seperti golongan obat kortikosteroid.
3)
Pada
perempuan, keterangan mengenai hipertensi pada kehamilan, riwayat eklampsia
(keracunan kehamilan), riwayat persalinan, dan penggunaan pil kontrasepsi
diperlukan pada saat konsultasi.
4)
Data
mengenai penyakit yang diderita, seperti diabetes mellitus (kencing manis),
penyakit ginjal, serta faktor risiko terjadinya hipertensi, misalnya rokok,
alkohol, stres, data berat badan juga perlu diberitahukan ke dokter (Dalimartha
2008, h.20).
Agar akurat, sebaiknya pengukuran
dilakukan setelah pasien beristirahat dengan cukup, minimal setelah 5 menit
berbaring. Pengukuran dilakukan pada posisi berbaring, duduk, dan berdiri
sebanyak 3-4 kali pemeriksaan dengan interval waktu antara 5-10 menit
(Dalimartha 2008, h.20).
2.2.7
Pencegahan
Berikut cara mencegah dan mengontrol risiko terkena
hipertensi.
1)
Diet
rendah garam
Membatasi
pengkonsumsian makanan yang mengandung kadar garam atau natrium tinggi seperti
ikan asin, serta makanan yang diawetkan dan mengandung zat monosodium
glutamate, seperti ikan sarden, daging kalengan, sayur kalengan, serta jus dan
buah kalengan (Utami 2009, h.12-14).
Natrium
dapat menyebabkan penumpukan cairan tubuh yang pada banyak orang dapat menimbulkan
tekanan darah tinggi (Utami 2009, h.12-14).
2)
Diet
rendah lemak
Mengurangi
pengkonsumsian makanan berlemak atau berminyak, seperti daging berlemak, daging
kambing, susu full cream, dan kuning telur. Menghindari pengkonsumsian daging
kambing, buah durian, serta minuman berkafein seperti kopi (Utami 2009,
h.12-14).
3)
Obesitas
Menurunkan
kelebihan berat badan karena orang gemuk lebih beresiko terkena hipertensi
(Utami 2009, h.12-14).
4)
Memperhatikan
pola makan
Mengkonsumsi
makanan secara seimbang dan bervariasi. Memperbanyak makanan berserat seperti
sayuran dan buah-buahan (Utami 2009, h.12-14).
5)
Berolahraga
secara teratur
Olahraga
seperti lari, aerobik, atau bersepeda yang dilakukan secara teratur dapat
membantu menurunkan tekanan darah. Keadaan ini dapat dilakukan apabila mendapat
izin atau nasehat dari dokter. Karena aerobik membutuhkan tenaga yang tidak
sedikit. Untuk penderita yang sudah berumur, atau 45 tahun ke atas biasanya
dianjurkan jalan pagi 30-45 menit, 3-4 kali per minggu, dilakukan secara
teratur (Utami 2009, h.12-14).
6)
Berhenti
merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol.
7)
Stres
Stres berlebihan di tempat kerja dapat
memicu timbulnya hipertensi. Mengendalikan stres dengan melakukan latihan relaksasi
seperti meditasi dan yoga (Utami 2009, h.12-14).
8)
Memeriksa
tekanan darah secara periodik. Apalagi, jika memang memiliki riwayat keturunan
hipertensi, harus lebih waspada akan terkena hipertensi pada usia muda. Untuk
itu, pemeriksaan setiap bulan sekali sangat dianjurkan, atau sewaktu-waktu jika
terjadi keadaan yang tidak sewajarnya, misalnya pusing atau gejala-gejala sakit
yang lain (Utami 2009, h.12-14).
2.2.8
Jenis
pemeriksaan pada Hipertensi
Pemeriksaan
hipertensi dapat dilakukan melalui pemeriksaan fisik, pemeriksaan ECG dan
pemeriksaan laboratorium. Adapun tujuan dari pemeriksaan laboratorium pada
hipertensi, adalah:
1)
Mencari
kemungkinan penyebab sekunder,
2)
Menilai
apakah ada penyulit dan kerusakan organ target,
3)
Memperkirakan
prognosis,
4)
Menentukan
adanya faktor-faktor lain yang mempertinggi risiko penyakit jantung koroner,
penyakit ginjal, dan stroke (Dalimartha 2008, h.34-35).
Tabel
2.2 Jenis Pemeriksaan Untuk Penderita Hipertensi
Jenis pemeriksaan
|
Panel evaluasi awal hipertensi
|
Panel hidup sehat dengan hipertensi
|
||
dasar
|
lanjutan
|
|||
Hematologi rutin
|
V
|
|
|
|
Urine rutin
|
V
|
V
|
|
|
Glukosa puasa
|
V
|
V
|
|
|
Glukosa 2 jam PP
|
V
|
|
|
|
Cholesterol total
|
V
|
V
|
|
|
Cholesterol HDL
|
V
|
V
|
|
|
Cholesterol LDL direk
|
V
|
V
|
|
|
Trigliserida
|
V
|
V
|
|
|
Apo B
|
V
|
V
|
|
|
Status Antioksidan Total
|
V
|
|
|
|
hs-CRP
|
V
|
|
V
|
|
Urea-N
|
V
|
V
|
|
|
Kreatinin
|
V
|
V
|
|
|
|
|
|||
Asam urat
|
V
|
V
|
|
|
Cystatin-C
|
|
|
V
|
|
Mikroalbumin
|
V
|
V
|
V
|
|
Kalium
|
V
|
V
|
|
|
Natrium
|
V
|
V
|
|
|
Aldosteron
|
|
|
V
|
|
Troponin I
|
|
|
V
|
|
BNP
|
|
|
V
|
|
(Sumber: Care Your Self Hipertens 2008).
Pemeriksaan
laboratorium (Tabel 2.2) sebagai pemeriksaan penunjang untuk penderita
hipertensi dan terdiri dari dua macam, yaitu:
1)
Panel
evaluasi awal hipertensi yang dilakukan segera setelah didiagnosis hipertensi
dan sebelumnya memulai pengobatan.
2) Panel hidup sehat dengan
hipertensi yang meliputi panel dasar (pemeriksaan berguna untuk memantau
keberhasilan terapi) dan panel lanjut (pemeriksaan untuk deteksi dini penyulit)
(Dalimartha 2008, h.35).
2.2.9
Jenis-jenis
obat Anti-hipertensi
Pengobatan
secara medis, penderita hipertensi diberikan obat beberapa macam obat, sebagai
berikut:
1.
Bloker
beta
Seperti
atenolol dan metoprolol, menurunkan denyut jantung dan tekanan darah dengan
bekerja secara antagonis terhadap sinyal adregenik. Efek samping bloker beta di
antaranya adalah letargi, impotensi, perifer dingin, eksaserbasi diabetes, dan
hiperlipidemia. Kontraindikasi pada penderita asma, hati-hati apabila digunakan
pada penderita penyakit vaskular perifer (Patrick 2005, h.139).
2.
Diuretik
Diuretik dan
diuretic tiazid, seperti bendrofluazid: aman dan efektif (Patrick 2005, h.139).
3.
Antagonis
kanal kalsium
Vasodilator
yang menurunkan tekanan darah. Efek samping: muka merah, edema pergelangan
kaki, perburukan gagal jantung (kecuali amlodipin) (Patrick 2005, h.139).
4.
Inhibitor
enzim pengubah angiotensin (angiotensin-converting
enzyme[ACE])
Memberikan
efek antihipertensi dengan menghambat pembentukan angiotensin II. Bisa
menyebabkan hipotensi berat atau gagal ginjal akut pada penderita hipertensi
renovaskuler, misalnya pada stenosis arteri renalis bilateral. Efek samping di
antaranya batuk kering dan angioderma (Patrick 2005, h.139).
5.
Antagonis
reseptor angiotensin II
Bekerja
antagonis terhadap aksis angiotensin II-renin. Efikasinya sebanding dengan
inhibitor ACE, walaupun data penelitian yang mendukung penggunaannya kurang
komprehensif. Efeknya dalam fungsi ginjal pada hipertensi renovaskular sama
(Patrick 2005, h.139).
6.
Antagonis
Vasodilator
yang menurunkan tekanan darah dengan bekerja antagonis terhadap reseptor
alpha-andregenik pada pembuluh darah perifer (Patrick 2005, h.139).
7.
Obat-obatan
lain
Misalnya obat
yang bekerja sentral (seperti metildopa, atau moksonidin yang lebih baru)
(Patrick 2005, h.139).
2.3 Gangguan
Vaskular Ginjal
Gangguan
vaskular ginjal adalah suatu kelainan yang terjadi pada pembuluh arteri ginjal
yang disebabkan oleh hipertensi dan juga sebaliknya (Mary 2008, h.51).
Dengan
rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit fungsional ginjal, yaitu nefron akan
terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya
membran glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik
koloid plasma berkurang dan menyebabkan edema, yang sering dijumpai pada
hipertensi kronis (J. Corwin 2009, h.488).
Gangguan
vaskular tersebut dapat meliputi stenosis arteri ginjal, yaitu penyempitan
pembuluh arteri yang menyuplai darah ke ginjal. Penyempitan dapat disebabkan
oleh aneurisma, trombosis, dan emboli. Akibat suplai darah ke ginjal mengalami
penurunan, maka perfusi ginjal yang tidak cukup menyebakan peningkatan sekresi
renin dan sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron menjadi aktif. Akibatnya, terjadi
percepatan hipertensi. Apabila tidak ditangani, hal ini akan menambah perubahan
patologis pada kedua ginjal. Sekitar 5% dari semua kasus hipertensi disebabkan
oleh stenosis arteri ginjal (Mary 2008, h.51).
Nefroskerosis
adalah kebalikan dari stenosis, yaitu hipertensi dapat menyebabkan
nefrosklerosis atau kerusakan pada arteri ginjal, arteriola, dan glomeruli.
Hipertensi merupakan penyebab kedua terjadinya penyakit ginjal tahap akhir.
Sekitar 10% individu pengidap hipertensi esensial akan mengalami penyakit
ginjal tahap akhir (Mary 2008, h.52).
2.3.1
Nefrosklerosis
benigna
Pada
nefrosklerosis benigna, pembuluh darah arteri ginjal tampak tebal, lumen
menyempit, dan ada kapiler glomerular yang sklerotik dan kempis. Perubahan vaskular
ini dapat menyebabkan suplai darah ke ginjal berkurang. Tubulus ginjal juga
mengalami atrofi. Pada nefrosklerosis benigna, tanda dan gejalanya juga ringan
seperti proteinuria. Nokturia dapat terjadi karena kemampuan tubula untuk mengonsentrasi
urine juga berkurang. Walaupun insufisiensi ginjal yang terjadi ringan, pasien
ini memiliki risiko tinggi untuk mengalami gagal ginjal akut (Mary 2008,
h.52-53).
2.3.2
Nefrosklerosis
maligna
Pada
nefrosklerosis maligna, perubahan besarnya adalah nekrosis dan penebalan
arteriola, kapiler glomerular, serta atrofi tubula yang tersebar. Selain itu,
terjadi hematuria makroskopik proteinuria berat dan peningkatan kreatinin
plasma. Nefrosklerosis maligna adalah kondisi kedaruratan medis. Tekanan darah yang
tinggi harus diturunkan untuk menghindari kerusakan ginjal yang permanen dan
kerusakan organ tubuh yang vital, misalnya otak dan jantung. Tanda dan
gejalanya sama dengan gagal ginjal kronik (Mary 2008, h.53).
2.4 Pemeriksaan
kreatinin
2.4.1
Kreatinin
Merupakan
produk akhir metabolisme keratin otot dan keratin fosfat (protein), diproduksi
dalam hati. Ditemukan dalam otot rangka dan darah, dibuang melalui urin.
Peningkatan dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan dan cairan.
Nilai normal dalam darah:
Pria =
0,6 - 1,3 mg/dl
Wanita
= 0,5 - 0,9 mg/dl
Anak-anak = 0,4 - 1,2 mg/dl
Bayi = 0,7 - 1,7 mg/dl
Bayi baru lahir = 0,8 – 1,4 mg/dl
Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan adanya
penurunan fungsi ginjal dan penyusutan massa otot rangka. Hal ini dapat terjadi
pada penderita gagal ginjal, kanker, konsumsi daging sapi tinggi, serangan
jantung. Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar kreatinin yaitu vitamin C,
antibiotik golongan sefalosporin, aminoglikosid, dan lain-lain (Devi 2009,
h.26).
2.4.2
Metabolisme
kreatinin
Pembentukan
kreatinin berawal di ginjal dan diselesaikan di hati. Pada langkah pertama
pembentukan kreatinin, yang terjadi di ginjal, glisin bergabung dengan arginin
untuk membentuk guanidinoasetat. Dalam reaksi ini, gugus guanidium pada arginin
(gugus yang juga membentuk urea), dipindahkan ke glisin, dan molekul arginin
sisanya dibebaskan sebagai ornitin. Guanidinoasetat kemudian mengalami metilasi
di hati oleh S-adenosilmetionin (SAM) untuk membentuk keratin (Gambar 2.2)
(Dawn 2000, h.610).
Keratin
mengalir melalui darah menuju ke jaringan lain, terutama otot dan otak, tempat
zat ini bereaksi dengan ATP untuk membentuk keratin fosfat yang berenergi
tinggi. Reaksi ini yang dikatalisis oleh keratin fosfokinase (CK, juga
disingkat sebagai CPK), bersifat reversible. Dengan demikian, sel dapat
menggunakan keratin fosfat untuk membentuk kembali ATP (Dawn 2000, h.610).
Keratin
fosfat, yang berfungsi sebagai simpanan fosfat berenergi tinggi (dalam jumlah
kecil) yang cepat menghasilkan ATP dari ADP, berperan penting dalam otot yang
berkontraksi. Senyawa ini juga membawa fosfat berenergi tinggi dari mitokondria,
tempat pembentukan ATP, ke filament myosin, tempat ATP digunakan untuk
kontraksi otot (Dawn 2000, h.610).
Kreatin
fosfat adalah senyawa yang tidak stabil. Kreatin fosfat membentuk struktur
cincin secara spontan menjadi kreatinin (Gambar 2.2). Kreatinin tidak dapat
dimetabolis lebih lanjut. Senyawa ini diekskresikan melalui urin. Pada individu
dengan diet terbatas, ekskresi kreatinin mencerminkan hilangnya senyawa yang
menyediakan gugus metal yang dipindahkan oleh SAM (Dawn 2000, h.610).
Gambar 2.2 Metabolisme Kreatinin (B.
Dawn, Marks, 2000)
2.4.3
Metode
pemeriksaan kreatinin
Penentuan
kreatinin dalam urine dan serum dapat dilakukan dengan menggunakan enzim
kreatinin deiminase untuk mengkonversi kreatinin menjadi ammonia dan
1-methylhydantoin. Selanjutnya ammonia di reaksikan dengan cresol red
(2-4-2-hydroxyethyl-1-piperzinyl ethanosulfonic acid) dan dideteksi secara
spektrofometri pada panjang gelombang 555 nm. Metode enzimatis ini memberikan
hasil yang selektif walaupun memerlukan waktu analisis yang lama, dan
sensitivitasnya kurang baik karena kreatinin dideteksi secara tidak langsung
berdasarkan jumlah ammonia yang terbentuk (Sabarudin et al 2012. h.158).
Reaksi Jaffe
merupakan metode yang paling popular untuk penentuan kreatinin dalam urin dan
serum. Dalam metode ini, kreatinin direaksikan dengan asam pikrat pada suasana
basa yang membentuk senyawa berwarna merah-orange dan dideteksi secara
spektrofotometri pada panjang gelombang 490 - 520 nm (Sabarudin et al 2012.
h.158).
2.4.4
Fungsi
pemeriksaan Kreatinin
Pemeriksaan
ini bertujuan untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan menemukan kerusakan organ
sasaran (untuk mendeteksi penyakit ginjal primer) serta memberikan
petunjuk-petunjuk diagnostik mengenai etiologi hipertensi sekunder. Adanya
kerusakan organ sasaran menyokong diagnosis hipertensi pada pasien-pasien yang
tekanan darahnya berada pada tingkat perbatasan. Informasi ini mempengaruhi
prognosis dan terapi pada penderita hipertensi (E. Speicher et al 1996, h. 173).
DAFTAR
PUSTAKA
Almatsier.,
2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Gramedia : Jakarta.
Baron.D.N.,
1990.Kapita Selekta Patologi Klinik. Buku
Kedokteran EGC : Jakarta.
.
Dinas
Provinsi Kesehatan Jawa Timur. 2013. Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur : Surabaya.
Hidayati,
Ratna. 2009. Asuhan Keperawatan pada
Kehamilan fisiologis dan Patologis. Salemba Medika : Jakarta.
Huliana,
Mellyna. 2001. Panduan Menjalani
Kehamilan Sehat. Puspa Swara : Jakarta
Leveno,
Kennethn J. 2009. Obstetri Williams,
Edisi 21. EGC, Jakarta.
Lintang, Sari, Letta, 2003. Gambaran Fraksi Protein pada Preeklamsia dan Hamil Normotif di RSUP. H.
Adam Malik- RSUD. Dr. Pirngadi Medan, Universitas Sumatra Utara, Medan.
Notoatmodjo,
Soekidjo., 2005.Metodologi Penelitian
Kesehatan.Rineka Cipta : Jakarta.
Notoatmodjo.
S., 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Rineka Cipta : Jakarta.
Notoatmodjo.
Soekidjo., 2005. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Rekanita Cipta : Jakarta.
Notoatmodjo.
Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Rekanita Cipta : Jakarta.
Nugroho,
Taufan.2011.Buku Ajar Obstetri untuk
Mahasiswa Kebidanan, cetakan kedua.Nuha Medika : Yogyakarta.
Nurkhanifah,
Dian., 2013. “Asuhan Kebidanan Ibu Hamil,
Bersalin, dan Nifas Normal pada Ny. R di BPS Ny. E desa Kagok Kecamatan Slawi
Kabupaten Tegal 2013”,Karya Tulis Ilmiah STIkes Bhakti
Mandala Husada Slawi : Tegal.
Nursalam.,
2008. Konsep Penerapan Metodologi
Penelitian dalam Ilmu Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
O’Challaghan,
Crish A.2009.At a Glance Sistem Ginjal,
Edisi Dua.Erlangga : Jakarta.
Price
A. Sylvia, Lorraine M. Wilson., 1995. Patofisiologi,
buku 2 edisi ke-4. EGC : Jakarta.
Pokja
Sanitasi Kabupaten Madiun. 2010. Buku
putih Madiun. Madiun
Rusilanti.,
2006. Menu Bergizi Ibu Hamil. Kawan
Pustaka : Jakarta.
Saifuddin
Bari Abdul., 2006. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, edisi pertama cetakan keempat.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta.
Sulistyawati,
Ari. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa
Kehamilan. Salemba Medika : Jakarta.
Wahab,
Samik. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson
vol 3, Edisi 15. EGC : Jakarta.
Yulaikhah,
Lily., 2006. Seri Asuhan Kebidanan
Kehamilan. Buku Kedokteran EGC : Jakarta