Jumat, 23 September 2011

LIMA IMUNISASI DASAR LENGKAP (LIL)

Dr. Suparyanto, M.Kes

LIMA IMUNISASI DASAR LENGKAP (LIL)

PENGERTIAN
  • Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu. (Proverawati, 2010)
  • Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhada penyakit tertentu. (Alimul, 2009)

TUJUAN IMUNISASI
  • Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit. (Proverawati, 2010)
  • Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. (Alimul, 2009)

MANFAAT IMUNISASI

1. Untuk Anak
  • Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian.
2. Untuk Keluarga
  • Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
3. Untuk Negara
  • Memperbaiki tingkat kesehatan, mrnciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. (Proverawati, 2010)

JENIS IMUNISASI

1.Imunisasi Aktif
  • Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak.
  • Dalam imunisasi aktif terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu :
  1. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan, eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.
  2. Pengawet/stabilisator, atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa atau antibiotik yang biasa digunakan.
  3. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya telur, protein serum, bahan kultur sel.
  4. Adjuvan, terdiri dari garam aluminium yang berfungsi meningkatkan sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi peningkatan antibodi tubuh.
2.Imunisasi Pasif
  • Merupakan suatau proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara memberikan zat immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapatkan bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi mikroba sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi. 
  • Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah plasenta selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak. (Proverawati, 2010)

JENIS VAKSIN LIMA IMUNISASI LENGKAP

1. BCG
  • Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG. TBC yang berat contohnya adalah TBC pada selaput otak, TBC milier pada seluruh lapangan paru, atau TBC tulang. Vaksin BCG merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan. 
  • Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 dosis sejak lahir sebelum umur 3 bulan. Vaksin BCG diberikan melalui intradermal/intracutan. Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis, dan reaksi panas.
2. Hepatitis B
  • Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis B. kandungan vaksin ini adalah HbsAg dalam bentuk cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 dosis. Imunisasi hepatitis ini diberikan melalui intramuscular.
3. Polio
  • Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi polio adalah 4 dosis. Imunisasi polio diberikan melalui oral.
4. DPT
  • Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya, namun masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). 
  • Frekuensi pemberian imuisasi DPT adalah 3 dosis. Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui intramuscular. 
  • Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, encephalopathy, dan syok.
5. Campak
  • Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah 1 dosis. Imunisasi campak diberikan melalui subkutan. Imunisasi ini memiliki efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas. (Alimul, 2009)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMUNISASI

1. Status imun penjamu
  1. Adanya antibodi spesifik pada penjamu keberhasilan vaksinasi, misalnya: (1.Campak pada bayi; 2.Kolostrum ASI – Imunoglobulin A polio)
  2. Maturasi imunologik : neonatus fungsi makrofag, kadar komplemen, aktifasi optonin.
  3. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen kurang, hasil vaksinasi ditunda sampai umur 2 tahun.
  4. Cakupan imunisasi semaksimal mungkin agar anak kebal secara simultan, bayi diimunisasi.
  5. Frekuensi penyakit : dampaknya pada neonatus berat imunisasi dapat diberikan pada neonatus.
  6. Status imunologik (seperti defisiensi imun) respon terhadap vaksin kurang.
2. Genetik
  • Secara genetik respon imun manusia terhadap antigen tertentu baik, cukup, rendah. Keberhasilan vaksinasi tidak 100%.
3. Kualitas vaksin
  1. Cara pemberian. Misalnya polio oral, imunitas lokal dan sistemik.
  2. Dosis vaksin (1.Tinggi hambatan respon, menimbulkan efek samping; 2.Jika rendah, maka tidak merangsang sel imunokompeten)
  3. Frekuensi pemberian. Respon imun sekunder Sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, afinitas lebih tinggi. Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, sedangkan antigen dinetralkan oleh antibodi spesifik maka tidak merangsang sel imunokompeten.
  4. Ajuvan (1.Zat yang meningkatkan respon imun terhadap antigen; 2.Mempertahankan antigen agar tidak cepat hilang; 3.Mengaktifkan sel imunokompeten)
  5. Jenis vaksin. Vaksin hidup menimbulkan respon imun lebih baik.
  6. Kandungan vaksin (1.Antigen virus; 2.Bakteri; 3.Vaksin yang dilemahkan seperti polio, campak, BCG.; 4.Vaksin mati : pertusis.; 5.Eksotoksin : toksoid, difteri, tetanus.; 6.Ajuvan : persenyawaan aluminium.; 7.Cairan pelarut : air, cairan garam fisiologis, kultur jaringan, telur.)

FAKTOR YANG DAPAT MERUSAK VAKSIN DAN KOMPOSISI VAKSIN
  1. Panas dapat merusak semua vaksin.
  2. Sinar matahari dapat merusak BCG.
  3. Pembekuan toxoid.
  4. Desinfeksi / antiseptik : sabun. (Marimbi, 2010)

TATACARA PEMBERIAN IMUNISASI
  • Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan dianjurkan mengikuti tata cara seperti berikut:
  1. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi.
  2. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
  3. Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
  4. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang akan diberikan.
  5. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
  6. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.
  7. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadaluarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
  8. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) bila diperlukan.
  9. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi penerima vaksin.
  10. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut:
  • Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh, apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
  • Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
  • Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang P2M.
  • Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

  • Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pelaksanaannya dapat bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas yang berpegang pada prinsip-prinsip higienis, surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi harus dikerjakan.
1. Penyimpanan
  • Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8oC dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT dan hepatitis B) menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (polio) dapat disimpan dalam keadaan beku.
2. Pengenceran
  • Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.
3. Pembersihan Kulit
  • Tempat suntikan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan namun apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.
4. Pemberian Suntikan
  • Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu polio diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal.
5. Teknik dan Ukuran Jarum
  • Para petugas yang melaksanakan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan trauma akibat suntikan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada laternatif vaksin dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntikkan tidak boleh dipakai lagi mengambil vaksin. 
  • Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
  • Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam.

  • Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut :
  1. Pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm.
  2. Untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dapakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm.
  3. Untuk suntikan intradermal pada vaksin BCG dipakai jarum ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm.

6. Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
  • Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 45o sampai 60o ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid (lengan atas). Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90o. pada suntikan dengan sudut jarum 45o sampai 60o akan mengalami hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.
7. Tempat Suntikan yang Dianjurkan
  • Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.
  • Daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghindari risiko kerusakan saraf ischiadica (nervus ischiadicus). Risiko kerusakan saraf ischiadica akibat suntikan didaerah gluteus lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan tidak sengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat.
  • Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya keloid.
8. Posisi Anak dan Lokasi Suntikan
  • Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko kerusakan saraf, pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik, walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka memahami apa yang sedang dikerjakan.
  • Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah :
  1. Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadica pada suntikan daerah gluteal.
  2. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat.
  3. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal.
  4. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di tempat suntikan yang menahun.
  5. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

9.Vastus Lateralis, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan
  • Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 45o-60o terhadap permukaan kulit, dengan jarum kearah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas (ke arah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.
  • Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayi harus dibuka bila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikan, bila tidak demikian vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.
  • Lokasi suntikan pada vastus lateralis :
  1. Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang.
  2. Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut.
  3. Cari trochanter mayor femur dan condylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas).
  4. Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas batas tersebut.

10. Deltoid, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan
  1. Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.
  2. Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementara lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh.
  3. Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman dan berhasil.
  4. Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar dan meningkatkan risiko penetrasi saraf.
  • Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromnion dari insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromnion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.

11.Pengambilan Vaksin dari Botol (Vial)
  • Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.

12. Penyuntikan Subkutan
  • Perhatian untuk suntikan subkutan :
  1. Arah jarum 45o terhadap kulit.
  2. Cubit tebal untuk suntikan subkutan.
  3. Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan.
  4. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.

13. Penyuntikan Intramuscular
  • Perhatian untuk penyuntikan intramuskular :
  1. Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot.
  2. Suntik dengan arah jarum 45o-60o, lakukan dengan cepat.
  3. Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukkan.
  4. Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru.
  5. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.

14. Pemberian Dua atau Lebih Vaksin pada Hari Yang Sama
  • Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, hepatitis B, dan polio.
  • Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda. (IDAI, 2008)

JADWAL IMUNISASI

1.BCG
  1. Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. namun dianjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan.
  2. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun).
  3. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
  4. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah komplikasinya.
  5. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2.Hepatitis B
  1. Imunisasi hepatitis B-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.
  2. Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepatitis B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapatkan respon imun optimal, interval imunisasi hepatitis B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
  3. Departemen kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepatitis B-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepatitis B pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin hepatitis B diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepatitis B-3 yang masih rendah.
  4. Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi hepatitis B dengan jadwal 3 kali pemberian.
3. DPT
  1. Imunisasi DPT primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DPT-1 diberikan pada umur 2 bulan, DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan.
  2. Dosis DPT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.
  3. Vaksin DPT dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DPT/Hepatitis B dan DPT/IPV.

4. Polio
  1. Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio -1, 2, dan 3. (1.OPV, hidup dilemahkan, tetes, oral.; 2.IPV, in-aktif, suntikan.)
  2. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi.
  3. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
  4. OPV diberikan 2 tetes per-oral.
  5. IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri atau dalam kemasan kombinasi (DPT/IPV).

5. Campak
  • Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan dalam, pada umur 9 bulan. (IDAI, 2008)

KONTRAINDIKASI IMUNISASI
  1. Analfilaksis atau reaksi hipersensitifitas yang hebat merupakan kontraindikasi mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat kejang demam dan panas lebih dari 38oC merupakan kontraindikasi pemberian DPT, hepatitis B-1 dan campak.
  2. Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tanda dan gejala AIDS, sedangkan vaksin yang lain sebaiknya diberikan.
  3. Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi kepada bayi yang sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi mintalah ibu kembali lagi ketika bayi sudah sehat. (Proverawati, 2010)

MITOS-MITOS IMUNISASI
  • Usia dan pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pemberian imunisasi akibat kurangnya pemahaman terhadap imunisasi. Dan di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah mengenai imunisasi. Tidak jarang dijumpai orang tua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai alasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofis tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah.
  • Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu ditanggapi secara aktif. Apabila orang tua mendapat jawaban akurat dan informasi yang benar, maka orang tua dapat membuat keputusan yang benar tentang imunisasi. (IDAI, 2008)
  • Mitos-mitos imunisasi yang sering dijumpai :
1. Vaksin MMR (meales, mumps dan rubella) bisa menyebabkan anak autis.
  • Tidak ada hubungan antara vaksin MMR dengan perkembangan autis, ini sudah dibuktikan melalui penelitian ilmiah. Biasanya gejala autis pertama kali terlihat saat bayi berusia 12 sampai 18 bulan, dimana hamper bersamaaan dengan diberikannya vaksin MMR. Kebanyakan autis disebabkan oleh faktor genetik, jadi jangan takut untuk memberikan vaksin MMR pada anak.
2. Terlalu banyak vaksin akan membebani system imun.
  • Mitos ini tidak benar, karena meskipun jumlah suntikan vaksin meningkat tapi jumlah antigen telah menurun. Selain itu sistem imun manusia memberikan respon terhadap ratusan antigen dalam kehidupan setia hari. Berbagai penelitian tidak memperlihatkan meningkatnya penyakit infeksi setelah adanya imunisasi.
3. Lebih baik memberi natural infeksi dibandingkan dengan vaksinasi.
  • Mitos ini tidak benar. Suatu penyakit bisa mengakibatkan kematian serta kecacatan yang permanen, dan dengan melakukan vaksinasi dapat memberikan perlindungan tanpa efek samping yang berat.
4. Sesudah imunisasi tidak akan tertular penyakit tersebut.
  • Tidak ada vaksinasi yang memberikan perlindungan terhadap suatu penyakit secara 100%. Bayi atau anak yang telah melakukan imunisasi masih ada kemungkinan yang sangat kecil untuk bisa tertular penyakit tersebut, namun akan jauh lebih ringan dibandingkan dengan anak yang tidak diimunisasi. Sehingga kemungkinan untuk bisa sembuh jauh lebih besar.
5. Imunisasi dapat menyebabkan penyakit yang seharusnya dicegah dengan vaksin tersebut.
  • Hal ini tidak benar, mustahil anak memperoleh penyakit dari imunisasi yang dibuat dari kuman mati atau dilemahkan. Imunisasi yang dibuat dari kuman hidup dan dilemahkan termasuk imunisasi campak, Gabak (rubella), gondong, cacar air, BCG dan polio.
6. Imunisasi sepertinya tidak efektif 100%, sia-sia saja anak diberlakukan imunisasi.
  • Fakta : jarang ada keberhasilan 100% di dunia kesehatan. Namun, kini imunisasi yang diberikan 85-99% berhasil merangsang tubuh membuat antibodi. Lebih baik bayi menangis 1 menit karena disuntik imunisasi daripada anak meninggal karena difteri, tetanus, campak atau penyakit lain dalam kategori imunisasi.
7. Mungkin anak akan menderita reaksi terhadap imunisasi yang menyakiti.
  • Reaksi umum terhadap imunisasi ringan saja seperti demam, kemerahan dan rasa sakit pada tempat suntikan, ruam ringan. Jarang sekali terjadi kejang-kejang atau reaksi alergi berat.
8. Anak tidak perlu imunisasi asalkan dia sehat, aktif, dan makan cukup banyak yang bergizi.
  • Imunisasi diberikan untuk menjaga anak tetap sehat, bukan memberi sehat. Tujuan imunisasi adalah melindungi tubuh sebelum diserang penyakit. Saat yang paling tepat memberikan vaksin adalah saat anak sehat.
9. Pada seri vaksinasi, apabila seri satu kali terlambat, seri harus dimulai lagi dari semula.
  • Hal ini tidak benar. Kalau anak tidak diberi vaksinasi pada saat dijadwalkan, memang dia kurang dilindungi terhadap penyakit. Akan tetapi seri vaksinasi tidak perlu diulang dari semula. Vaksinasi yang terlambat diberi saja dan jadwal dimulai lagi dari tahap itu, bukan dari semula.
  • Oleh karena itu, jangn langsung percaya terhadap semua kabar burung yang beredar mengenai imunisasi, sebaiknya cari tahu penjelasannya melalui situs-situs ilmiah di internet atau berkonsultasi dengan dokter. (Proverawati, 2010)

DAFTAR PUSTAKA

  1. Arikunto, Suharsimi.2006.Prosedur Penelitian.Jakarta:Rineka Cipta.
  2. Dinkes Jombang.2007. Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Ditingkat Pelayanan Dasar.Jombang:Dinkes Jombang.
  3. Dinkes Jombang, SE.2010.Laporan UCI Kumulatif Tahun 2010 Kabupaten Jombang.Jombang:Dinkes Jombang.
  4. Djiwandono, Sri Esti Wuryani.2005.Konseling dan Terapi Dengan Anak dan Orang Tua.Jakarta:PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
  5. Hidayat, A. Aziz Alimul.2009.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.Jakarta:Salemba Medika.
  6. Hidayat, A. Aziz Alimul.2010.Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data.Jakarta:Salemba Medika.
  7. IDAI.2008.Pedoman Imunisasi Di Indonesia.Jakarta:Satgas Imunisasi.
  8. Kumala, Poppy.1998.Kamus Saku Kedokteran Dorland.Jakarta:EGC
  9. Mansur, Herawati.2009.Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan.Jakarta:Salemba Medika.
  10. Marimbi, Hanum.2010.Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada Balita.Yogyakarta:Nuha Medika.
  11. Nasir.2005.Metode Penelitian.Jakarta:Ghalia Indonesia.
  12. Nasir.2009.Metode Penelitian.Jakarta:Ghalia Indonesia.
  13. Nursalam. 2008.Asuhan Keperawatan Bayi dan anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika
  14. Nursalam.2009.Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta:Salemba Medika.
  15. Proverawati, Atikah.2010.Imunisasi dan Vaksinasi.Yogyakarta:Nuha Offset.
  16. Puskesmas Cukir, KIA.2010. Laporan Uci Kumulatif Perdesa Tahun 2010.Jombang:Puskesmas Cukir.
  17. Saryono.2010.Metodologi Penelitian Kesehatan Penuntun Praktis Bagi Pemula.Jogjakarta:Mitra Cendikia.
  18. Sudayasa, Putu.2010.Latar Belakang Program Imunisasi. http://imunisasihsu.wordpress.com
  19. Sugiono.2006.Metode Penelitian Administrasi.Bandung:Alfabeta.



4 komentar: