Senin, 14 Oktober 2013

KRISIS KELUARGA

Dr. Suparyanto, M.Kes


KRISIS KELUARGA

2.2  Krisis Keluarga
2.2.1 Pemahaman tentang Krisis
Kata “krisis” adalah kata yang sering kita dengar di mana-mana. Krisis moneter Indonesia, krisis keuangan global, krisis Timur Tengah adalah sebagian istilah yang sering digunakan akhir-akhir ini. Memang semua orang dan semua institusi mengalami krisis dalam proses kehidupannya, termasuk juga keluarga.
Krisis keluarga merupakan salah satu dampak negatif era globalisasi yang cenderung sedang berkecamuk saat ini. Seperti kondisi keluarga di Barat yang setiap hari semakin mengkhawatirkan. Para psikolog, sosiolog, dan bahkan para pakar politik turut memberikan perhatian mereka kepada dampak-dampak akibat krisis keluarga ini. Karena keruntuhan atau kelemahan keluarga akan memberikan dampak negatif kepada masyarakat dan bangsa. Karena itu penting bagi kita untuk mengenal apa itu krisis dalam keluarga, serta bagaimana cara mengatasinya.
2.2.2 Macam – macam krisis dalam keluarga
1.  Krisis Keluarga karena perceraian
Organisassi  wanita se-Asia Fasifik(Pan Pacific South East AsiaWomen’s Asosiation.PPSEAWA) dalam konferensinya yang ke-20 di Kuala Lumpur Malayasia, menyimpulkan  bahwa Kerusakan yang terjadi dalam keluarga di abad 20 semakin memburuk. Perceraian dan perpisahan menempati posisi tertinggi. Malah di perkirakan  sekitar  40%-50% generasi mendatang akan menjadi keluarga yang broken home akibat perceraian orang tuanya atau mereka yang hanya  mempunyai orang tua tunggal(Single Parent).
Hasil  penilitian dari beberapa ahli, seperti, Mc. Demott. Moorison, Offord dkk, Sugar,Westmen & kalter (Adam & Gullota, 1983:253:254)yaitu bahwa remaja yang orang tuanya bercerai, cenderung menunjukan ciri-cri: berperilaku nakal, mengalami despresi, melakukan hubungan seksual secara  aktif dan kecenderungan terhadap obat-obatan terlarang.

2.  Krisis keluarga karena perselingkuhan
Perselingkuhan yang terjadi  antara suami istri sebenarnya tidak terlepas dari urusan pribadi masing-masing. Perlu di sadari bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang mempunyai karakter dan temperamen  yang sangat berbeda satu sama lain. Sebagai hasil pembentukan dari pola asuh orang tua di masa lalu, pengaruh lingkungan, dan juga unsur genetika ( keturunan).
Di Amerika Serikat di sebutkan 75%  para suami selingkuh dan 40% para istri juga selingkuh, dalam 5 tahun pertama dari 5 perkawinan, 3 berakhir dengan perceraian. Dalam 3 dekade terakhir ini 70% perkawinan di AS berakhir dengan perceraian. Melihat angka-angka ini banyak pria dan wanita memilih hidup bersama tanpa menikah, dan kalau terjadi perpisahan tidak ada resiko dari segi hukum.
Sementara itu, di kalangan pria bekerja, di dapatkan data bahwa empat dari lima pria-pria yang di survei pernah berselingkuh hingga tahapan berhubungan intim
Akibat perselingkuhan sepanjang tahun 1986 saja di Indonesia, telah tercatat angka perceraian mencapai angka 2% dari 140.000(2800 perceraian ).

3.  Krisis keluarga karena perkawinan  antar agama
Perkawinan antar agama sering terjadi, khususnya di Negara indonesia, agar perkawinan bisa berlangsung, maka di lakukan ‘kompromi semu’ dengan jalan misalnya : pada suatu saat suami ikut/ masuk agama istri dan kawin secara agama istrinya. Dan di saat yang lain istri/ikut masuk agama suami dan kawin dengan tata cara  agama suami dan juga sering di lanjutkan di  kantor Catatan  sipil. Namun,  dalam perjalanan perkawinan selanjutnya suami atau istri berbalik kembali  memeluk  agama semula yang di anutnya.
Perbedaan agama dalam perkawinan, dapat merupakan stesor psikososial  untuk terjadinya terjadinya berbagai bentuk konflik (krisis) kejiwaan. Yang pada akhirnya sulit terwujudnya keluarga yang sehat dan bahagia. (Dadang H. 2006:101 & 103).

4.  Krisis  Keluarga Karena Perkawinan Antar Warga Negara
Yang dimaksud dengan perkawinan antara warga Negara adalah perkawinan antar seorang yang berwarganegara Indonesia (WNI) dengan orang yang berwarna Negara asing.
Selanjutnya  Dadang  menyampaikan permasalahan -permasalahan yang timbul akibat perkawinan antara WNI  dan WNA yang berkecenderungan berdampak krisis dalam keluarga. Di antaranya adalah sebagai berikut:
*             Latar belakang social yang berbeda.
*             Hukum perkawinan yang berlaku di negeri asalnya berbeda.
*             Motif pria WNA.
*             Wanita WNI lemah dalam hukum.
*             Indonesia menganut asas ius sanguinis partikal.
*             Motif tindak kejahatan.

5.  Krisis keluarga  karena perkawinan Siri (di bawah tangan )
Belakangan ini terjadi pergesekan makna suci pernikahan. fenomena ini di tandai dengan mareknya prosesi pernikahan siri atau nikah di bawah tangan. Meski sah menurut agama namun pernikahan secara sembunyi-sembunyi tidak ada perlindungan hukum perkawinan(tidak ada buku nikah).
Dampak negatif dari pernikahan sirih dapat menimbulkan krisis identitas keluarga, terutama yang menyangkut hak-hak kaum wanitanya. Disamping itu pengakuan yang pernah dan utuh bagi sang anak dan keturunannya.

6.  Krisis keluarga karena perkawinan mengalami penyimpangan seksual
Penyimpangan social merupakan perilaku abnormal yang terkait dengan pemuasan seksualnya. Yang berdampak kepada perilaku suami (maladjusted), karena sering merintangi penyesuaian personal dan sosial.

Tipe-tipe penyimpangan seksual
v   Sadisme, adalah cara seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti lawan jenisnya.
v   Masochisme, adalah sebaliknya dari sadisme yaitu cara memperoleh kepuasan sex yang dilakukan seseorang melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
v   Homosex (pria dengan pria),dan lesbiansme (wanita dengan wanita), merupakan masalah identitas social di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya sama.
Secara pesikologis , perilaku homo sex, tersebut merupakan hasil belajar melalui conditioning atau pembiasan pada awal kehidupan, atau terjadi sebagai akibat dari kekeliruan  hubungan dalam keluarga atau perlakuan orang tua patologis.
2.2.3. Reaksi keluarga dalam menghadapi Krisis Keluarga
Dalam hal menghadapi krisis keluarga, reaksi anggota keluarga bisa berbeda-beda, yang sering menimbulkan dinamika yang baru, atau bahkan krisis susulan.
Bisa juga anggota keluarga memiliki reaksi yang sama dalam menghadapi krisis, baik secara negatif maupun secara positif.
Beberapa contoh reaksi yang muncul dalam mengahadapi krisis keluarga:
a.     Reaksi negatif yang umum
§   Menyalahkan atau mencari kambing hitam, mungkin pada diri sendiri, kepada anggota keluarga yang lain, orang luar atau bahkan kepada Allah
§   Menyangkal: Merasa tidak ada masalah, atau berpura-pura tidak ada masalah, mungkin karena takut dianggap gagal atau jelek oleh orang lain
§   Mengeraskan hati: Mengakui keberadaan masalah, namun berusaha menguatkan diri dengan cara yang negatif, bahkan menolak untuk mencari pertolongan ketika tidak dapat menghadapi krisis tersebut
§   Melupakan masalah: Mengakui keberadaan masalah dan kemudian berusaha untuk menghilangkannya dari pikiran
§   Mengabaikan atau meremehkan masalah: Mengakui keberadaan masalah, namun mengecilkan arti atau pengaruhnya dalam hidup.
§   Melarikan diri dari masalah: Beberapa orang lari dari masalah dengan melakukan hal-hal tertentu, yang sering membawa masalah yang baru. Beberapa lagi lari ke fantasi atau penyakit. Beberapa orang yang lain justru berusaha menjauhkan diri dari orang-orang lain.
§   Bertumpu pada satu reaksi tertentu. Beberapa orang hanya memiliki reaksi emosionil yang terbatas, misalnya ketika ia takut, sedih, khawatir, kecewa atau frustasi, yang menjadi reaksi hanyalah marah.

b.     Reaksi yang positif
§   Mengakui keberadaan krisis, dampak dan emosi-emosi yang ditimbulkan oleh krisis tersebut: Terbuka di hadapan diri sendiri, orang lain dan Tuhan.
§   Secara obyektif berusaha memahami krisis tersebut dan memisahkan mana yang tanggung jawab pribadi, mana yang tanggung jawab bersama, mana hal yang berada di dalam kendali dan di luar kendali
§   Secara realistis dan bertahap mencari jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi
§   Belajar dan berusaha untuk fleksibel dan beradaptasi dengan perubahan yang ada.
§   Berkomunikasi: Mencari dukungan dan pertolongan dari luar, apalagi untuk hal-hal yang di luar kemampuan diri

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi Krisis Keluarga
Ada beberapa hal yang mempengaruhi reaksi-reaksi tersebut, antara lain:
*      Tingkat kedewasaan orang: yang berhubungan dengan keterampilannya mengatasi emosi dan tekanan
*      Pemahaman tentang krisis itu sendiri: bagaimana seseorang melihat krisis
*      Pengalaman selama ini ketika menghadapi krisis: bagaimana keberhasilan atau kegagalannya selama ini ketika menghadapi krisis, yang akan mempengaruhi baik keterampilannya maupun kepercayaan dirinya.
*      Keterampilan dalam memecahkan masalah: yaitu kemampuan mencari jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi
*      Adanya sumber daya yang mendukung: misalnya pelatihan, konseling, teman-teman, buku-buku dll.


2.2.5 Langkah-langkah dalam menghadapi Krisis keluarga
Ada beberapa langkah yang secara umum dilakukan agar dapat menangani krisis dalam keluarga secara maksimal. Langkah-langkah ini berlaku secara umum dan perlu diketahui baik oleh mereka yang sedang mengalami krisis, maupun orang yang ingin menolong keluarga yang sedang dilanda krisis. Langkah-langkah ini juga hanya bersifat panduan, dan tidak harus terjadi secara berurutan. Langkah-langkah dalam menghadapi krisis keluarga antara lain:
1.     Pengakuan dan Pengenalan akan krisis
Penting bagi seluruh keluarga untuk secara bersama-sama mengetahui keberadaan krisis. Sangat berat bagi anggota keluarga yang mau keluar dari krisis, tapi ada anggota lain yang tidak peduli, tidak tahu, atau menyangkal keberadaan krisis. Keluarga juga perlu seobyektif mungkin untuk mengenali apa sebenarnya yang menjadi sumber krisis tersebut. Dan bukan untuk saling menyalahkan, namun lebih ke arah mencari sebab-sebab dari krisis tersebut.

2.     Mencari dukungan
Keluarga juga serealistis mungkin mencari dukungan dari luar. Ada beberapa alasan seseorang membutuhkan dukungan dari luar:
*        Kondisi krisis didefinisikan sebagai kondisi yang dialami yang tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang biasa dilakukan. Artinya memang ada masalah dalam mengatasi kondisi yang terjadi karena ada sesuatu yang baru terjadi, dan mungkin membutuhkan orang lain untuk bisa keluar dari situasi yang baru ini.
*        Keluarga yang sedang berada di dalam krisis, kemungkinan besar tidak bisa melihat secara obyektif apa yang menjadi masalah maupun sumber masalah. Beberapa anggota keluarga mungkin terlalu stress dan tegang untuk berpikir secara jernih. Beberapa yang lain mungkin lebih terfokus dalam menyalahkan dan bukan mencari jalan keluar. Mungkin ada yang lebih tertarik untuk menyelamatkan diri sendiri, dan mengabaikan kepentingan keluarga. Karenanya penting agar ada orang luar yang dapat melihat situasi dengan lebih jernih.
*        Dukungan juga dibutuhkan karena kemungkinan seseorang yang sedang mengalami masalah sedang menderita tekanan batin dan emosional yang besar. Mungkin akan membutuhkan orang lain yang bisa menjadi tempat mencurahkan hati dan mengeluarkan uneg-uneg atau apa yang dirasakan. Meskipun juga perlu berhati-hati untuk melibatkan orang luar dalam masalah keluarga. Karena terkadang keberadaan orang luar justru malah menambah masalah. Atau mereka sebenarnya tidak kompeten untuk membantu. Atau masalah yang terjadi terlalu sensitif untuk diketahui oleh orang luar. Karena itulah penting bagi anggota keluarga untuk memiliki komunitas yang aman, dan terlebih lagi mau berdoa bersama-sama untuk menghadapi masalah.

3.     Melihat prioritas tindakan
Sering ketika ada masalah atau krisis terjadi ada tindakan yang harus diambil, dan hal itu harus terjadi dalam waktu yang singkat atau mendesak. Jika seseorang belum mengenali masalahnya secara obyektif, maka akan kesulitan untuk mengambil keputusan. Ada beberapa hal yang harus dicermati:
·           Periksa mana yang bersifat darurat
Ada hal-hal yang harus ditangani sedini mungkin dan kalau tidak terjadi dapat mengakibatkan krisis yang semakin berkepanjangan. Misalnya ada anggota keluarga yang sedang depresi berat dan sedang merencanakan bunuh diri. Dalam hal ini anggota keluarga yang lain mungkin harus meninggalkan semua pekerjaan dan mencari solusi untuk masalah ini.

·           Periksa hal-hal yang prinsipil atau dianggap prinsipil yang tidak boleh diganggu gugat.
Ketika masalah terjadi, sering ada rambu-rambu yang (menurut seseorang) tidak boleh dilewati, atau ada juga kebiasaan (ritual) yang harus dilakukan. Misalnya ada kehamilan di luar nikah, dan orang tua berprinsip : tidak boleh menikah dengan orang tidak seiman. Atau ada masalah keuangan, dan ada yang berprinsip : tidak boleh rumah yang ditempati ini dijual, karena ini warisan, dll. Sering hal-hal yang dianggap prinsipil akan menjadi sumber pertengkaran di dalam menghadapi masalah. Penting bagi seseorang untuk merumuskan mana yang prinsipil dan mana yang tidak.

·           Periksa mana yang bersifat sementara atau berlangsung lama/seterusnya.
Perlu melihat apakah masalah yang sedang terjadi bersifat sementara, atau berlangsung terus. Tindakan yang harus diambil pun tentu akan berbeda. Jika terjadi krisis karena kepala keluarga meninggal, tentu kita tidak bisa mengharapkan bahwa almarhum akan memenuhi kebutuhan keluarga seterusnya (walau mungkin ada pensiun). Tapi jika krisis yang terjadi adalah karena seorang remaja yang sedang kehilangan kepercayaan diri, tentu harus disikapi dengan cara yang berbeda.

4.     Mencari alternatif solusi atau pilihan-pilihan
Sering mereka yang sedang mengalami krisis terpaku dengan solusi tertentu, mungkin yang berasal dari pengalaman pribadi (dulu), atau berdasarkan saran orang lain yang pernah mengalami peristiwa yang mirip atau serupa. Namun yang sering terjadi krisis menuntut perubahan yang berbeda, karena ini merupakan masalah yang tidak bisa ditanggulangi oleh cara-cara biasa. Dalam hal ini memang seseorang diminta untuk bersikap lebih kreatif, terbuka pada ide-ide baru, dan mau memberi waktu untuk memeriksa pilihan-pilihan yang dimiliki.
Dalam hal ini perlu anggota keluarga duduk bersama dan membicarakan pilihan-pilihan dan alternatif solusi yang ditawarkan. Tidak semua pilihan itu akan diterima oleh semua pihak. Karenanya penting untuk berkepala dingin dan berdiskusi dengan sehat agar dapat melihat pilihan-pilihan yang ada dengan lebih sehat.

5.     Membuat perubahan secara fleksibel
Krisis terjadi karena ada perubahan dalam situasi yang tidak tertanggulangi, dan biasanya menuntut perubahan dalam kehidupan sebelum krisis itu bisa tertangani. Artinya krisis memang menuntut perubahan. Namun dalam melakukan perubahan seseorang perlu melakukannya dengan cara yang sehat.

6.     Fokus dalam memecahkan masalah

7.     Membangun keluarga yang tahan krisis
Membangun keluarga yang tahan krisis dimulai dari membangun karakter orang-orang di dalam keluarga, serta mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik bersama-sama. Lewat karakter dan kebiasaan yang baik inilah, keterampilan menghadapi krisis dibangun.
Berikut adalah beberapa keterampilan dan kebiasaan baik yang perlu dibangun dalam keluarga. Ini adalah hal-hal yang penting dimiliki keluarga yang sehat :
Ø  Memiliki jalur komunikasi yang baik
Perlu dibiasakan agar tiap anggota keluarga bisa terbuka satu sama lain, dan bisa berkomunikasi dengan cara-cara yang baik satu sama lain. Riset mengatakan bahwa hal yang paling merusak keluarga adalah komunikasi yang tidak sehat.

Ø  Memiliki kebersamaan
Perlu ada kebersamaan dalam nilai, tujuan dan interaksi satu sama lain. Ini dibangun dengan melakukan kegiatan bersama-sama: bermain bersama, belajar bersama.

Ø  Memiliki komunitas pendukung
Artinya memiliki jaringan dan sumber daya yang lain di luar keluarga. Ketika mengalami krisis, maka dukungan dari orang-orang yang yang terpercaya akan memberikan kontribusi yang besar dalam menghadapi krisis.

Ø  Fleksibel dan bisa beradaptasi
Yang ditekankan disini adalah keterampilan untuk berubah dan menghadapi perubahan. Keluarga akan melewati tahap-tahap dan masalah tertentu yang menuntut perubahan. Ketika memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan itu, keluarga akan dapat menghadapi krisis dengan lebih baik.

Ø  Bertumbuh dan belajar
Di sini adalah kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang baru, atau mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi.

Ø  Memiliki keterampilan menghadapi stress/tekanan
Apa yang keluarga lakukan untuk melepaskan atau melewati masa-masa yang penuh tekanan :
*        Memiliki keterampilan memecahkan masalah
Kreativitas dan kemampuan untuk secara sehat dan realistis memecahkan masalah yang sedang mengganggu

*        Memiliki sikap yang positif dalam menghadapi kegagalan
Banyak krisis yang ditimbulkan oleh kegagalan atau kesalahan dari anggota keluarga sendiri. Bagaimana kebiasaan keluarga menghadapi kegagalan atau kesalahan akan mempengaruhi saat keluarga dilanda krisis.

DAFTAR PUSTAKA


  1. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Jakarta. Rineka Cipta.
  2. Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
  3. Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info Media.
  4. Go Nursing. 2008.  Keperawatan Keluarga Sebuah Pengantar. http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/04/07/keperawatan-keluarga-sebuah-pengantar/.
  5. Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek.(Family nursing teori and practice). Edisi 3. Alih bahasa Ina debora R. L. Jakarta: EGC
  7. Tri Kurniawati, Irma. 2008. “ Gambaran Pemanfaatan-Literatur”. www.lontar.ui.ac.id.
  8. http://andhablog.blogspot.com/2009/04/perilaku-sakit.html
  9. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-juanita5.pdf)
  10. http://www.scribd.com/doc/75657031/DINAMIKA-KELUARGA
  11. http://hikmatpembaharuan.wordpress.com/
  12. http://rizkipkip.blogspot.com/2013/05/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html
  13. http://g00dlucky.blogspot.com/2013/04/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar