Kamis, 05 Juni 2014

MASALAH PENYAKIT KUSTA (LEPRA)

Dr. Suparyanto, M.Kes



2.3.1   Pengertian Penyakit kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (kulit), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007). Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai aktivitas afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian ke organ lain. (Djuanda, 2011)
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan penularannya kepada orang lain memerlukan waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit lainnya. Masa inkubasinya adalah 2-5 tahun. Penyakit ini menyerang kulit, mukosa mulut, saluran pernafasan bagian atas, mata, otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik. Namun pada sebagian kecil memperhatikan gejala-gejala yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat khususnya pada tangan dan kaki (Departemen Kesehatan RI, 2006).

2.3.2   Sejarah
Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak para ahli percaya bahwa tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 SM. Sekitar tahun 600 SM, ditemukan sebuah tulisan berbahasa India menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani Kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di Roma pada 62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan Pompei dari Asia Kecil.
Sepanjang sejarahnya, kusta telah ditakuti dan disalah pahami. Untuk waktu yang lama kusta dianggap sebagai penyakit keturunan, kutukan, atau hukuman dari Tuhan. Sebelum dan bahkan setelah penemuan bakteri penyebab kusta, orang yang pernah mengalami kusta menghadapi stigma dan dijauhi oleh masyarakat.
Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan penyakit kusta di bawah mikroskop. Hansen penemuan Mycobacterium leprae membuktikan bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun-temurun, dari kutukan, atau dari dosa.
Pada tahun 1941, Promin, sebuah sulfon obat, diperkenalkan sebagai obat untuk kusta. Pertama kali diidentifikasi dan digunakan di Carville. Promin berhasil merawat kusta tapi sayangnya Promin menimbulkan efek yang menyakitkan ketika disuntikkan pada pasien.
Pada tahun 1950, Pil Dapson, ditemukan oleh Dr R.G. Cochrane di Carville, menjadi pilihan untuk pengobatan kusta. Dapson bekerja luar biasa pada awalnya, tetapi sayangnya, Micobacterium leprae pada akhirnya mulai mengembangkan perlawanan terhadap dapson. Sukses pertama multi-obat perawatan (MDT) rejimen untuk kusta dikembangkan melalui uji coba obat di pulau Malta. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT mulai, kombinasi dari tiga obat: dapson, rifampisin, dan clofazimine. (Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia, 2012).

2.3.3   Etiologi
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobactorium Leprae dimana untuk pertama kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1973. Mycobactorium Leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari system retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977, Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus adalah pada suhu 27-30° C (Departemen Kesehatan RI, 2006).

2.3.4   Manifestasi Penyakit Kusta
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign,yaitu :
1)      Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2)      Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis peritis). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a.    Gangguan fungsi sensoris   : mati rasa
b.   Gangguan fungsi motoris   : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)
c.    Gangguan fungsi otonom   : kulit kering dan retak-retak.
3)      Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar kasus dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan Cardinal Sign ke-2 perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek)
1)      Tanda-tanda pada kulit
a.    Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b.   Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap
c.    Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d.   Lepuh tidak nyeri
2)      Tanda-tanda pada saraf
a.    Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b.   Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c.    Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

2.3.5   Derajat Cacat Kusta
Menurut Djuanda, A, 2011 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:
a.    Cacat pada tangan dan kaki
1)        Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
2)        Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
3)        Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
b.    Cacat pada mata
1)   Tingkat 0  : tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan.
2)   Tingkat 1  : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
3)   Tingkat 2   : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).

2.3.6   Jenis – Jenis Cacat kusta
Menurut Djuanda A. (2011) jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
a.    Cacat primer
Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae. Termasuk kedalam cacat primer adalah :
1)      Cacat pada fungsi saraf
a)    Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
b)   Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus
c)    Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
2)      Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat.
3)      Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
b.    Cacat sekunder
1)      Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonom.
2)      Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dan mudah terjadinya luka.
3)      Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya kreatitis.
4)      Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi skunder.

2.3.7   Klasifikasi Penyakit Kusta
a.       Tujuan klasifikasi
1)      Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi.
2)      Untuk merencanakan operasional, misalnya menemukan pasien-pasien yang menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan.
3)      Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
b.    Jenis klasifikasi yang umum
Klasifikasi untuk kepentingan program kusta WHO :

1)   Pausibasilar (PB)
Penderita kusta yang mempunyai kelainan dengan jumlah lesi 1-5, penebalan syaraf hanya 1 disertai dengan gangguan fungsi dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) negatif.
2)      Multibasilar (MB)
Kelainan kulit dengan jumlah lesi lebih dari 5, penebalan syaraf lebih dari 2 disertai gangguan fungsi dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif.

2.3.8   Stigma terhadap Kusta
Stigma adalah ciri negatif atau label yang diberikan pada seseorang atau kelompok tertentu. Stigma dapat pula diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang salah dan lebih sering merupakan kabar angin yang dihembuskan berdasarkan reaksi emosi untuk mengucilkan dan menghukum mereka yang sebenarnya memerlukan pertolongan (Poerwanto, 2006).
Kusta adalah salah satu dari penyakit yang mempunyai stigma social yang tinggi. Stigma social pada kusta dihubungkan dengan mitos dan kepercayaan terhadap penyakit kusta. Penderita kusta tidak hanya mengalami kerusakan secara fisik namun juga menderita secara psikososial karena perilaku lingkungan. Pembatasan secara fisik dan psikososial secara jangka panjang lambat laun akan menyingkirkan penderita dari masyarakat. Penderita dengan cacat mengalami ketidakmampuan untuk berperan secara normal dalam masyarakat, yang disebut sebagai pembatasan partisipasi. Hal ini secara jangka panjang akan menimbulkan pengangguran, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan harga diri penderita kusta. Kurangnya dukungan soSial dan kepercayaan diri, beberapa penderita yang tidak menjalani rehabilitasi bahkan ada yang menjadi pengemis (Kaur & Brahel, 2002).

2.3.9   Aspek Sosial pada Penyakit kusta
Dari segala jenis penyakit di dunia ini, tidak ada satu pun yang mengungguli penyakit kusta dalam hal aspek sosialnya. Dampak sosial akibat penyakit kusta sedemikian besarnya, sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam, tidak hanya pada penderita itu sendiri, tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan negara. Beberapa akibat yang dialami oleh penderita kusta karena anggapan masyarakat yang takut akan penularan kusta sehingga diperlakukan tidak manusiawi antara lain:
a.       Ditolak atau ditinggalkan oleh keluarganya.
b.      Dipaksa bersembunyi.
c.       Dikucilkan atau dipasung oleh keluarganya.
d.      Dibuang secara paksa.
e.       Dikejar-kejar atau diusir dari desa.
f.       Dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerjanya.
g.      Ditolak bekerja dalam suatu lingkukngan pekerjaan dengan berbagai macam alasan.
h.      Sukar menjual barang-barang dagangan atau hasil produksi mereka.
i.        Mendapat perlakuan kasar, bahkan kadang-kadang dihina.

2.3.10    Dampak Psikososial Penyakit Sosial
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalah yang kompleks. Masalah yang dihadapi penderita bukan hanya masalah medis tetapi juga menyangkut masalah psikososial. Dampak psikososial yang disebabkan oleh penyakit kusta sangat luas sehingga menimbulkan keresahan bukan hanya oleh penderita sendiri tetapi juga bagi keluarga, masyarakat dan Negara. Hal yang mendasari konsep perilaku penerimaan masyarakat adalah anggapan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit keturunan, bahkan menganggap penyakit tersebut merupakan kutukan dari Tuhan. Hal ini menjadikan suatu ketakutan yang berlebihan terhadap penyakit kusta yang disebut sebagai leprophobia (Rahayu, 2011).

2.1.  Pengobatan Penyakit Kusta
2.4.1   Tujuan Pengobatan
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan:
a.         Memutuskan mata rantai penularan
b.         Menyembuhkan penyakit penderita
c.         Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus.
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan, hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut.
Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur. Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa (Departemen Kesehatan RI, 2006).

2.4.2   Obat – Obatan yang Digunakan
Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu: ofloksasin, minosilin dan  klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine, dan rifampizine.
a.       DDS (Diamino Diphenyl Suffone)
1.        Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone
2.        Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet
3.        Bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi/menghambat pertumbuhan kuman kusta.
4.        Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 10-14 tahun 50 mg/hari.

b.      Lamprene (B663) juga disebut Clofazimine
1.   Bentuk kapsul, warna coklat, dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul.
2.   Sifat
a)    Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta, bakterisid lemah.
b)   Anti reaksi (menekan reaksi sebagai anti inflamasi)
3.   Cara pemberian : secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari gangguan gastrointestinal.
c.       Rifampicin
1.        Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
2.        Sifat mematikan kuman kusta secara cepat (bakterisid), 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian.
3.        Cara pemberian obat : cara oral, bila diminum setengah jam sebelum makan, penyerapan lebih baik.
d.      Obat-obatan penunjang (Vitamin/Roboransia)
1.      Sulfat Ferrosus
Obat tambahan untuk penderita kusta yang anemia berat.
2.      Vitamin A
Obat ini digunakan untuk penyehatan kulit yang bersisik (ichtyosis).
3.      Neurotropik
IMG003.jpg
Gambar 2.1 Kemasan (Blister) obat kusta

2.4.3   Keteraturan Berobat pada Penderita kusta
a.    Minum Obat Sesuai Petunjuk
Regimen MDT (Obat Kombinasi) yang dianjurkan oleh WHO adalah:
1)        Penderita Kusta Kering (PB)
Dewasa:
a)    Pengobatan Bulanan: Hari Pertama (dosis yang diminum di depan petugas) yaitu 2 kapsul Rifampisin dan 1 tablet Dapsone.
b)   Pengobatan harian: Hari ke 2 sampai hari ke 28 (dibawa pulang) 1 tablet Dapsone. Penderita akan memperoleh obat MDT dari Puskesmas sebanyak 6 Blister untuk diminum selama 6 bulan.
2)        Penderita Kusta Basah (MB)
Dewasa:
a)    Pengobatan Bulanan : Hari Pertama (Dosis yang diminum didepan petugas) yaitu 2 kapsul Rifampisin, 3 Kapsul Lampren, dan 1 tablet Dapsone
b)   Pengobatan harian : Hari ke 2 sampai hari ke 28 (dibawa pulang) 1 tablet Lampren dan 1 tablet Dapsone diminum setiap hari. Setiap penderita kusta tipe MB akan mendapatkan 12 blister obat MDT dari Puskesmas untuk diminum selama 12 bulan.
b.    Jadwal Pengambilan Obat
Pengambilan obat setiap bulan yang telah disesuaikan dengan tanggalnya. Petugas harus memonitoring tanggal pengambilan obat. Penderita tidak boleh telat dalam mengambil obatnya,  jika Penderita terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.

2.2.  Reaksi Terhadap Obat Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi antigen antibody (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita. Reaksi ini dapat terjadi sebelum pada saat, maupun sesudah pengobatan. Umumnya ditandai dengan bercak bertambah merah disertai dengan peradangan akut pada kulit, syaraf, timbul benjolan kemerahan yang nyeri, syaraf tepi menjadi sakit, nyeri dan bengkak, demam dan lesu, tangan dan kaki mungkin membengkak. Paling sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun setelah selesai pengobatan. Reaksi kusta merupakan peristiwa awal terjadinya kecacatan bila dideteksi dan diobati dengan obat dan dosis khusus menggunakan Prednisone. Ada 2 macam reaksi kusta yaitu reaksi tipe I (Reversal reaction) dan reaksi tipe II (Erythema Nodusum Leprosum). Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta misalnya : penderita dalam kondisi lemah, kehamilan, sesudah mendapat imunisasi, pembedahan, sters fisikdan saat setelah melahirkan.
Ada beberapa reaksi atau efek terhadap penderita yang mengalami alergi terhadap pengobatan.

Tabel 2.1 Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya

Efek samping
Nama obat
Penanganan
Ringan :
a.       Air seni berwarna merah




b.      Perubahan warna kulit menjadi coklat
c.       Masalah gastrointestinal



d.      Anemia

Rifampisin




Clofazimin

Semua obat (3 obat dalam MDT)


Dapson

Reassurance (menenangkan penderita dengan penjelasan yang benar)
Konseling

Obat diminum bersama dengan makanan atau setelah makan
Berikan tablet Fe dan asam folat.
Serius :
a.       Ruam kulit yang gatal

b.      Alergi, urtikaria

c.       Ikterus (kuning)

d.      Shock, purpura, gagal ginjal


Dapson

Dapson atau rifampisin
Rifampisin

Rifampisin

Hentikan dapson, rujuk
Hentikan keduanya, rujuk
Hentikan rifampisin, rujuk
Hentikan rifampisin, rujuk
(Sumber: Djuanda, 2011)


2.3.   Release From Treatment (RFT)
2.6.1. Pengertian
Release From Treatment (RFT) berarti berhenti minum obat. Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan Release From Treatment (RFT), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
a.    Pengobatan telah selesai.
b.    Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai luka.
c.    Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk periksaan ulang.

2.6.2 Sebelum Dinyatakan RFT
Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
a.    Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti.
1)   Semua bercak masih nampak.
2)   Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
3)   Semua syaraf yang masih tebal.
4)   Semua cacat yang masih ada.
b.    Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
c.    Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku register.

       2.6.3 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
a.    Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
b.    Apabila penderita terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
c.    RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita.
d.   Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif.
1.   Tipe PB selama 2 tahun.
2.   Tipe MB selama 5 tahun diperlukan pemeriksaan laboratorium.
e.    Penderita PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
f.     Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa pemeriksaan laboratorium (Departemen Kesehatan RI, 2006).

       2.6.4 Defaulter
Jika seorang penderita PB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 3 bulan (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter(er) PB.
Jika seorang penderita MB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 6 bulan (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter(er) MB (Departemen Kesehatan, 2006).


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta.
Data Dinas Kesehatan Jombang. 2013. Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta. Tidak Dipublikasikan.
Data Puskesmas Mayangan. 2014. Kohort P2 Kusta Puskesmas Mayangan.. Tidak Dipublikasikan.
Departemen Kesehatan R.I. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. Tidak Dipublikasikan.
Dinas Kesehatan Jombang. 2012. Profil Kesehatan Jombang 2012. Tidak Dipublikasikan.
Djuanda, A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Effendy, Nasrul. 2006. Dasar-Dasar Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Fakhril. 2011. Penatalaksanaan Sederhana Tuberkulosis ( TBC ) & Kusta. Diakses dari: www.fafakhryl.blogspot.com.Tanggal akses 12 Januari 2014.
Hidayat, A.A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika.
______.2009. Pengukuran Motivasi. Diakses dari http://dr-suparyanto.blogspot.com./2010/2009/konsep-motivasi.html. Tanggal akses 15 November 2013.
Irwanto.2000.Motivasi dan Pengukuran Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta
Kaur dan Van Brankel. 2002. Dehabilitation of Leprosy Affected People a Study On Leprosy Affected Beggars. Diakses dari:www.leprahealthnaction.org. Tanggal akses 10 November 2013.
Kemenkes R.I. 2011. Menkes Canangkan Tahun Pencegahan Cacat Akibat Kusta. Diakses dari: www.bppd.depkes.go.id.Tanggal akses 10 Desember 2013.
______.2010.WHO:17 Penyakit Tropis Terabaikan.Diakses dari: www.health.kompas.com.Tanggal akses 8 November 2013.
Niven, Neil. 2002. PSIKOLOGI KESEHATAN Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain. Jakarta: EGC
Noor. 2007. Buletin Penelitian Kesehatan: Epidemiologi Kusta. Diakses dari: www.buletinpenelitiankesehatan.blogspot.com. Tanggal akses 10 Januari 2014.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promo Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta
______. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
______.2012.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.
______.2010.Promosi Kesehatan:Teori dan Aplikasi.Edisi Revisi.Jakarta:Rineka Cipta.
Nursalam. 2008. Manajemen Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
______. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Permata. 2012. Sejarah Kusta. Diakses dari: www.permataindonesia2012.com. Tanggal akses 10 November 2013.
Poerwanto. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta:Balai Pustaka Departemen Pendidikan Nasional.
______.2000. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia
Subdirektorat Kusta dan Frambusia.2007. Modul pelatihan program kusta untuk UPK, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur.Tidak Dipublikasikan.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi
WHO.2010.Weekly Epidemiological Record.Diakses dari:www.who.int. Tanggal akses 13 Maret 2014.
Widayatun, Tri Rusmi. 2009.  ILMU PERILAKU. Jakarta: Sagung Seto

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar