Kamis, 06 Maret 2014

PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)

Dr. Suparyanto, M.Kes



PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
1.    Definisi ISPA
            Infeksi saluran pernafasan adalah mulai dari infeksi respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim paru. Sedangkan pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari (Nastiti, 2008).  
            Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 1997).
ISPA adalah Infeksi saluran pernafasan yang berlangsung sampai 14 hari yang dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin maupun udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat (Depkes RI, 2012).

2.    Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri Penyebabnya  antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus ( Depkes RI, 2000).
3.      Gambaran klinis ISPA
Gambaran klinis infeksi saluran pernafasan akut bergantung pada tempat infeksi serta mikroorganisme penyebab infeksi. Semua manifestasi klinis terjadi akibat proses peradangan dan adanya kerusakan langsung akibat mikroorganisme. Manifestasi klinis antara lain :
a)    Batuk
b)    Bersin dan kongesti nasal
c)    Pengeluaran mukus dan rabas dari hidung
d)    Sakit kepala
e)    Demam
f)     Malaise (Corwin, 2008)
4.    Patofisiologi ISPA
Penyakit ISPA disebabkan oleh virus dan bakteri yang disebarkan melalui saluran pernafasan yang kemudian dihirup dan masuk ke dalam tubuh, sehingga menyebabkan respon pertahanan bergerak yang kemudian masuk dan menempel pada saluran pernafasan yang menyebabkan reaksi imun menurun dan dapat menginfeksi saluran pernafasan yang mengakibatkan sekresi mucus meningkat dan mengakibatkan saluran nafas tersumbat dan mengakibatkan sesak nafas dan batuk produktif.
Ketika saluran pernafasan telah terinfeksi oleh virus dan bakteri yang kemudian terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan rubor dan dolor  yang mengakibatkan aliran darah meningkat pada daerah inflamasi dengan tanda kemerahan pada faring mengakibatkan hipersensitifitas meningkat dan menyebabkan timbulnya nyeri. Tanda inflamasi berikutnya adalah kalor, yang mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan menyebabkan hipertermi yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan cairan yang kemudian mengalami dehidrasi. Tumor, adanya pembesaran pada tonsil yang mengakibatkan kesulitan dalam menelan yang menyebabkan intake nutrisi dan cairan inadekuat. Fungsiolesa, adanya kerusakan struktur lapisan dinding saluran pernafasan sehingga meningkatkan kerja kelenjar mucus dan cairan mucus meningkat yang menyebabkan batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga menimbulkan sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif.
Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, setelah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sylvia, 2005).

5.    Hubungan agent (virus)  terhadap kejadian ISPA
Beberapa penelitian agen telah di lakukan di luar negeri. Seperti penelitian yang di  lakukan oleh debora tahun 2012, dalam penelitiannya  tentang “Rhinovirus detection by real-time RT-PCR in children with acute respiratory infection in Buenos Aires, Argentina”, yaitu  deteksi rhinovirus pada anak dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
ISPA merupakan penyakit yang sangat umum dan jenis infeksi bervariasi yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, lingkungan, dan kondisi komorbiditas.  Lebih dari 200 virus penyebab yang berbeda telah dijelaskan. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh debora di Buenos Aires, Argentina menyatakan bahwa rhinovirus (HRV)  merupakan penyebab utama flu biasa dan dapat menyebabkan ISPA pada manusia. Rhinovirus Manusia (HRV) merupakan famili dari Picornaviridae, dan di klasifikasikan dalam genus Enterovirus. Sampai saat ini, lebih dari 100 serotipe telah dijelaskan dan diklasifikasikan menjadi 3 spesies: A, B dan C. Spesies HRV C hanya dapat dideteksi dengan menggunakan metode molekuler. Genom mereka adalah satu 7,2-kb RNA untai positif dengan satu bingkai bacaan terbuka (Savolainen, 2003).
HRV merupakan penyebab paling sering pilek umum dan juga terkait dengan otitis media akut pada anak dan sinusitis pada orang dewasa. Penelitian terbaru telah menetapkan bahwa HRV dapat menginfeksi saluran pernafasan bagian bawah sehingga menyebabkan pneumonia dan bronchiolitis pada anak-anak (Papadopoulos, 2002). Infeksi HRV tanpa gejala juga dapat terjadi pada bayi, anak-anak dan orang dewasa. Isolasi HRV dalam kultur sel sangat sulit dilakukan, tidak sensitif dan memakan waktu yang lama. Pengembangan metode molekuler telah meningkatkan kelayakan deteksi HRV. Beberapa reaksi berantai (RT-PCR) tes transkripsi-polimerase terbalik telah dikembangkan untuk mendeteksi sensitif dan diferensiasi HRV. Frekuensi HRV terdeteksi oleh metode molekuler pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berkisar antara 6%-35%. Meskipun HRV sering terdeteksi pada koinfeksi dengan virus pernapasan lainnya, peran simultan belum diketahui. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa koinfeksi virus meningkatkan keparahan penyakit, sementara yang lain tidak menemukan perbedaan antara koinfeksi dan infeksi tunggal (Calvo, 2007).
Penelitian ini menggunakan aspirasi nasofaring (NPA) dari 67 pasien dengan usia di bawah 2 tahun dengan ISPA yang menghadiri ruang gawat darurat atau dirawat di CEMIC University Hospital,  Buenos Aires , Argentina mulai dari bulan Juni hingga November 2007. NPA dikirim ke Clinical Virologi laboratorium di CEMIC untuk menentukan diagnosis virus. Sisa NPA anonim disimpan pada suhu -70 º C sampai studi HRV dilakukan. Penelitian ini telah disetujui oleh Institutional Review Board dari CEMIC. Data yang diambil dari responden meliputi: usia, karakteristik klinis seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), episode mengi berulang, bronchiolitis,  pneumonia,  hari rawat inap, terapi oksigen, kebutuhan ventilasi mekanis. Selain itu, hasil tes virus lainnya seperti virus RSV, influenza (Flu), adenovirus (Adv), parainfluenza (PIV), bocavirus pada manusia (hBoV) dan metapneumovirus pada manusia (hMPV) dengan PCR dimasukkan dalam penelitian ini (Cartamil, 2008).
Penelitian ini terdiri dari tiga protokol yaitu protokol A: real-time RT-PCR protokol yang direkomendasikan oleh Lu  tahun 2008. Primer (forward: 5'-CPX GCC ZGC GTG GC-3 '; sebaliknya: 5'-GAA ACA ACA CGG AAA CCC GTA-3') dan pemeriksaan (5'-FAM-TCC TCC GGC CCC TGA ATG YGG C-BHQ1 -3 '). Primer forward meliputi asam nukleat terkunci (LNA) analog (X = LNA-dA, Z = LNA-dT) dan turunan pirimidin (P adalah basis meniru C / T mix). Protokol ini dilakukan dengan menggunakan iScript One-Step RT-PCR Kit untuk probe (Bio-Rad, CA, USA): masing-masing 25 ml campuran reaksi mengandung 12,5 ml 2X campuran reaksi, 0,25 ml 100 M maju dan primer mundur, 0,25 ml dari 10 M penyelidikan, 0,5 ml iScript reverse transcriptase, 6,25 ml nuklease air gratis, dan 5 ml ekstrak asam nukleat. Kondisi RT-PCR adalah sebagai berikut: reverse transkripsi awal pada 48 º C selama 10 menit, 95 º C selama 5 menit untuk aktivasi polimerase, dan kemudian 45 siklus 95 º C selama 15 second dan 55 º C selama 1 menit, pada Smart Cycler II.
Sedangkan  protokol B adalah sebuah adaptasi dari protokol A. Urutan primer maju adalah: 5'-CYA GCC TGC GTG GC-3 ', menghindari penggunaan LNA analog dan turunan pirimidin. Reverse primer dan penyelidikan adalah sama seperti dalam protokol A. Protokol ini dilakukan dengan menggunakan One-langkah RT-PCR kit (Qiagen) yang mencakup dua enzim (Omniscript dan Sensiscript) untuk RT dan HotStart Taq DNA polymerase untuk amplifikasi. Kondisi RT-PCR bersepeda adalah sebagai berikut: reverse transkripsi awal pada 50 º C selama 30 menit, 95 º C selama 15 menit untuk aktivasi polimerase, dan kemudian 45 siklus 95 º C selama 15 second dan 55 º C selama 1 menit, pada SmartCycler II (Marcone, 2010). Protokol HEV; Menggunakan RT-PCR untuk mendeteksi HEV dilakukan pada sampel dengan hasil discrepant dengan protokol A dan B.  RT-PCR ini menguatkan suatu wilayah dari 306 bp menjadi 311 bp 5'NCR. RT dilakukan menggunakan reverse transcriptase MMLV dan rekombinan RNasin ribonuklease inhibitor (Promega, WI, USA), dan DNA polimerase Taq rekombinan (Invitrogen) untuk PCR amplification.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua protokol RT-PCR (A dan B) mampu mendeteksi HRV dalam sampel pernapasan. Dari 67 sampel, 17 responden positif dengan protokol A (25,4%), dan 20 responden positif dengan protokol B atau sekitar (29,9). Protokol A dan B tidak mendeteksi virus polio serotipe 1-3, namun kedua protokol mendeteksi 68 Kendali HEV. Ketika pengujian sampel klinis, 1 dari 17 HRV sampel positif dideteksi dengan protokol A adalah negatif untuk HRV dengan protokol B, dan kemudian dikukuhkan sebagai HEV oleh RT-PCR spesifik. Dari 17 sampel positif dideteksi dengan protokol A, 3 negatif untuk HRV dengan protokol B, tetapi kemudian dikukuhkan sebagai HRV dengan sekuensing. Tujuh dari 20 sampel positif HRV dideteksi dengan protokol B negatif untuk HRV dengan protokol A. 7 sampel kemudian dikukuhkan sebagai HRV dengan Sequencing. Sensitivitas (SE) dalam penelitian ini adalah 70% dan 87%, masing-masing. Spesifisitas (SP) adalah 98% untuk protokol A dan 100% untuk protokol B. Kinerja kedua protokol termasuk SE, SP, PPV dan NPV ditunjukkan pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Parameter two real-time RT-PCR untuk HRV
Protocol
SE (CI95%)
SP (CI95%)
PPV (CI95%)
NPV (CI95%)
ROC Area (CI95%)
X2 (1gl)
p X2
p Bonferroni
A
69.6 (58.6-80.6
97.7 (94.2-100.0)
94.1 (88.5-99.8)
86.0 (77.7-94.3)
0.837 (0.7-0.9)
2.05
0.153
0.458
B
87.0 (78.9-95.0)
100.0 (100.0-100.0)
100.0 (100.0-100.0)
93.6 (87.8-99.5)
0.935 (0.9-1)
SE: Sensitivity; SP: Specificity; PPV: positive predictive value; NPV: negative predictive value; CI95%: confidence interval 95%

Protokol B lebih baik dilakukan untuk mendeteksi HRV. Namun, tidak ada perbedaan signifikan secara statistik yang diamati di antara kedua karakteristik klinis protocols. Karakteristik klinis terkait dengan infeksi HRV meliputi: ISPA, mengi, bronkiolitis dan pneumonia. Semua pasien positif HRV memiliki rhinitis, 70% mengalami kesulitan bernapas, dan 30% fever. HRV secara statistik berhubungan dengan episode mengi berulang, yang diamati pada 10 dari 23 anak (43,5%), dibandingkan dengan 8 dari 44 (18,2%) anak-anak dengan mengi dan tanpa HRV (p = 0,041). Demam dan bronchiolitis secara statistik lebih sering di temukan pada pasien HRV. HRV negatif yang terdeteksi selama periode belajar (Juni sampai November 2007). Dari 67 pasien yang diteliti, 32 pasien atau sekitar (47,7%) negatif untuk HRV namun positif untuk virus pernapasan lainnya, dan 12 pasien atau ( 17,9%) negatif untuk virus pernapasan dipelajari. Frekuensi untuk setiap virus pernapasan ditunjukkan pada tabel berikut ini.





Tabel 2.2 Deteksi virus pada saluran pernafasan pada 67 anak dengan diagnosa ISPA dan HRV.
Virus pernafasan
HRV positive
n (%)
HRV negative
n (%)
Total n (%)
RSV

hBoV

hMPV

AdV

Flu

PIV

RSV + hBoV

hBoV + hMPV

Negative

Total (n)
0 –
6 (26.1)
3 (13.0)
0 –
0 –
0 –
1 (4.3)
0 –
13 (56.5)
23
13 (56.5)
3 (6.8)
4 (0.9)
3 (6.8)
2 (4.5)
1 (2.3)
4 (0.9)
1 (2.3)
12 (27.3)
44
14 (28.4)
9 (20.9)
7 (13.4)
3 (4.5)
2 (3.0)
1 (1.5)
5 (1.5)
1 (3.0)
25 (17.9)
67

Keterangan: HRV: human rhinovirus; RSV: respiratory syncytial virus; hBoV: human bocavirus; hMPV:human metapneumovirus; AdV: adenovirus; Flu: influenza; PIV: parainfluenza.

6.    Hubungan agen (bakteri)  terhadap kejadian ISPA
Bakteri dapat menyebabkan terjadinya ISPA secara langsung pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Almasri tahun 2011 di Yunani menyebutkan bahwa Mycoplasma pneumoni merupakan penyebab umum dari infeksi saluran pernafasan (ISR) terutama pada anak-anak. Teknik diagnostik baru yang ditawarkan informasi yang dapat diandalkan tentang epidemiologi infeksi oleh patogen ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan epidemiologi dari infeksi Mycoplasma pneumoni akut pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit Yunani.
Penelitian ini melibatkan 225 anak yang dirawat di rumah sakit Yunani selama periode 15 bulan. Metode yang digunakan dengan menggunakan spesimen usap tenggorokan lalu diuji dengan PCR untuk mendeteksi Mycoplasma pneumoni, sedangkan IgG dan IgM ditentukan dengan metode ELISA.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Infeksi Mycoplasma pneumoni di diagnosis sebagai satu-satunya patogen di 25 kasus atau sekitar (11,1%). Mycoplasma pneumoni adalah agen penyebab kedua Infeksi saluran pernafasan setelah RSV. Proporsi anak dengan Mycoplasma pneumoni meningkat dengan bertambahnya usia, sementara sebagian besar kasus yang dilaporkan selama musim panas dan musim gugur.
Mycoplasma pneumoni memainkan peran yang lebih signifikan dalam menyebabkan infeksi saluran pernafasan (ISR) pada anak. Gambaran klinis infeksi Mycoplasma pneumoni berbagai macam, termasuk faringitis, tracheobronchitis, sementara sekitar sepertiga dari pasien yang terinfeksi menderita pneumonia. Namun, penelitian lain melaporkan bahwa kasus pneumonia merupakan 3-10% dari infeksi, sedangkan mayoritas adalah sakit pernapasan ringan. Pada anak-anak, Mycoplasma pneumoni menyebabkan hingga 40% atau lebih penyakit pneumonia dan sebanyak 18% dari kasus harus di rawat di rumah sakit. Wabah infeksi Mycoplasma pneumoni dapat terjadi dalam masyarakat atau dalam pengaturan tertutup atau semiclosed, seperti pangkalan militer, rumah sakit, komunitas keagamaan, dan sekolah. 
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki prevalensi infeksi pernafasan akut bagian atas atau bawah pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit Yunani. Penelitian ini di lakukan untuk memeriksa temuan klinis yang paling sering terjadi di komunitas dan digunakan sebagai parameter untuk menentukan usia yang paling terkena dalam kelompok serta distribusi musiman infeksi Mycoplasma pneumoni. Responden dari studi prospektif ini dipilih berturut-turut antara anak-anak yang dirawat di Departemen Pediatri, di Universitas Rumah Sakit Umum "AHEPA" di Thessaloniki (Yunani Utara) mulai tanggal 1 Mei 2003-1 Agustus 2004. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etnis Rumah Sakit, dan informed consent dari orang tua diperoleh untuk setiap pasien. Anak yang menjadi responden dalam penelitian ini dirawat di rumah sakit untuk gejala infeksi saluran pernafasan. Hanya anak-anak dengan gejala, tanda dan temuan radiografi konsisten dengan pneumoni atipikal dilibatkan dalam penelitian ini dengan kelompok pneumoni. Pada pneumoni atipikal  X-ray menunjukkan hilus adenopati dan infiltrat unilateral atau bilateral. Pasien dikeluarkan dari penelitian ketika ada bukti Streptococcus pneumoniae atau infeksi Streptococcus pyogenes atau penyakit pernapasan kronis (misalnya fibrosis kistik atau displasia bronkopulmonalis), dan mereka dengan penyakit lain yang mungkin mempengaruhi pasien pneumonia. Pasien dengan infeksi nosokomial, tuberkulosis atau mereka yang telah menerima antibiotik aktif terhadap Mycoplasma pneumoni juga dikecualikan. Pada pemilihan responden, dokter anak yang menyelesaikan kuesioner yang berisi data-data responden mengenai usia responden, tanggal onset penyakit, gejala klinis (malaise, demam ≥ 38 batuk, produksi sputum), temuan laboratorium, dan potensi adanya penyakit yang mendasari. radiografi dilakukan dengan menggunakan peralatan standar dan teknik radiografi, dan ditinjau oleh ahli radiologi dalam format digital. Diagnosis pneumonia didasarkan pada adanya infiltrat baru pada radiografi dada (infiltrat, kekeruhan atau konsolidasi tunggal atau ganda), gejala (seperti menggigil, suara serak, sakit tenggorokan dan nyeri dada), dan temuan pemeriksaan fisik (rales atau crackles, mengeluarkan bunyi pada auskultasi pada pernapasan bronkial).
Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu swab tenggorokan dan spesimen serum yang diperoleh dari pasien, sedangkan spesimen serum diambil  pada 9-24 hari kemudian sebagian besar setelah keluar dari rumah sakit. Spesimen tenggorokan dikumpulkan dengan swab viscose, yang ditempatkan dalam tabung 2 ml. Semua spesimen disimpan pada suhu -20 sampai pengujian. Kedua spesimen serum serologis diuji dalam waktu yang sama. Ekstraksi DNA dan PCR untuk Mycoplasma pneumoni DNA diekstraksi sebanyak 500 ml, lalu spesimen dipekatkan dengan sentrifugasi pada 13.000 X selama 10 menit. Air steril 30 ml ditambahkan hingga tersisa 20 ml. Sampel kemudian diaduk dan dipanaskan sampai 95 selama 15 menit. Sebuah alikuot 15μl dari lisat sampel digunakan untuk amplifikasi PCR. Pasangan primer P1-1 dan P1-3 digunakan untuk memperkuat sebuah fragmen 209-bp dari P1 adhesin gen 14. Protokol PCR dioptimalkan di laboratorium. Volume akhir campuran PCR adalah 50 ml dengan 1 x Taq penyangga (20 mM Tris-HCl dengan  [pH 8,4], 50 mM KCl)  2,5 U Taq DNA polimerase (Invitrogen, USA), 200 M dari setiap dNTP 2,0 mM dari MgCl2, 50 mol primer masing-masing. Teknik PCR adalah sebagai berikut: satu siklus tiga menit pada 94 (untuk denaturasi), 35 siklus amplifikasi (satu menit pada 94 untuk denaturasi dan dua menit pada 72 untuk perpanjangan), dan satu siklus 10 menit pada 72 (untuk ekstensi akhir). Produk PCR terdeteksi oleh 1,5% elektroforesis gelombang agarosa dengan pewarnaan etidium bromida. Selain itu, spesimen pertama darah diuji untuk WBC (Sel Darah Putih), ESR (eritrosit Tingkat Sedimentasi) dengan metode klasik dan CRP (C-Reactive Protein) oleh nephelometry. CRP <0 akut="" bukti="" dan="" dianggap="" dl="" esr="" i="" infeksi="" jam="" mg="" mm="" normal.="" normal="" rentang="">Mycoplasma pneumoni
didefinisikan ketika PCR pada spesimen usap tenggorokan positif dan atau IgM ELISA positif, atau IgG serokonversi, atau signifikan peningkatan titer IgG. Spesimen diuji untuk mengetahui kemungkinan infeksi oleh Chlamydia pneumoni, Coxiella burnetti, jenis virus influenza A dan B; parainfluenzavirus jenis 1,2,3, virus RSV (RSV), dan adenovirus menggunakan ELISA (Virion /serion) menurut instruksi. Selain itu, PCR untuk deteksi genom coronavirus. Diagnosis serologis infeksi diketahui  ketika titer antibodi IgM atau IgA (IgA ditentukan hanya untuk parainfluenza virus) berada di atas nilai cut off yang disediakan oleh peneliti, peningkatan empat kali lipat dalam titer antibodi IgG dalam spesimen serum diamati.
Analisis statistik SPSS versi 12.0 for windows (SPSS Inc, Chicago, IL, USA) digunakan yaitu uji eksak Fisher untuk perbandingan prevalensi infeksi Mycoplasma pneumoniae antara kelompok usia yang berbeda dan antara musim, t-test (uji sampel independen) untuk perbandingan nilai rata-rata antara kelompok, dan chi-square dan uji eksak Fisher untuk perbandingan parameter klinis dan laboratorium antara kelompok. Nilai p <0 14="" 225="" 2="" 3-7="" 37="" 43="" 4="" 74="" 8-14="" 88="" 94="" adalah="" anak="" antara="" atypical="" bulan="" daerah="" dalam="" dan="" dapatkan="" dari="" dengan="" di="" dianggap="" faringitis="" ini="" jumlah="" kisaran="" laki-laki="" penelitian="" pneumonia="" radiografi="" rata-rata="" responden="" sampai="" sedangkan="" sekitar114="" sekitar="" signifikan.="" span="" tahun.="" tahun="" thessaloniki.="" tracheobronchitis="" usia="" yang="">
PCR atau tes serologis untuk Mycoplasma pneumoni positif dengan total 34 responden: PCR positif pada 24 responden dan antibodi IgM spesifik yang terdeteksi pada 27 responden, sementara serokonversi atau signifikan peningkatan antibodi IgG pada 7 responden. Infeksi akut Mycoplasma pneumoni didiagnosis pada 25 (11,1%) responden sesuai dengan kriteria diagnostik peneliti, sedangkan 9 pasien koinfeksi patogen tambahan dikeluarkan: 5 responden dengan Clamidia pneumoni, 4 responden dengan RSV, 2 responden dengan adenovirus dan 1 responden virus parainfluenza . Tingkat infeksi pada laki-laki (10,5%) dan pada wanita (11,9%).  Infeksi Mycoplasma pneumoni ditemukan 15 responden (13,2%) dari 114 anak dengan pneumonia, 8 responden (10,8%) dari 74 dengan faringitis dan 2 responden (5,4%) dari 37 dengan tracheobronchitis. Usia anak-anak dengan infeksi Mycoplasma pneumoniae berkisar antara 4 bulan sampai 12 tahun dengan rata-rata 6,1 tahun. Yang paling terpengaruh adalah kelompok usia 8-14 tahun (23,3%), dengan sejumlah signifikan lebih tinggi dari kasus dibandingkan dengan kelompok anak-anak <3 3-7="" 9="" antara="" dan="" dari="" kelompok="" lebih="" namun="" p="0,033)." perbedaan="" signifikan="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tahun="" tidak="" tinggi="">  usia<3 3-7="" dan="" dari="" p="0,344)." sementara="" signifikan="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tahun="" tidak=""> 
kasus Mycoplasma pneumoni dilaporkan pada anak <3 3-7="" 8-14="" ada="" anak="" antara="" dalam="" dan="" daripada="" di="" diamati="" ditemukan="" dua="" faringitis="" frekuensi="" itu="" kelompok="" lebih="" mereka="" mycoplasma="" p="0,735).</span" pada="" perbedaan="" pneumonia="" pneumoniae="" proporsi="" secara="" sedangkan="" selain="" semua="" signifikan="" statistik="" tahun.="" tahun="" tidak="" tinggi="" tracheobronchitis="" umur="" usia="" yaitu="" yang="">
Tabel 2.3 Distribusi kasus  Mycoplasma Pneumoni berdasarkan kelompok umur

An external file that holds a picture, illustration, etc.
Object name is hippokratia-15-149-i001.jpg


Demam dan batuk adalah gejala yang paling umum sekitar 84%, sementara itu peningkatan laju endap darah (LED) adalah sekitar 96%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam temuan klinis dan laboratorium pasien yang diamati antara Mycoplasma pneumoniae dan non-Mycoplasma pneumoni. Namun, frekuensi parameter klinis dan laboratorium (kecuali CRP) pada anak-anak dengan infeksi Mycoplasma pneumoni pada usia 3-7 tahun dan 8-14 tahun kelompok usia yang lebih tinggi (tidak signifikan) dibandingkan kelompok usia <3 span="" tahun.="">

Tabel 2.4 Perbandingan klinis dan parameter laboratorium responden
An external file that holds a picture, illustration, etc.
Object name is hippokratia-15-150-i001.jpg
Infeksi Mycoplasma pneumoniae lebih sering (26,7%) selama musim panas, di mana jumlah kasus yang diamati secara signifikan lebih tinggi daripada di musim semi (5%, p = 0,005) dan musim dingin (7%, p = 0,004), dan lebih tinggi, tapi tidak signifikan, dibandingkan di musim gugur (9,8%, 0,029).

DAFTAR PUSTAKA
1.    Almasri (2011). Mycoplasma Pneumoniae Respiratory Tract Infections Among Greek Children. Hippokratia : 147–152.
2.    Arikunto, Suharsimin  (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

3.    Aziz, Hidayat (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya : Health Books Publishing.

4.    Calvo C. (2007).  Role of rhinovirus in hospitalized infants with respiratory tract infections in Spain. Pediatric Infection Dis J; 26: 904-8.

5.    Cartamil S. (2008). Estudio de dos nuevos virus respiratorios en poblacion pediatrica con infeccion respiratoria aguda: el metapneumovirus (hMPV)y el bocavirus (hBoV). Revista Argentina Microbiologia; 40 Supl: 78.

6.    Chandra Budiman, (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7.    Chandra Budiman, (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8.    Corwin, Elizabeth (2008). Buku Saku Patofisiologi, ed. 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9.    Debora N. (2012). Rhinovirus detection by real-time RT-PCR in children with acute respiratory infection in Buenos Aires, Argentina. Revista Argentina de Microbiologia; 44: 259-265

10. Depkes RI. (2000). Informasi tentang ISPA pada Balita. Jakarta: Pusat Kesehatan Masyarakat Depkes RI.

11. Depkes RI. (2004). Pedoman Program Pemberantasan Peneumonia Pada Balita. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pemukiman.

12. Depkes RI. (2012). Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI.

13. Dinkes Kab. Jombang. (2010). Kondisi Geografis Kecamatan Mancar Tahun 2010. Jombang : Bidang Yankesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

14. Djaja S, dan Afifah T. (2001). Determinan Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan. 29:1-10.

15. Erlien (2008). Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka.

16. Kartasasmita CB. (2010). Morbiditas dan Faktor Risiko ISPA pada Balita di Indonesia. Majalah Kedokteran Jakarta. 25:135-142.

17. Keman S. (2004). Pengaruh Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1: 30-43.

18. Narbuko, Cholid (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Bumi Aksara

19. Nastiti Rahajoe, dkk. (2008). Buku Ajar Respirologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

20. Nindya TS dan Sulistyorini L. (2005). Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2:43-52.

21. Notoadmodjo, Soekidjo (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

22. Notoadmodjo, Soekidjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

23. Nursalam (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

24. Nursalam (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

25. Nursalam dan Siti pariani (2008). Pendekatan Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

26. Ranuh IGN. (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak.

27. Saryono (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia.

28. Savolainen C. (2003). Human rhinoviruses.  Pediatric Respiratory. Rev 2003; 4: 91-8.

29. Setiadi (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

30. Sugiono (2000). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabet.

31. Sugiyono (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :  Alfabeta.

32. Suryo, Joko (2010). Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta :  PT Bentang Pustaka.

33. Sylvia, Price A. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis proses – proses Penyakit ; Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

34.  Tambayong Jan (1999). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit buku Kedokteran EGC.

35. Wasis (2008). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

36. Yusuf NA dan Sulistyorini L. (2008). Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada anak Balita.  Jurnal Kesehatan Lingkungan.1:110-119.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar