PENYAKIT
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
1. Definisi ISPA
Infeksi saluran pernafasan adalah
mulai dari infeksi respiratori atas dan adneksanya hingga parenkim paru.
Sedangkan pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari (Nastiti, 2008).
Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit Infeksi akut yang menyerang salah satu
bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas)
hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus,
rongga telinga tengah dan pleura (Ranuh, 1997).
ISPA adalah Infeksi saluran pernafasan yang
berlangsung sampai 14 hari yang dapat ditularkan melalui air ludah, darah,
bersin maupun udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang
sehat (Depkes RI, 2012).
2. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri,
virus dan riketsia. Bakteri Penyebabnya
antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara
lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,
Herpesvirus ( Depkes RI, 2000).
3. Gambaran klinis ISPA
Gambaran klinis infeksi saluran pernafasan akut
bergantung pada tempat infeksi serta mikroorganisme penyebab infeksi. Semua
manifestasi klinis terjadi akibat proses peradangan dan adanya kerusakan
langsung akibat mikroorganisme. Manifestasi klinis antara lain :
a)
Batuk
b)
Bersin
dan kongesti nasal
c)
Pengeluaran
mukus dan rabas dari hidung
d)
Sakit
kepala
e)
Demam
f)
Malaise
(Corwin, 2008)
4. Patofisiologi ISPA
Penyakit ISPA disebabkan oleh virus
dan bakteri yang disebarkan melalui saluran pernafasan yang kemudian dihirup
dan masuk ke dalam tubuh, sehingga menyebabkan respon pertahanan bergerak yang kemudian
masuk dan menempel pada saluran pernafasan yang menyebabkan reaksi imun menurun
dan dapat menginfeksi saluran pernafasan yang mengakibatkan sekresi mucus
meningkat dan mengakibatkan saluran nafas tersumbat dan mengakibatkan sesak
nafas dan batuk produktif.
Ketika
saluran pernafasan telah terinfeksi oleh virus dan bakteri yang kemudian
terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan rubor dan dolor yang mengakibatkan aliran darah meningkat
pada daerah inflamasi dengan tanda kemerahan pada faring mengakibatkan
hipersensitifitas meningkat dan menyebabkan timbulnya nyeri. Tanda inflamasi
berikutnya adalah kalor, yang mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan
menyebabkan hipertermi yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan cairan yang
kemudian mengalami dehidrasi. Tumor,
adanya pembesaran pada tonsil yang mengakibatkan kesulitan dalam menelan yang
menyebabkan intake nutrisi dan cairan inadekuat. Fungsiolesa, adanya kerusakan
struktur lapisan dinding saluran pernafasan sehingga meningkatkan kerja
kelenjar mucus dan cairan mucus meningkat yang menyebabkan batuk.
Adanya infeksi
virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Infeksi
sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak dan dapat
menyumbat saluran nafas sehingga menimbulkan sesak nafas dan juga menyebabkan
batuk yang produktif.
Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan
dalam saluran pernafasan atas, setelah terjadinya infeksi virus, dapat
menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sylvia, 2005).
5.
Hubungan
agent (virus) terhadap kejadian ISPA
Beberapa penelitian agen
telah di lakukan di luar negeri. Seperti penelitian yang di lakukan oleh debora tahun 2012, dalam penelitiannya tentang “Rhinovirus detection by real-time
RT-PCR in children with acute respiratory infection in Buenos Aires,
Argentina”, yaitu deteksi rhinovirus
pada anak dengan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
ISPA
merupakan penyakit yang sangat umum dan jenis infeksi bervariasi yang sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti usia, lingkungan, dan kondisi
komorbiditas. Lebih dari 200 virus
penyebab yang berbeda telah dijelaskan. Salah satu penelitian yang dilakukan
oleh debora di Buenos Aires, Argentina menyatakan bahwa rhinovirus (HRV) merupakan penyebab utama flu biasa dan dapat
menyebabkan ISPA pada manusia. Rhinovirus Manusia
(HRV) merupakan famili dari Picornaviridae, dan di klasifikasikan dalam
genus Enterovirus. Sampai saat ini, lebih dari 100 serotipe telah
dijelaskan dan diklasifikasikan menjadi 3 spesies: A, B dan C. Spesies HRV
C hanya dapat dideteksi dengan menggunakan metode molekuler. Genom
mereka adalah satu 7,2-kb RNA untai positif dengan satu bingkai bacaan terbuka
(Savolainen, 2003).
HRV merupakan penyebab
paling sering pilek umum dan juga terkait dengan otitis media akut pada anak
dan sinusitis pada orang dewasa. Penelitian terbaru telah menetapkan bahwa HRV
dapat menginfeksi saluran pernafasan bagian bawah sehingga menyebabkan
pneumonia dan bronchiolitis pada anak-anak (Papadopoulos,
2002). Infeksi
HRV tanpa gejala juga dapat terjadi pada bayi, anak-anak dan orang dewasa.
Isolasi HRV dalam kultur sel sangat sulit dilakukan, tidak sensitif dan memakan
waktu yang lama. Pengembangan metode molekuler telah meningkatkan kelayakan
deteksi HRV. Beberapa reaksi berantai (RT-PCR) tes transkripsi-polimerase
terbalik telah dikembangkan untuk mendeteksi sensitif dan diferensiasi HRV.
Frekuensi HRV terdeteksi oleh metode molekuler pada anak-anak yang dirawat di
rumah sakit dengan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) berkisar antara
6%-35%. Meskipun HRV sering terdeteksi pada koinfeksi dengan virus pernapasan
lainnya, peran simultan belum diketahui. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa
koinfeksi virus meningkatkan keparahan penyakit, sementara yang lain tidak
menemukan perbedaan antara koinfeksi dan infeksi tunggal (Calvo, 2007).
Penelitian ini menggunakan
aspirasi nasofaring (NPA) dari 67 pasien dengan usia di bawah 2 tahun dengan
ISPA yang menghadiri ruang gawat darurat atau dirawat di CEMIC University
Hospital, Buenos Aires , Argentina
mulai dari bulan Juni hingga November 2007. NPA dikirim ke Clinical Virologi
laboratorium di CEMIC untuk menentukan diagnosis virus. Sisa NPA anonim disimpan
pada suhu -70 º C sampai studi HRV dilakukan. Penelitian ini telah disetujui
oleh Institutional Review Board dari CEMIC. Data yang diambil dari
responden meliputi: usia, karakteristik klinis seperti infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA), episode mengi berulang, bronchiolitis, pneumonia,
hari rawat inap, terapi oksigen, kebutuhan ventilasi mekanis. Selain
itu, hasil tes virus lainnya seperti virus RSV, influenza (Flu), adenovirus
(Adv), parainfluenza (PIV), bocavirus pada manusia (hBoV) dan metapneumovirus
pada manusia (hMPV) dengan PCR dimasukkan dalam penelitian ini (Cartamil, 2008).
Penelitian ini terdiri dari
tiga protokol yaitu protokol A: real-time RT-PCR protokol yang direkomendasikan
oleh Lu tahun 2008. Primer (forward:
5'-CPX GCC ZGC GTG GC-3 '; sebaliknya: 5'-GAA ACA ACA CGG AAA CCC GTA-3') dan
pemeriksaan (5'-FAM-TCC TCC GGC CCC TGA ATG YGG C-BHQ1 -3 '). Primer forward
meliputi asam nukleat terkunci (LNA) analog (X = LNA-dA, Z = LNA-dT) dan
turunan pirimidin (P adalah basis meniru C / T mix). Protokol ini dilakukan
dengan menggunakan iScript One-Step RT-PCR Kit untuk probe (Bio-Rad, CA, USA):
masing-masing 25 ml campuran reaksi mengandung 12,5 ml 2X campuran reaksi, 0,25
ml 100 M maju dan primer mundur, 0,25 ml dari 10 M penyelidikan, 0,5 ml iScript
reverse transcriptase, 6,25 ml nuklease air gratis, dan 5 ml ekstrak asam
nukleat. Kondisi RT-PCR adalah sebagai berikut: reverse transkripsi awal pada
48 º C selama 10 menit, 95 º C selama 5 menit untuk aktivasi polimerase, dan
kemudian 45 siklus 95 º C selama 15 second dan 55 º C
selama 1 menit, pada Smart Cycler II.
Sedangkan protokol B adalah sebuah adaptasi dari
protokol A. Urutan primer maju adalah: 5'-CYA GCC TGC GTG GC-3 ', menghindari
penggunaan LNA analog dan turunan pirimidin. Reverse primer dan penyelidikan
adalah sama seperti dalam protokol A. Protokol ini dilakukan dengan menggunakan
One-langkah RT-PCR kit (Qiagen) yang mencakup dua enzim (Omniscript dan
Sensiscript) untuk RT dan HotStart Taq DNA polymerase untuk amplifikasi. Kondisi
RT-PCR bersepeda adalah sebagai berikut: reverse transkripsi awal pada 50 º C
selama 30 menit, 95 º C selama 15 menit untuk aktivasi polimerase, dan kemudian
45 siklus 95 º C selama 15 second dan 55 º C selama 1 menit, pada SmartCycler
II (Marcone, 2010). Protokol
HEV; Menggunakan RT-PCR untuk mendeteksi HEV dilakukan pada sampel dengan hasil
discrepant dengan protokol A dan B.
RT-PCR ini menguatkan suatu wilayah dari 306 bp menjadi 311 bp 5'NCR. RT
dilakukan menggunakan reverse transcriptase MMLV dan rekombinan RNasin
ribonuklease inhibitor (Promega, WI, USA), dan DNA polimerase Taq rekombinan
(Invitrogen) untuk PCR amplification.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedua
protokol RT-PCR (A dan B) mampu mendeteksi HRV dalam sampel pernapasan. Dari 67
sampel, 17 responden positif dengan protokol A (25,4%), dan 20 responden
positif dengan protokol B atau sekitar (29,9). Protokol A dan B tidak
mendeteksi virus polio serotipe 1-3, namun kedua protokol mendeteksi 68 Kendali
HEV. Ketika pengujian sampel klinis, 1 dari 17 HRV sampel positif dideteksi
dengan protokol A adalah negatif untuk HRV dengan protokol B, dan kemudian
dikukuhkan sebagai HEV oleh RT-PCR spesifik. Dari 17 sampel positif dideteksi
dengan protokol A, 3 negatif untuk HRV dengan protokol B, tetapi kemudian
dikukuhkan sebagai HRV dengan sekuensing. Tujuh dari 20 sampel positif HRV
dideteksi dengan protokol B negatif untuk HRV dengan protokol A. 7 sampel
kemudian dikukuhkan sebagai HRV dengan Sequencing. Sensitivitas
(SE) dalam penelitian ini adalah 70% dan 87%, masing-masing. Spesifisitas (SP)
adalah 98% untuk protokol A dan 100% untuk protokol B. Kinerja kedua protokol
termasuk SE, SP, PPV dan NPV ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel
2.1 Parameter two real-time RT-PCR untuk HRV
Protocol
|
SE (CI95%)
|
SP (CI95%)
|
PPV (CI95%)
|
NPV (CI95%)
|
ROC Area (CI95%)
|
X2 (1gl)
|
p X2
|
p Bonferroni
|
A
|
69.6 (58.6-80.6
|
97.7 (94.2-100.0)
|
94.1 (88.5-99.8)
|
86.0 (77.7-94.3)
|
0.837 (0.7-0.9)
|
2.05
|
0.153
|
0.458
|
B
|
87.0 (78.9-95.0)
|
100.0 (100.0-100.0)
|
100.0 (100.0-100.0)
|
93.6 (87.8-99.5)
|
0.935 (0.9-1)
|
SE: Sensitivity; SP:
Specificity; PPV: positive predictive value; NPV: negative predictive value;
CI95%: confidence interval 95%
Protokol B lebih baik dilakukan untuk mendeteksi HRV. Namun, tidak ada
perbedaan signifikan secara statistik yang diamati di antara kedua
karakteristik klinis protocols. Karakteristik klinis terkait dengan infeksi HRV
meliputi: ISPA, mengi, bronkiolitis dan pneumonia. Semua pasien positif HRV
memiliki rhinitis, 70% mengalami kesulitan bernapas, dan 30% fever. HRV secara
statistik berhubungan dengan episode mengi berulang, yang diamati pada 10 dari
23 anak (43,5%), dibandingkan dengan 8 dari 44 (18,2%) anak-anak dengan mengi
dan tanpa HRV (p = 0,041). Demam dan bronchiolitis secara statistik lebih
sering di temukan pada pasien HRV. HRV negatif yang terdeteksi selama periode
belajar (Juni sampai November 2007). Dari 67 pasien yang diteliti, 32 pasien
atau sekitar (47,7%) negatif untuk HRV namun positif untuk virus pernapasan
lainnya, dan 12 pasien atau ( 17,9%) negatif untuk virus pernapasan dipelajari.
Frekuensi untuk setiap virus pernapasan ditunjukkan pada tabel berikut ini.
Tabel
2.2 Deteksi virus pada saluran pernafasan pada 67 anak dengan diagnosa ISPA dan
HRV.
Virus pernafasan
|
HRV
positive
n (%)
|
HRV
negative
n (%)
|
Total n (%)
|
RSV
hBoV
hMPV
AdV
Flu
PIV
RSV +
hBoV
hBoV +
hMPV
Negative
Total
(n)
|
0 –
6 (26.1)
3 (13.0)
0 –
0 –
0 –
1 (4.3)
0 –
13 (56.5)
23
|
13 (56.5)
3 (6.8)
4 (0.9)
3 (6.8)
2 (4.5)
1 (2.3)
4 (0.9)
1 (2.3)
12 (27.3)
44
|
14 (28.4)
9 (20.9)
7 (13.4)
3 (4.5)
2 (3.0)
1 (1.5)
5 (1.5)
1 (3.0)
25 (17.9)
67
|
Keterangan: HRV:
human rhinovirus; RSV: respiratory syncytial virus; hBoV: human bocavirus;
hMPV:human metapneumovirus; AdV: adenovirus; Flu: influenza; PIV:
parainfluenza.
6.
Hubungan
agen (bakteri) terhadap kejadian ISPA
Bakteri dapat menyebabkan terjadinya
ISPA secara langsung pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Almasri tahun
2011 di Yunani menyebutkan bahwa Mycoplasma pneumoni merupakan penyebab
umum dari infeksi saluran pernafasan (ISR) terutama
pada anak-anak. Teknik diagnostik
baru yang ditawarkan informasi yang
dapat diandalkan tentang epidemiologi infeksi oleh patogen ini.
Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui prevalensi dan
epidemiologi dari infeksi Mycoplasma
pneumoni akut pada anak-anak
yang dirawat di rumah sakit Yunani.
Penelitian ini melibatkan 225 anak yang dirawat di rumah sakit Yunani selama periode 15
bulan. Metode yang digunakan dengan menggunakan spesimen usap tenggorokan lalu diuji dengan PCR untuk mendeteksi Mycoplasma pneumoni, sedangkan IgG dan IgM
ditentukan dengan metode ELISA.
Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa Infeksi Mycoplasma pneumoni di diagnosis sebagai satu-satunya patogen di 25 kasus atau sekitar (11,1%). Mycoplasma pneumoni adalah agen penyebab kedua Infeksi saluran pernafasan setelah RSV. Proporsi
anak dengan Mycoplasma pneumoni meningkat dengan bertambahnya
usia, sementara sebagian besar kasus
yang dilaporkan selama musim panas
dan musim gugur.
Mycoplasma pneumoni
memainkan peran yang lebih signifikan dalam menyebabkan infeksi saluran pernafasan
(ISR) pada anak. Gambaran klinis infeksi Mycoplasma
pneumoni berbagai macam, termasuk faringitis, tracheobronchitis, sementara
sekitar sepertiga dari pasien yang terinfeksi menderita pneumonia. Namun,
penelitian lain melaporkan bahwa kasus pneumonia merupakan 3-10% dari infeksi,
sedangkan mayoritas adalah sakit pernapasan ringan. Pada anak-anak, Mycoplasma pneumoni menyebabkan hingga 40% atau lebih
penyakit pneumonia dan sebanyak 18% dari kasus harus di rawat di rumah sakit.
Wabah infeksi Mycoplasma pneumoni dapat terjadi
dalam masyarakat atau dalam pengaturan tertutup atau semiclosed, seperti
pangkalan militer, rumah sakit, komunitas keagamaan, dan sekolah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
menyelidiki prevalensi infeksi pernafasan akut bagian atas atau bawah pada
anak-anak yang dirawat di rumah sakit Yunani. Penelitian ini di lakukan untuk
memeriksa temuan klinis yang paling sering terjadi di komunitas dan digunakan
sebagai parameter untuk menentukan usia yang paling terkena dalam kelompok
serta distribusi musiman infeksi Mycoplasma pneumoni.
Responden dari studi prospektif ini dipilih berturut-turut antara anak-anak
yang dirawat di Departemen Pediatri, di Universitas Rumah Sakit Umum
"AHEPA" di Thessaloniki (Yunani Utara) mulai tanggal 1 Mei 2003-1
Agustus 2004. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etnis Rumah
Sakit, dan informed consent dari orang tua diperoleh untuk setiap
pasien. Anak yang menjadi responden dalam penelitian ini dirawat di rumah sakit
untuk gejala infeksi saluran pernafasan. Hanya anak-anak dengan gejala, tanda
dan temuan radiografi konsisten dengan pneumoni atipikal dilibatkan dalam
penelitian ini dengan kelompok pneumoni. Pada pneumoni atipikal X-ray menunjukkan hilus adenopati dan
infiltrat unilateral atau bilateral. Pasien dikeluarkan dari penelitian ketika
ada bukti Streptococcus pneumoniae atau infeksi Streptococcus pyogenes atau
penyakit pernapasan kronis (misalnya fibrosis kistik atau displasia
bronkopulmonalis), dan mereka dengan penyakit lain yang mungkin mempengaruhi
pasien pneumonia. Pasien dengan infeksi nosokomial, tuberkulosis atau mereka
yang telah menerima antibiotik aktif terhadap Mycoplasma
pneumoni juga dikecualikan. Pada pemilihan responden, dokter anak yang
menyelesaikan kuesioner yang berisi data-data responden mengenai usia
responden, tanggal onset penyakit, gejala klinis (malaise, demam ≥ 38 ℃
batuk, produksi sputum), temuan laboratorium, dan potensi adanya penyakit yang
mendasari. radiografi dilakukan dengan menggunakan peralatan standar dan teknik
radiografi, dan ditinjau oleh ahli radiologi dalam format digital. Diagnosis
pneumonia didasarkan pada adanya infiltrat baru pada radiografi dada
(infiltrat, kekeruhan atau konsolidasi tunggal atau ganda), gejala (seperti
menggigil, suara serak, sakit tenggorokan dan nyeri dada), dan temuan
pemeriksaan fisik (rales atau crackles, mengeluarkan bunyi pada auskultasi pada
pernapasan bronkial).
Spesimen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
swab tenggorokan dan spesimen serum yang diperoleh dari pasien, sedangkan
spesimen serum diambil pada 9-24 hari
kemudian sebagian besar setelah keluar dari rumah sakit. Spesimen tenggorokan
dikumpulkan dengan swab viscose, yang ditempatkan dalam tabung 2 ml. Semua
spesimen disimpan pada suhu -20 ℃ sampai pengujian. Kedua spesimen serum serologis
diuji dalam waktu yang sama. Ekstraksi DNA dan PCR untuk Mycoplasma pneumoni DNA
diekstraksi sebanyak 500 ml, lalu spesimen dipekatkan dengan sentrifugasi pada 13.000
X selama 10 menit. Air steril 30 ml ditambahkan hingga tersisa 20 ml. Sampel
kemudian diaduk dan dipanaskan sampai 95 ℃ selama 15 menit. Sebuah alikuot 15μl dari lisat
sampel digunakan untuk amplifikasi PCR. Pasangan primer P1-1 dan P1-3 digunakan
untuk memperkuat sebuah fragmen 209-bp dari P1 adhesin gen 14. Protokol PCR
dioptimalkan di laboratorium. Volume akhir campuran PCR adalah 50 ml dengan 1 x
Taq penyangga (20 mM Tris-HCl dengan [pH
8,4], 50 mM KCl) 2,5 U Taq DNA
polimerase (Invitrogen, USA), 200 M dari setiap dNTP 2,0 mM dari MgCl2,
50 mol primer masing-masing. Teknik PCR adalah sebagai berikut: satu siklus
tiga menit pada 94 ℃ (untuk denaturasi), 35 siklus amplifikasi (satu menit
pada 94 ℃ untuk
denaturasi dan dua menit pada 72 ℃ untuk perpanjangan), dan satu siklus 10 menit pada 72
℃ (untuk
ekstensi akhir). Produk PCR terdeteksi oleh 1,5% elektroforesis gelombang
agarosa dengan pewarnaan etidium bromida. Selain itu,
spesimen pertama darah diuji untuk WBC (Sel Darah Putih), ESR (eritrosit Tingkat
Sedimentasi) dengan metode klasik dan CRP (C-Reactive Protein) oleh
nephelometry. CRP <0 akut="" bukti="" dan="" dianggap="" dl="" esr="" i="" infeksi="" jam="" mg="" mm="" normal.="" normal="" rentang="">Mycoplasma pneumoni0>
didefinisikan ketika PCR
pada spesimen usap tenggorokan positif dan atau IgM ELISA positif, atau IgG
serokonversi, atau signifikan peningkatan titer IgG. Spesimen diuji untuk
mengetahui kemungkinan infeksi oleh Chlamydia pneumoni, Coxiella
burnetti, jenis virus influenza A dan B; parainfluenzavirus jenis 1,2,3, virus
RSV (RSV), dan adenovirus menggunakan ELISA (Virion /serion) menurut instruksi.
Selain itu, PCR untuk deteksi genom coronavirus. Diagnosis serologis infeksi
diketahui ketika titer antibodi IgM atau
IgA (IgA ditentukan hanya untuk parainfluenza virus) berada di atas nilai cut
off yang disediakan oleh peneliti, peningkatan empat kali lipat dalam titer
antibodi IgG dalam spesimen serum diamati.
Analisis statistik SPSS versi 12.0 for windows (SPSS
Inc, Chicago, IL, USA) digunakan yaitu uji eksak Fisher untuk perbandingan
prevalensi infeksi Mycoplasma pneumoniae antara kelompok usia yang berbeda dan
antara musim, t-test (uji sampel independen) untuk perbandingan nilai rata-rata
antara kelompok, dan chi-square dan uji eksak Fisher untuk perbandingan parameter
klinis dan laboratorium antara kelompok. Nilai p <0 14="" 225="" 2="" 3-7="" 37="" 43="" 4="" 74="" 8-14="" 88="" 94="" adalah="" anak="" antara="" atypical="" bulan="" daerah="" dalam="" dan="" dapatkan="" dari="" dengan="" di="" dianggap="" faringitis="" ini="" jumlah="" kisaran="" laki-laki="" penelitian="" pneumonia="" radiografi="" rata-rata="" responden="" sampai="" sedangkan="" sekitar114="" sekitar="" signifikan.="" span="" tahun.="" tahun="" thessaloniki.="" tracheobronchitis="" usia="" yang="">0>
PCR atau tes serologis untuk Mycoplasma pneumoni
positif dengan total 34 responden: PCR positif pada 24 responden dan antibodi
IgM spesifik yang terdeteksi pada 27 responden, sementara serokonversi atau
signifikan peningkatan antibodi IgG pada 7 responden. Infeksi akut Mycoplasma
pneumoni didiagnosis pada 25 (11,1%) responden sesuai dengan kriteria
diagnostik peneliti, sedangkan 9 pasien koinfeksi patogen tambahan dikeluarkan:
5 responden dengan Clamidia pneumoni, 4 responden dengan RSV, 2
responden dengan adenovirus dan 1 responden virus parainfluenza . Tingkat
infeksi pada laki-laki (10,5%) dan pada wanita (11,9%). Infeksi Mycoplasma pneumoni ditemukan
15 responden (13,2%) dari 114 anak dengan pneumonia, 8 responden (10,8%) dari
74 dengan faringitis dan 2 responden (5,4%) dari 37 dengan tracheobronchitis.
Usia anak-anak dengan infeksi Mycoplasma pneumoniae berkisar antara 4 bulan
sampai 12 tahun dengan rata-rata 6,1 tahun. Yang paling terpengaruh adalah
kelompok usia 8-14 tahun (23,3%), dengan sejumlah signifikan lebih tinggi dari
kasus dibandingkan dengan kelompok anak-anak <3 3-7="" 9="" antara="" dan="" dari="" kelompok="" lebih="" namun="" p="0,033)." perbedaan="" signifikan="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tahun="" tidak="" tinggi=""> 3>usia<3 3-7="" dan="" dari="" p="0,344)." sementara="" signifikan="" span="" style="mso-spacerun: yes;" tahun="" tidak=""> 3>
kasus Mycoplasma pneumoni dilaporkan
pada anak <3 3-7="" 8-14="" ada="" anak="" antara="" dalam="" dan="" daripada="" di="" diamati="" ditemukan="" dua="" faringitis="" frekuensi="" itu="" kelompok="" lebih="" mereka="" mycoplasma="" p="0,735).</span" pada="" perbedaan="" pneumonia="" pneumoniae="" proporsi="" secara="" sedangkan="" selain="" semua="" signifikan="" statistik="" tahun.="" tahun="" tidak="" tinggi="" tracheobronchitis="" umur="" usia="" yaitu="" yang="">3>
Tabel 2.3
Distribusi kasus Mycoplasma Pneumoni
berdasarkan kelompok umur
Demam dan batuk adalah gejala yang paling umum sekitar 84%, sementara itu
peningkatan laju endap darah (LED) adalah sekitar 96%. Tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam temuan klinis dan laboratorium pasien yang diamati antara
Mycoplasma pneumoniae dan non-Mycoplasma pneumoni. Namun, frekuensi parameter
klinis dan laboratorium (kecuali CRP) pada anak-anak dengan infeksi Mycoplasma
pneumoni pada usia 3-7 tahun dan 8-14 tahun kelompok usia yang lebih tinggi
(tidak signifikan) dibandingkan kelompok usia <3 span="" tahun.="">3>
Tabel
2.4 Perbandingan klinis dan parameter laboratorium responden
Infeksi Mycoplasma pneumoniae lebih sering (26,7%) selama musim panas, di
mana jumlah kasus yang diamati secara signifikan lebih tinggi daripada di musim
semi (5%, p = 0,005) dan musim dingin (7%, p = 0,004), dan lebih tinggi, tapi
tidak signifikan, dibandingkan di musim gugur (9,8%, 0,029).
DAFTAR PUSTAKA
1.
Almasri
(2011). Mycoplasma Pneumoniae Respiratory Tract Infections
Among Greek Children. Hippokratia
: 147–152.
2. Arikunto, Suharsimin (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta :
Rineka Cipta.
3. Aziz, Hidayat (2010). Metode
Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya : Health Books
Publishing.
4. Calvo
C. (2007). Role of rhinovirus in
hospitalized infants with respiratory tract infections in Spain. Pediatric Infection
Dis J; 26: 904-8.
5. Cartamil
S. (2008). Estudio de dos nuevos virus respiratorios en poblacion pediatrica
con infeccion respiratoria aguda: el metapneumovirus (hMPV)y el bocavirus
(hBoV). Revista Argentina Microbiologia; 40 Supl: 78.
6. Chandra Budiman, (2007). Pengantar
Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Chandra Budiman, (2009). Ilmu
Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
8. Corwin, Elizabeth (2008). Buku Saku
Patofisiologi, ed. 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
9.
Debora
N. (2012). Rhinovirus detection by real-time RT-PCR in children with acute
respiratory infection in Buenos Aires, Argentina. Revista
Argentina de Microbiologia; 44: 259-265
10. Depkes RI. (2000). Informasi
tentang ISPA pada Balita. Jakarta: Pusat Kesehatan Masyarakat Depkes RI.
11. Depkes RI. (2004). Pedoman Program
Pemberantasan Peneumonia Pada Balita. Jakarta : Direktorat Jendral
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pemukiman.
12. Depkes RI. (2012). Buletin Jendela
Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI.
13. Dinkes Kab. Jombang. (2010). Kondisi
Geografis Kecamatan Mancar Tahun 2010. Jombang : Bidang Yankesmas
Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.
14. Djaja S, dan Afifah T. (2001). Determinan
Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Balita. Buletin Penelitian Kesehatan. 29:1-10.
15. Erlien (2008). Penyakit Saluran
Pernapasan. Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka.
16. Kartasasmita CB. (2010). Morbiditas dan
Faktor Risiko ISPA pada Balita di Indonesia. Majalah Kedokteran Jakarta.
25:135-142.
17. Keman S. (2004). Pengaruh Lingkungan
Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1: 30-43.
18. Narbuko, Cholid (2010). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Bumi Aksara
19. Nastiti Rahajoe, dkk. (2008). Buku
Ajar Respirologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
20. Nindya TS dan Sulistyorini L. (2005).
Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2:43-52.
21. Notoadmodjo, Soekidjo (2002). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
22. Notoadmodjo, Soekidjo (2005). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
23. Nursalam (2003). Konsep dan
Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
24. Nursalam (2009). Konsep dan
Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan
Instrument Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.
25. Nursalam dan Siti pariani (2008). Pendekatan
Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
26. Ranuh IGN. (1997). Masalah ISPA dan
Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya: Continuing Education Ilmu Kesehatan
Anak.
27. Saryono (2010). Metodologi
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia.
28. Savolainen
C. (2003). Human rhinoviruses.
Pediatric Respiratory. Rev 2003; 4: 91-8.
29. Setiadi (2007). Konsep dan
Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
30. Sugiono (2000). Statistika Untuk
Penelitian. Bandung : Alfabet.
31. Sugiyono (2009). Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta.
32. Suryo, Joko (2010). Herbal
Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka.
33. Sylvia, Price A. (2005). Patofisiologi
: Konsep Klinis proses – proses Penyakit ; Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
34.
Tambayong Jan (1999). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit buku Kedokteran EGC.
35. Wasis (2008). Pedoman Riset Praktis
untuk Profesi Perawat. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
36. Yusuf NA dan Sulistyorini L. (2008).
Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada anak
Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.1:110-119.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar