Senin, 28 April 2014

PENYAKIT HEMOGLOBIN

Dr. Suparyanto, M.Kes



2.4.1 Penyakit Karena Kadar Hemoglobin Rendah
Kadar hemoglobin yang rendah atau kurang dari normal disebut anemia. Anemia merupakan salah satu kelainan darah yang umum terjadi ketika kadar hemoglobin dalam sel darah merah  terlalu rendah. Anemia bukan suatu penyakit namun suatu tanda dari proses penyakit. Diagnosa anemia dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, penghitungan jumlah sel darah merah, dan penentuan nilai hematokrit. Anemia dapat terjadi karena perdarahan, defisiensi besi, penyakit ginjal, kehamilan, gizi buruk, dan thalassemia (Proverawati 2011, hh. 1-4) (Bakta 2013, h. 12). Kriteria anemia menurut WHO tahun 1968, sebagai berikut :
Tabel 2.1 : Kriteria Anemia Menurut WHO
Kriteria
Kadar hemoglobin

Laki-laki dewasa
<13 dl="" g="" span="">
Wanita dewasa
<12 dl="" g="" span="">
Wanita Hamil
<11g dl="" span="">
Anak usia 6-14  tahun
<12g dl="" span="">
Anak umur 6 bulan-6 tahun
<11g dl="" span="">

Anemia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu :
1.  Anemia defisiensi vitamin B12
Anemia defisisiensi besi  disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dari asupan makanan. Vitamin B12  dapat diperoleh dari mengkonsumsi daging, unggas, kerang, telur, dan susu. Untuk menyerap vitamin B12 yang cukup, tubuh membutuhkan protein khusus yang disebut faktor intrinsik. Kombinasi vitamin B12 dan faktor intrinsik diserap di  usus kecil. Pengobatan dilakukan tergantung penyebab anemia defisiensi besi. Pengobatan awal dapat dilakukan dengan suntiakan  vitamin B12. Pencegahan anemia defisiensi vitamin B12 dapat dilakukan dengan dengan diet seimbang vitamin B12 (Proverawati 2011, hh. 39-44).
2.  Anemia defisiensi folat
Anemia defisiensi folat disebabkan oleh kekurangan folat. Folat atau asam folat diperlukan dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah dan pertumbuhan. Folat dapat diperoleh dari mengkonsumsi sayuran daun hijau dan hati. Pada anemia defisiensi folat menyebabkan sel darah merah berbentuk besar sehingga sering disebut anemia megaloblastik. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian folat melalui oral atau intravena. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi makanan tinggi folat (Proverawati 2011, hh. 45-46).
3.  Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi disebabkan oleh kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi dapat menurunkan kadar hemoglobin karena besi merupakan komponen utama dari hemoglobin. Kekurangan zat besi juga menyebabakan eritrosit yang diproduksi berukuran kecil (mikrositik), dan warna eritrosit menjadi pucat (hipokrom).  Zat besi diperoleh dari mengkonsumsi makanan dan daur ulang besi dari sel darah merah. Defisiensi besi dapat terjadi karena kekurangan asupan zat besi dari makanan, gangguan penyerapan zat besi, dan kehilangan zat besi kerena pendarahan. Pengobatan dapat dilakukan dengan mengkonsumsi suplemen besi (ferro sulfat). Pencegahan dapat dilakukan dengan megkonsumsi zat besi yang cukup (Proverawati 2011, hh. 51-55).
4.  Anemia penyakit kronis
Anemia penyakit kronis disebabkan oleh adanya penyakit kronis (jangka panjang) yang mempengaruhi produksi dan umur sel darah merah. Gangguan ginjal, peradangan, diabetes, TBC, dan HIV dapat menyebabkan anemia penyakit kronis. Pengobatan dapat dilakukan dengan mengobati penyakit kronis sehingga anemia dapat teratasi (Proverawati 2011, hh. 63-64).
5.  Anemia hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan oleh kerusakan dini sel darah merah.  Anemia hemolitik dapat terjadi karena kelainan dalam sel darah merah (faktor intrinsik) dan kelainan di luar sel darah merah (faktor ekstrinsik). Faktor intinsik pada anemia hemolitik adalah adanya kelainan pada protein dalam sel darah merah. Faktor ekstrinsik pada anemia hemlotik adalah sistem imun abnormal, infeksi, dan obat-obatan tertentu. Pengobatan dilakukan sesuai dengan penyebab anemia hemolitik seperti pemberian asam folat, zat besi dan kortikosteroid.  Dalam keadaan darurat dapat dilakuakn tranfusi darah untuk mengatasi anemia jenis ini (Proverawati 2011, hh. 69-72). 
6.  Anemia aplastik idiopatik
Penyebab anemia aplastik idiopatik belum diketahui secara pasti namun, cidera pada induk sel darah dapat menyebabkan anemia jenis ini. Cidera induk sel darah menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Pada kasus anemia aplastik ringan dapat dilakuakan dengan tranfusi darah dan tranfusi trombosit. Pada kasus anemia aplastik berat pengobatan dapat dilakuakan dengan transplatasi sumsum tulang atau transplatasi sel induk (Proverawati 2011, hh. 81-82).
7.  Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah ukuran besar sel darah merah yang melebihi normal. Anemia megaloblastik secara umum dapat disebabkan oleh kekurangan asam folat atau Vitamin B12. Beberapa kondisi seperti mengkonsumsi alkohol, leukimia, dan kemoterapi juga dapat menjadi penyebab anemia jenis ini (Proverawati 2011, hh. 87-88).
8.  Anemia pernisiosa
Anemia pernisiosa disebabkan oleh gangguan penyerapan vitamin B12 dari saluran pencernaan. Gangguan penyerapan terjadi karena tubuh tidak mampu membuat faktor intrinsik dalam jumlah cukup. Faktor intrinsik adalah protein yang diproduksi oleh sel pariental dalam usus untuk mengikat vitamin B12. Kekurangan faktor intrinsik akan membuat Vitamin B12 dari makanan tidak terserap sehingga sumsum tulang tidak dapat memproduksi sel darah merah dalam jumlah normal. Pengobatan dapat dilakuakn dengan suntikan vitamin B12 untuk memperbaiki kekurangan vitamin B12 (Proverawati 2011, hh. 91-99).
9.  Anemia aplastik sekunder
Anemia aplastik sekunder disebabkan oleh cedera pada sel induk darah. Sel induk darah membelah dan berubah menjadi sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Jika sel induk darah cedera, terjadi penurunan semua jenis sel darah. Cedera pada sel induk darah dapat disebabkan oleh kemoterapi, racun, dan keturunan. Pengobatan dapat dilakuakn dengan tranfusi darah dan tranfusi trombosit untuk meringankan gejala anemia jenis ini (Proverawati 2011, hh. 101-107).
10.  Anemia sel sabit
Anemia sel sabit merupakan penyakit keturunan. Anemia sel sabit disebabkan oleh jenis abnormal  hemoglobin, yaitu hemoglobin S. Disebut hemoglobin S karena distorsi bentuk sel darah merah, terutama jika kadar oksigen rendah. Sel darah merah terdistorsi berbentuk separti sabit. Bentuk sel darah merah saperti sabit menyebabkan sel rapuh dan tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah cukup. Pengobatan dapat dilakuakn dengan memberikan suplemen asam folat untuk menembah produksi sel darah merah (Proverawati 2011, hh. 111-115).
11.  Thalassemia
Thalassemia merupakan kelainan darah yang diturunkan melalui keluarga. Thalassemia disebabkan oleh kerusakan gen yang memproduksi protein dalam sintesis hemoglobin. Terdapat dua jenis Thalassemia yaitu Thalassemia Alfa dan Thalassemia beta. Thalassemia Alfa tejadi karena protein globin alfa hilang atau bermutasi. Thalassemia Beta terjadi karena protein globin beta hilang atau bermutasi. Pengobatan dapat dilakuakn dengan tranfusi darah dan pemberian suplemen folat (Proverawati 2011, hh. 121-125).
2.4.2 Penyakit Karena Kadar Hemoglobin Tinggi
Kadar hemoglobin yang tinggi atau lebih dari normal disebut polisitemia. Polisitemia terjadi ketika kadar hemoglobin pada pria atau wanita melebihi 18 g/dl dan jumlah eritrosit 7-12 juta/uL.  Terdapat 2 jenis polisitemia yaitu :
1.  Polisitemia primer
Polisitemia primer adalah suatu keganasan pada sel induk darah dengan karakteristik peningkatan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Polisitemia primer biasanya terjadi pada penderita usia 40-60 tahun. Polisitemia dapat menyebabkan gangguan pada jantung karena beban sirkulasi yang tinggi. Perjalanan klinis polisitemia primer adalah sebagai berikut:
a.  Fase eritrositik
Adalah fase dimana diperlukan flebotomi untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal.
b.  Fase burn-out
Fase dimana kebutuhan flebotomi berkurang karena terjadi anemia karena terjadi fobrosis ringan di sumsum  tulang namun  trobositosis dan leukositosis tetap terjadi.
c.   Fase mielofibrosis
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali  progresif, manifestasi klinik dan perjalanan klinik menjadi seperti mielofibrosis dan metaplasia mieloid.
d.  Fase terminal
Kematian terjadi karena komplikasi perdarahan/trombosis (35-50%), mielofibrosis (15% penderita)  dan transformasi menjadi leukimia akut. Pengobatan khusus pada penderita polisitemia dapat dilakukan dengan:
a.  Flebotomi
Tujuan dilakukan flebotomi adalah  mempertahankan nilai hematokrit pada batas normal.
b.  Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan dengan tujuan sitoreduksi (Handayani & Andi 2008, hh. 74-80). 
2.  Polisitemia sekunder
Polisitemia sekunder terjadi karena hipoksia (kekurangan oksigen) kronis. Hipoksia menyebabkan ginjal mengeluarkan hormon eritropoitin dalam jumlah banyak yang mampu merangsang eritropoiesis. Tidak terdapat gejala pada polisitemia sekunder sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa. Penatalaksanaan polisitimia sekunder mencakup penanganan masalah primer. Apabila penyebab tidak dapat dikoreksi, maka perlu dilakukan flebotomi untuk menggurangi volume dan kekentalan darah (Handayani & Andi 2008, h. 80).   



DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,  Rineka Cipta, Jakarta.

Bakta, Imade 2012, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta.

Chairlain & Estu Lestari 2011, Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan, EGC, Jakarta.

Dacie sir john V & S, M Lewis 1996, Practical Haematology, Churchill Livingstone, London.

Gandasoebrata, R 2010, Penuntun Laboratorium Klinik, cetakan ke-16, Dian rakyat, Jakarta.

Hadayani, Wiwik & Andi Sulistyo Hariwibowo 2008, Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi, Salemba Medika, Jakarta.

Hidayat, Aziz Alimul a 2012, Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data, Salemba Medika, Jakarta.

Hoffbrand A,V, Pettit J,E & Moss P,A,H 2012, Kapita Selekta Hematologi, EGC, Jakarta.

Kee, Joyce LeFever 2008, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, EGC, Jakarta.

Kosasih, E.N & A.S kosasih 2008, Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik, Karisma publishing group, Tangerang.

Mehta, Atul & Victor Hoffbrand 2008, At a Glance Hematologi, Erlangga, Jakarta.

Murray, Robert K, Daryl K Granner, Peter A Mayes & Victor W. Rodwell 2003 , Biokimia Harper, EGC,  Jakarta.

Nasir, ABD, Abdul Munith & M, E Ideputri 2011, Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo 2005, Metodelogi Penelitian Kesehatan, Rineka cipta, Jakarta.

Nursalam 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.

Pagana, Kathleen Deska & Timothy J.Pagana 2006, Mosbby’s Manual of Diagnostic and Laboratory Test, Mosby Elesevier, Inggris.

Proverawati, Atikah 2011, Anemia dan Anemia Kehamilan, Nuha Medika, Yogyakarta.

Sacher, A Ronald & Richard a McPherson 2012, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, EGC, Jakarta.

Saryono 2009, Biokimia Respirasi, Nuha Medika, Yogyakarta.

WHO 1968, Haemoglobin Concentration for The Diagnostic of Anemia and Assesment of Severity, dilihat 28 februari 2014, www.who.int/umnis/indicators/haemoglobiin.pdf

Yepi, Hardi Rustam 2010, Struktur Molekul Protein, dilihat 19 Februari 2014, http://Sciencebiotech.net/struktur-molekul-protein/



 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar