Selasa, 21 Desember 2010

KINERJA / JOB PERFORMANCE 3

Dr. Suparyanto, M.Kes

KINERJA / JOB PERFORMANCE 3

FAKTOR KINERJA

SUPERVISI
  • Ilyas (2001) mengatakan bahwa supervisi merupakan proses yang memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi secara positif agar tujuan organisasi tercapai. Kemampuan penyelia (supervisor) untuk secara efektif mempekerjakan personel agar mencapai tujuan organisasi adalah penting bagi kesuksesan penyelia.
  • Azwar (1996) mendefinisikan supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.
Unsur pokok supervisi, menurut Azwar (1996) adalah sebagai berikut:
a. Pelaksana
  • Pelaksana atau yang bertanggung jawab melaksanakan supervisi adalah atasan yakni mereka yang memiliki kelebihan dalam organisasi. Kelebihan yang dimaksud disini, sekalipun sering dikaitkan dengan status yang lebih tinggi (supervisor) dan karena itu fungsi supervisi memang lebih dimiliki oleh ”atasan”, namun untuk keberhasilan supervisi yang lebih diutamakan adalah kelebihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan.
b. Sasaran
  • Sasaran atau obyek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan serta bawahan yang melakukan pekerjaan. Sasaran pekerjaan yang dilakukan bawahan disebut sebagai sasaran langsung, sedangkan sasaran bawahan yang melakukan pekerjaan disebut sebagai supervisi tidak langsung.
c. Frekuensi
  • Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala. Supervisi yang dilakukan hanya sekali , bukan supervisi yang baik.
d. Tujuan
  • Tujuan supervisi adalah memberikan bantuan kepada ”bawahan” secara langsung sehingga dengan bantuan tersebut ”bawahan” memiliki bekal yang cukup untuk dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan hasil yang baik.
e. Tehnik
  • Kegiatan pokok supervisi pada dasarnya mencakup empat hal yang bersifat pokok, yaitu: (1) menetapkan masalah dan prioritasnya; (2) menetapkan penyebab masalah, prioritas masalah dan jalan keluarnya; (3) melaksanakan jalan keluar ; serta (4) menilai hasil yang dicapai untuk tindak lanjut. Jadi tehnik pokok supervisi adalah identik dengan penyelesaian masalah (problem solving)

KOORDINASI
  • Hanafi (1997) mendefinisikan koordinasi merupakan proses yang menghubungkan atau mengintegrasikan bagian-bagian dalam organisasi agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan lebih efektif. Tingkat ketergantungan antar bagian dan kebutuhan komunikasi dalam melaksanakan pekerjaan tertentu akan menentukan sejauh mana koordinasi diperlukan.
  • (Malone, 1991) dalam Arifin (2002) menyatakan bahwa koordinasi adalah tindakan untuk bekerja bersama (the act of working together) dan koordinasi adalah cara untuk mengelola ketergantungan antar kegiatan (Malone, 1993). Koordinasi merupakan inti manajemen, yang bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan upaya berbagai individu ke arah tercapainya tujuan kelompok (Koontz, 1992),
  • Menurut Suganda (1988), koordinasi adalah penyatuan gerak seluruh potensi dan unit organisasi atau organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar mengarah pada sasaran yang sama. Koordinasi bertujuan terciptanya efisiensi pelaksanaan atau pencapaian sasaran. Untuk mencapai hasil kerja yang efektif, maka setiap kegiatan manusia harus benar-benar terkoordinasikan. Beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam menciptakan koordinasi adalah:
  1. Adanya kesepakatan dan kesatuan pengertian mengenai sasaran yang harus dicapai sebagai arah kegiatan bersama.
  2. Adanya kesepakatan mengenai kegiatan atau tindakan yang harus dilakukan oleh berbagai fihak, termasuk target dan jadwalnya.
  3. Adanya ketaatan atau loyalitas setiap fihak terhadap bagian tugas masing-masing serta jadwal yang telah ditetapkan.
  4. Adanya saling tukar informasi antara semua fihak yang bekerja sama mengenai kegiatan dan hasilnya pada suatu saat tertentu, termasuk masalah yang dihadapi.
  5. Adanya saling menghormati terhadap wewenang fungsional berbagai fihak sehingga tercipta semangat untuk saling bantu.

KOMITMEN ORGANISASI
  • Steers dan Porter (1983) dalam Wulandari (2004) mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah tingkat kekuatan identifikasi individu terhadap organisasi dan keinginan individu dan keterlibatannya dengan organisasi kerja itu.
  • Becker (1984) menyatakan bahwa komitmen organisasi sebagai kecenderungan untuk melakukan aktivitas yang tetap yang disebabkan oleh adanya kekhawatiran akan kehilangan kesempatan bila ia tidak meneruskan aktivitas tersebut. Aktivitas yang dimaksud adalah dorongan untuk tetap menjadi anggota organisasi, sedang kesempatan yang dimaksud adalah komitmen yang telah ditabung akan menjadi tidak berguna apabila ia meninggalkan organisasi tersebut.
  • Berdasarkan uraian diatas, dapat dirangkum pengertian komitmen organisasi adalah kekuatan relatif dari individu terhadap organisasi dan keterlibatannya dengan organisasi kerja tersebut, yang ditandai dengan adanya: (1) keinginan yang kuat untuk tetap terlibat menjadi anggota organisasi; (2) keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi kepentingan organisasi; (3) kepercayaan yang pasti dan penerimaan yang penuh atas nilai-nilai dan tujuan organisasi.
  • Komitmen organisasi yang kuat biasanya terdapat pada karyawan yang mempunyai masa kerja yang sudah lama, karyawan yang mencapai sukses dengan organisasi kerja yang bersangkutan dan yang bekerja dalam kelompok yang mempunyai komitmen tinggi (Himam, 1993)
  • Komitmen organisasi yang tinggi menimbulkan sikap yang positif dari karyawan terhadap pekerjaannya, maka akan berpengaruh terhadap tingkat komitmen organisasi. Dikemukakan oleh Porter (1974) bahwa karyawan yang komitmennya tinggi mempunyai catatan kehadiran yang baik, bersedia mentaati kebijaksanaan manajemen. Jadi komitmen organisasi merupakan perilaku positif yang kuat dalam diri individu terhadap organisasi disertai perilaku untuk bekerja keras demi organisasi kerja.
  • Komitmen organisasi memiliki beberapa karakteristik yang digolongkan kedalam tiga faktor, yaitu: a) suatu kepercayaan yang pasti dan penerimaan yang penuh atas nilai-nilai dan tujuan organisasi; b) suatu keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi kepentingan organisasi; c) suatu dorongan dan keinginan yang kuat melebihi loyalitas yang bersifat pasif, tetapi mengandung hubungan yang aktif terhadap perusahaan karena individu mempunyai keinginan untuk memberikan sesuatu dari dirinya sendiri untuk menyokong kesejahteraan organisasi (Steers dan Porter, 1983).
  • Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor yang mendukung dan memperkuat komitmen kerja. Steers dan porter (1983), Mowday (1982) serta Fukami dan Larson (1984) menggolongkan faktor yang mempe-ngaruhi komitmen organisasi menjadi empat kategori yaitu: 1) karakteristik personal, seperti usia, masa kerja, motivasi berprestasi yang mempunyai hubungan positif dengan komitmen organisasi; 2) karakteristik kerja seperti stres mempunyai hubungan negative dengan komitmen organisasi, kejelasan tugas, kesesuaian peran, tantangan pekerjaan, kesempatan berprestasi dengan orang lain dan umpan balik yang berhubungan positif terhadap komitmen organisasi; 3) karakteristik struktural, komitmen organisasi berkorelasi positif dengan tingkat formalisasi, ketergantungan profesional, desentralisasi, dan tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, jumah andil yang ditanam karyawan dan fungsi kontrol dari perusahaan; 4) pengalaman kerja antara lain: tingkat sejauh mana karyawan merasakan sejumlah sikap positif terhadap perusahaan, tingkat kepercayaan terhadap perusahaan bahwa perusahaan akan memeliharanya, merasakan akan adanya suatu kepentingan pribadi antara diri karyawan dengan perusahaan dan sejauh mana harapan-harapan karyawan dapat terpenuhi melalui pekerjaannya. Iklim organisasi dan keterlibatan kerja merupakan prediktor komitmen organisasi.

PELATIHAN
  • Mathis (2001) mendefinisikan pelatihan sebagai proses di mana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Secara terbatas, pelatihan mengajarkan pengetahuan spesifik kepada karyawan untuk dapat digunakan membantu ketrampilan dalam pekerjaan mereka.
  • Gomes (1997) menyebutkan bahwa pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerjaan pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung-jawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas-aktivitas yang terencana (be aplanned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan.
  • Istilah pelatihan sering disamakan dengan pengembangan. Pengembangan menunjuk pada kesempatan belajar yang didesain membantu pengembangan para pekerja, sedangkan pelatihan berkaitan langsung dengan performansi kerja. Jadi pengembangan tidak harus berhubungan dengan performansi kerja sekarang.
  • Pelatihan hanya bermanfaat dalam situasi dimana para pegawai kekurangan kecakapan dan pengetahuan. Pelatihan lebih sebagai sarana yang ditujukan pada upaya untuk lebih mengaktifkan kerja para anggota organisasi yang kurang aktif sebelumnya, mengurangi dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan, atau kurangnya kepercayaan diri dari anggota atau kelompok anggota tertentu.
  • Menurut Mathis (2002) salah satu cara untuk mengevaluasi pelatihan adalah memeriksa biaya-biaya yang dihubungkan dengan pelatihan serta keuntungan-keuntungan yang diterima melalui analisis biaya/keuntungan. Cara terbaik adalah mengukur nilai output sebelum dan sesudah pelatihan. Setiap peningkatan mewakili keuntungan dan dihasilkan dari pelatihan. Meskipun demikian, pengukuran yang seksama baik pada biaya maupun keuntungan bisa saja sulit dalam beberapa kondisi. Untuk itu benchmarking dari pelatihan mulai banyak digunakan.


SISTEM IMBALAN
  • Siagian (2002) mengatakan bahwa sistem imbalan adalah pemberian salah satu bentuk penghargaan kepada karyawan atas sumbanganya kepada organisasi terutama tercermin dari prestasi karyanya, sedangkan Simamora (2001) dalam Gunaya (2004) menyebutkan bahwa sistem imbalan baik berupa finansial maupun non finansial yang dikendalikan oleh organisasi dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi karyawannya.
  • Sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan organisai memperoleh, memelihara dan mempekerjakan sejumlah orang yang dengan berbagai sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi.
  • Bagian kepegawaian memikul tanggung jawab untuk mengembangkan sistem imbalan bagi suatu organisasi yang diterapkan secara seragam di seluruh jajaran organisasi. 
Hal-hal yang perlu diperhatikan tentang sistem imbalan:
  1. Sistem imbalan harus mempunyai daya tarik bagi tenaga kerja yang berkualitas tinggi untuk bergabung dengan organisasi.
  2. Sistem imbalan harus merupakan daya tarik yang kuat untuk mempertahankan tenaga kerja yang sudah berkarya dalam organisasi.
  3. Sistem imbalan yang mengandung prinsip keadilan.
  4. Menghargai perilaku positif
  5. Pengendalian pembiayaan
  6. Kepatuhan pada peraturan perundangan.

UMPAN BALIK
  • Kopelman (1986) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”Obyektive feedback ” adalah informasi tentang budaya kerja dan kinerja yang relatif sesuai dengan fakta dan tidak dapat disangkal. Contohnya absensi, hasil produksi. Pada umumnya indikator budaya kerja dan kinerja adalah subyektif, contohnya penilaian inisiatif, ketrampilan kepemimpinan, tanggung jawab. Pengukuran output menyatakan keputusan tentang kualitas, dan walaupun kehadiran menyakan bahwa individu itu ada ditempat kerja dan bekerja, tetapi perbedaan terlihat penting. Secara luas setuju bahwa bahwa indikator obyektif lebih baik daripada indikator subyektif, dan minimal akan memberi banyak informasi yang akurat.
Ada enam keuntungan ”Obyektive feedback ” sebagai sebuah tehnik untuk meningkatkan produktivitas:
  1. Berfungsi sebagai data dasar
  2. Ketentuan tentang ”Obyektive feedback ” adalah hal yang relatif sederhana, modal dan waktu yang diperlukan sedikit.
  3. Penggunaan ”Obyektive feedback ” punya validitas yang baik.
  4. Hasil dari ”Obyektive feedback ” adalah lebih cepat.
  5. Sistem penerapan ”Obyektive feedback ” mudah dikerjakan dan sering diterapkan pada sistem dengan sedikit intervensi.
  6. Penggunaan ”Obyektive feedback ” secara umum meningkatkan pengaruh dari tehnik peningkatan produksi yang lain. Contohnya kombinasi pelatihan dan feedback biasanya menghasilkan peningkatan kinerja yang lebih baik dari pada pelatihan saja. Dalam suatu penelitian menyebutkan bahwa dengan pelatihan saja tentang kebersihan/sanitasi akan meningkatkan perilaku cuci tangan sebanyak 21,7%, sedangkan bila dikombinasi dengan ”Obyektive feedback ” akan terjadi peningkatan perilaku cuci tangan sebesar 203,1%.

Ada dua alasan utama, mengapa ”Obyektive feedback ” diperlukan:
  1. Meningkatkan gairah untuk bekerja lebih baik, berfungsi sebagi motivator.
  2. Memberi petunjuk tentang respon pembelajaran atau mengenalkan untuk bertindak mengembangkan respon baru, jadi berfungsi/berkapasitas sebagai instruksi.

MASA KERJA
  • Suprihanto (2003) mengatakan bahwa, senioritas tidak dapat digunakan sebagai alat memprediksi produktivitas, tetapi senioritas berkorelasi negatif terhadap tingkat absensi. Masa kerja seseorang karyawan di tempat kerja sebelumnya adalah alat yang baik untuk memprediksi tingkat turnover karyawan tersebut di tempat kerjanya sekarang.
  • Nimran (1997) menyebutkan bahwa meskipun hubungan senioritas-produktivitas telah diselidiki secara luas, tidak ada indikasi bahwa pekerja dengan masa kerja yang lebih lama akan lebih produktif dari mereka yang baru bekerja. Semakin lama seseorang bekerja disuatu tempat maka semakin kecil kemungkinan dia meninggalkan tempat pekerjaannya.
  • Robbins (2003) menyatakan ada hubungan positif antara senioritas dan produktivitas pekerjaan, dan senioritas berhubungan negatif terhadap kemangkiran. Bukti menunjukan ada hubungan positif antara masa kerja dan kepuasan.

BEBAN KERJA
  • Menurut BAKN dalam Rivai (2000) yang dimaksud beban kerja adalah jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu. Beban kerja dikelompokan atas beban kerja obyektif dan beban kerja subyektif. Beban kerja subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pertanyaan tentang beban kerja yang diajukan, tentang perasaan kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja. Beban kerja obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan (Groenewegen dan Hutter, 1991).
  • Menurut Schultz dalam Rivai (2000), beban kerja dibedakan menjadi dua yaitu beban kerja kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja kualitatif terjadi apabila pekerjaan yang dihadapi terlalu sulit, sedangkan beban kerja kuantitatif terjadi apabila terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan pada waktu tertentu. Kartono dalam Rivai (2000) mengatakan karyawan yang dibebani secara fisik atau psikis yang berat tidak sesuai kemampuan akan menurunkan kemampuan berprestasi.

PENINGKATAN KINERJA
  • Rosenberg (1998) dalam Caiola (2000) menyatakan bahwa: “Performance improvement is the goal or benefit of focusing on individual and organizational change and business results”, sedangkan Clark (2000) dalam Caiola (2000) mendefinisikan peningkatan kinerja sebagai: “A systemic process of discovering and analyzing human performance improment gaps, planning for future improvements in human performance, designing and developing cost-effective and ethically justifiable interventions to close performance gaps, implementing the interventions, and evaluating the financial and nonfinancial results”.

REFERENSI
  1. Algifari, 2000, Analisis Regresi, Teori, Kasus, dan Solusi, edisi 2, Jogjakarta: BPFE, hlm 61—82.
  2. Anonymous, 2003, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Disertasi, Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
  3. Arifin, A., 2001, Koordinasi Pemrograman sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  4. As’ad, M., 2003, Psikologi Industri, Yogyakarta: Liberty, hlm 45—64.
  5. Azwar, A., 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi ke 3, Jakarta: Bina Rupa Aksara, hlm 287—321.
  6. Brata, N., W., 2004, Upaya Peningkatan Cakupan Penderita Tuberkulosis Melalui Analisis Faktor petugas Puskesmas dan Masyrakat di Kabupaten Tabanan, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  7. Brotowidjojo, M., 1988, Penulisan Karangan Ilmiah, Jakarta CV. Akademika Pressindo, hlm 166—170.
  8. Caiola, N., Sullivan, R.L., 2000, Performance Improvement: Developing a Strategy for Reproductive Health Services, http://www.jhpiego.org/, senin 17 Januari 2005, pukul: 08:15 WIB
  9. Dep.Kes., R.I, 1999, Pedoman Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke 4, Jakarta: Ditjen PPM-PLP, hlm 1—40.
  10. Dep.Kes., R.I, 2000, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-5, Jakarta: Ditjen PPM-PLP, hlm 1—31.
  11. Dep.Kes., R.I, 1990, Pedoman Puskesmas, jilid 3, Jakarta: Dep. Kes. R.I., hlm 31—38.
  12. Dep.Kes., R.I, 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Jakarta: Dep. Kes. RI., hlm 17—21.
  13. Dep.Kes., R.I, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 128/MENKES/SK/II/2004, Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat , Jakarta: Dep. Kes. RI., hlm 5—12.
  14. Dep.Kes., R.I, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Dep. Kes. R.I., hlm 21—23.
  15. Dessler, G., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Prenhallindo, hlm 1—40.
  16. Fridawaty, 2002, Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan di RS Haji Surabaya, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
  17. Gibson, J.L., J.M. Ivancevich, J.H. Donnelly, Jr., 1996, Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Bina Rupa Aksara, hlm 119—275 .
  18. Gomes, F.C., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset, hlm 134—196.
  19. Gunaya, I N.D., 2004, Analisis Faktor Dominan Perawat yang Mempengaruhi Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Negara, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  20. Hague, P., 1995, Merancang Kuesioner, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, hlm 115—144.
  21. Hanafi, M., 1997, Manajemen, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, hlm 337—356.
  22. Handoko, H., 1996, Manajemen, edisi 2, Yogyakarta: BPFE, hlm 251—270.
  23. Ilyas, Y., 2001, Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, hlm 66—150.
  24. Kopelman, R.E., 1998, Managing Productivity in Organization a Practical-people Oriented Prespective, New York: MC. Graw Hill Book Company, pp 3—18.
  25. Mathis, R.L., J.H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku 1, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, hlm 75—114.
  26. Mathis, R.L., J.H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku 2, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, hlm 89—91.
  27. McCaffery, J., M. Heerey, K. P. Bose (2003), Refining Performance Improvement Tools and Methods: lessons and Challenges, www.ispi.org.
  28. Nimran, U., 1997, Perilaku Organisasi, Surabaya: CV. Citra Media,. Hlm 9—19.
  29. Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm 36—54.
  30. Pujiharti, Y., 2002, Analisis Faktor Organisasi Yang Berpengaruh Terhadap Motivasi dan Kinerja Bidan Petugas KIA Puskesmas Kota Malang. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
  31. Purnomo, W., 2002, Statistika & Statistika Manajemen, Surabaya: Universitas Airlangga Program Pascasarjana Program Studi S2 Administrasi Kebijakan Kesehatan.
  32. Rakhmat, J., 2004, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm 79—98.
  33. Robbins, S., 2003, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks, hlm 45—80.
  34. Santoso, S., 2003, SPSS versi 10 Mengolah Data Statistik secara Profesional, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hlm 285—377.
  35. Satyawan, D., S., 2003, Kinerja Bidan Di Desa Dalam Pertolongan Persalinan di Pedesaan (Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Bidan di desa Dalam Pertolongan Persalinan di Kabupaten Malang), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  36. Siagian, S.P., 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, hlm 252—294.
  37. Singarimbun, M., 1995, Metode Penelitian Survei, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, hlm 122—146.
  38. Sudjana, 2003, Tehnik Analisis Regresi dan Korelasi bagi para Peneliti, Bandung: Tarsito, hlm 145—167.
  39. Suprihanto, J., TH.A.M.Harsiwi, P.Hadi, 2003, Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, hlm 21—54.
  40. Supriyanto, 2003, Metodologi Riset, Surabaya: Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, hlm 93—96.
  41. Thoha, M., 2003, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Cetakan ke 14, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 203—253.
  42. Umar, H., 2003, Evaluasi Kinerja Perusahaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 99—106.
  43. Umar, H., 2001, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 126—138.
  44. Usmara, A., L.Dwiantara, 2004, Strategi Organisasi, Jogjakarta: Amara Books, hlm 131—142.
  45. WHO, 2001, Tuberculosis Control an Annotated Bibliography, New Delhi: World health Organization South-East Asia Regional Office, pp 5—8.
  46. Winarto, Y.T., Totok S., Ezra M.c., 2004, Karya Tulis Ilmiah Sosial, Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 175—193.
  47. Wulandari, W., 2004, Kinerja Perawat Pada Unit BP Puskesmas di Kabupaten Lumajang, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  48. Zainuddin, M., 2003, Metode Penelitian, Surabaya: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, hlm 58—72.
  49. Zainun, B., 1989, Manajemen dan Motivasi, Jakarta: Balai Aksara, hlm 49—64.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar