PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Rabu, 25 Juni 2014

MIKROSKOP

Dr. Suparyanto, M.Kes

MIKROSKOP



2.1.     Mikroskop
Mikroskop adalah sebuah alat untuk melihat objek yang terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang. Ilmu yang mempelajari benda kecil degan menggunakan alat ini disebut mikroskopi, dam kata mikroskopik berarti sangat kecil, tidak mudah terlihat oleh mata. Mikroskop merupakan alat yang sangat vital bagi laboratorium.
2.6.1.        Jenis-Jenis Mikroskop
1.   Berdasarkan kenampakan objek yang diamati    
·      Mikroskop dua dimensi (mikroskop cahaya)
·      Mikroskop tiga dimensi (mikroskop stereo)

2.   Berdasarkan sumber cahaya
·      Mikroskop cahaya
·      Mikroskop elektron
3.   Berdasarkan jumlah lensa mata (eye piece)
·      Mikroskop Monokkuler
·      Mikroskop Binokuler
·      Mikroskop Trinokuler
4.   Berdasarkan kegunaan / pemakaian mikroskop
·      Mikroskop untuk belajar
·      Mikroskop untuk bekerja di laboratorium
·      Mikroskop dengan sistem dan fase kontras
·      Mikroskop laboratorium untuk kejadian cahaya imuno fluorescen dan transmisi medan cahaya yang kuat
·      Mikroskop cahaya terpolarisasi
·      Mikroskop inferse
·      Mikroskop riset metalurgi
·      Mikroskop riset binokuler
·      Mikroskop stereo
·      Mikroskop perbandingan
·      Mikroskop yang dihubungkan dengan pesawat televise berwarna
·      Mikroskop kuantitatif
·      Mikroskop electron


2.6.2.        Bagian-Bagian Mikroskop
                                    yang bener.jpg
Gambar 2.4  Mikriskop
1.    Lensa okuler (Eyepiece / oculars)
2.    Pemutar lensa objektif (Revolving)
3.    Tabung pengamatan/tabung okuler (Observation Tube)
4.    Meja benda (Stage)
5.    Condenser
6.    Lensa objektif (Objective lensa)
7.    Pengatur kekuatan lampu (Brigthness adjustment knob)
8.    Tombol on/off (Main awitch)
9.    Cincin pengatur diopter (Diopter adjustment ring)
10.  Knob pengatur jarak interpupillar (Interpupillar distance adjustment knob)
11.  Penjepit specimen (Specimen holder)
12.  Sumber cahaya (illuminator)
13.  Sekrup pengatur vertical (Vertical feed knob)
14.  Sekrub pengatur horizontal (Horizontal feed knob)
15.  Sekrub focus kasar (Coarse focus knob)
16.  Sekrub focus halus (Fine focus knob)
17.  Sekrub engencang tabung okuler (Observation tube securing knob)
18.  Sekrub pengatur condenser (Condenser adjustment knob)
2.6.3.        Prosedur Pengoprasian Mikroskkop
·           Menyalakan lampu
·           Menempatkan specimen pada meja benda
·           Memfokuskan
2.6.4.        Penggunaan Mikroskop
Hal-hal yang perlu diperhatikan bila menggunakan mikroskop
·      Selalu membawa mikroskop dengan dua tangan.
·      Bila menggunakan preparat basah, tabung mikroskop selalu dalam keadaan tegak, berarti meja dalam keadaan datar. Ini berlaku bagi mikroskop dengan Tabung tegak, tidak berlaku untuk mikroskop dg. Tabung miring
·      Preparat basah harus selalu ditutup dengan Gelas penutup saat dilihat di bawah mikroskop
·      Selalu menjaga kebersihan lensa-lensa mikroskop termasuk cermin.
·      Bila ada bagian mikroskop yang bekerja kurang baik/hilang segera laporkan kepada laboran.
·      Tidak dibenarkan melepas lensa-lensa mikroskop dari tempatnya.
Setelah selesai menggunakan mikroskop, pasang lensa objektif dg. Perbesaran paling rendah pada kedudukan lurus ke bawah. (Lestari,  2011)

 

DAFTAR PUSTAKA

Desy R, Ridarty, Sahat J, Susanti B. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Kecacingan pada Anak 8-9 Tahun di SD Neg 023971. Binjai.
Dinkes Jombang. 2012. Data Kecacingan. Dinkes Jombang
Jalaludin. 2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Kundaian F, Umboh J M L, Kepel B J. 2011. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Taling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Lestari  S. 2011. Materi Instrumentasi. D3 Analis Kesehatan STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mahardian C A. 2013. Pemeriksaan Telur Cacing pada Kotoran Kuku Siswa Sekolah Dasar. STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mustofa P, Palandeng H, Lampus B S. 2013. Hubungan Antara Perilaku Tentang Pencegahan Penyakit Kecacingan dengan Infeksi Cacing pada Siswa SD di Kelurahan Bengkol Kecamatan Mapanget Kota Manado. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nasir A, Muhith A & Idieputri. 2011. Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan: Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekoidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Reneka Cipta. Jakarta.
Nurjanah A, Rakhmawati W, Nurlita N. 2012. Personal Hygiene Siswa Sekolah Dasar Negri Jatinaor. Universitas Podjadjaran. Bandung.
Rahayu S E. 2006. Keberadaan Telur Cacing Parasit pada Siswa SD Sekitar Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadau Kota Malang dan Hubungan dengan Kepadatan Telur Cacing pada Air Limbah Perumahan di IPAL Terpadu. Malang
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. CV Sagung Seto. Jakarta.
Syaifudin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Salemba Medika. Jakarta

CACING ASCARIS LUMBRICOIDES

Dr. Suparyanto, M.Kes

CACING ASCARIS LUMBRICOIDES



2.1.     Kecacingan
Penyakit kecacingan adalah salah satu penyakit tertinggi yang terjadi di Indonesia. Penyebab parasit berukuran mikro yang mengambil makanan hewan dari usus yang berisi banyak nutrisi. Cacing memasuki tubuh dalam fase larva merupakan penyakit endemis dan kronis yang bisa meningkat tajam saat musim hujan dan banjir. Larva cacing biasanya menyebar ke berbagai tempat untuk menginvasi tubuh manusia. Cacing memasuki tubuh melalui mulut dengan dua cara, saat makan makanan yang tidak dicuci dan dimasak setelah terkontaminasi lalat yang membawa larva cacing, serta melalui pori-pori ketika seorang anak tidak memakai alas kaki ketika berjalan di tanah. Dengan cara ini larva masuk ke aliran darah dan mencapai tempat yang memungkinkan perkembangannya seperti di usus, paru-paru, hati dan sebagainya. Pembangunan mereka membutuhkan waktu 1-3 minggu di tubuh manusia. Tahap berikutnya dari kondisi gizi pasien biasanya menurun sehingga kesehatan mereka terganggu. Jika dibiarkan anak menjadi pucat kulitnya, tubuh lebih ramping dan perut membuncit karena kekurangan protein. Dalam kondisi yang sangat berat, cacingan bisa menyebabkan radang paru-paru ditandai dengan batuk dan kesulitan bernafas, obstruksi pada usus, gangguan hati, kaki gajah, dan perforasi usus. Dalam situasi ini obat cacing tidak lagi membantu secara optimal. Cacing usus yang ditemukan di banyak daerah dimana kebersihan dalam kondisi standart (Mahardian, 2013).

2.2.     Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang. Penyebarannya di seluruh dunia (kosmopolit) dan lebih sering dijumpai pada anak usia 5-10 tahun. Di Indonesia infeksi cacing ini lebih dari 60 %. Dan manusia merupakan satu–satunya hospes dari Ascaris lumbricoides (Soedarto 2011, h. 180).
2.2.1.        Anatomi dan Morfologi
Cacing nematode ini adalah cacing yang berukuran besar berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran panjang antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina panjang badanya antara 22-35 cm. Kutikula yang halus bergaris-garis tipis menutupi seluruh permukaan badan cacing. Ascaris lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral. (Soedarto, 2011, h:181)
Selain ukurannya lebih kecil dari pada cacing betina, cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan ekor melengkung kearah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran kecil. Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan yang lebih besar dan lebih panjang dari pada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung. (Soedarto, 2011, h:181)
Telur Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah dibuahi (fertilized eggs) dan telur yang belum di buahi (unfertilized eggs). Fertilized eggs berbentuk lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur yang tak berwarna. Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang permukaannya bergerigi (mamillation), dan berwarna coklat karena menyerap zat empedu. Sedangkan di bagian dalam kulit telur terdapat selubung vetelin yang tipis, tetapi kuat sehingga telur cacing Ascaris dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah. Fertilized eggs mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen, sedangkan di kedua kutub telur terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit. (Soedarto, 2011, h:181-182)
Unfertilized eggs (telur yang tidak dibuahi) dapat ditemukan jika di dalam usus penderita hanya terdapat cacing betina saja. Telur yang tak dibuahi ini bentuknya lebih lonjong dan lebih panjang dari ukuran Fertilized eggs dengan ukuran sekitar 80x55 mikron, telur ini tidak mempunyai rongga udara dikedua kutupnya. Dalam tinja penderita kadang-kadang ditemukan telur Ascaris yang telah hilang lapisan albuminnya, sehingga sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Terdapatnya telur yang berukuran besar menunjukkan cirri khas telur cacing Ascaris. (Soedarto, 2011, h:182)
            
Gambar 2.1 Telur Ascaris lumbricoides
            
Gambar 2.2 Cacing Ascaris lumbricoides
2.2.2.        Siklus Hidup   
Keluar bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi jika jatuh di tanah yang lembab dan suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Pada manusia infektif terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita ascariasis. Di dalam usus halus dan memasuki vena porta hati. Dengan aliran darah vena, larva beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk kedalam alvenol. Masa migrasi larva ini berlangsung sekitar 15 hari lamanya. (Soedarto, 2011, h:183)
Sesudah itu larva cacing merambat ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, usofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya sampai ke usus halus. Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Migrasi larva dalam darah yang mencapai organ paru tersebut disebut ‘’lung migration’’. Dua bulan semenjak masuknya telur cacing infektif melalui mulut, cacing betina mulai mampu bertelur. Seekor cacing Ascaris lumbricoides dewasa mampu bertelur dengan jumlah populasi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari. (Soedarto, 2011, h:183)
Gambar 2.3     Siklus hidup Ascaris lumbricoides
2.2.3.        Perubahan Patologi
Akibat beradanya cacing dewasa di dalam usus dan beradanya larva cacing di dalam darah, akan terjadi perubahan patologis pada jaringan dan organ penderita.
Larva cacing yang berada di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia pada penderita dengan gejala klinis berupa demam, batuk, sesak dan dahak yang berdarah. Selain itu penderita juga mengalami urtikaria disertai terjadinya eosinofil sampai 20 persen pada gambaran darah tepi. Terjadinya pneumonia yang disertai dengan gejala alergi ini di sebut sebagai Sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia. (Soedarto, 2011, h:184)
Jika terjadi infeksi askariasis yang berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita akan mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cacing Ascaris juga dapat mengeluarkancairan toksik yang dapat menimbulkan gejala klinis mirip demam tifoid di sertai tanda-tanda alergi misalnya ultikaria, edema pada wajah, konjungtivitas dan iritasi pernafasan atas. (Soedarto, 2011, h:184)
Sejumlah besar cacing Ascaris dewasa yang terdapat di dalam lumen usus juga dapat menimbulkan berbagai akibat mekanis, yaitu terjadinya sumbatan atau obstruksi usus intususepsi.cacing dewasa juga dapat menimbulkan perforasi ulkus yang ada di usus. Pada penderita yang mengalami demam tinggi, Ascaris lumbricoides dewasa dapat melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus (Ascaris ektopik), misalnya ke lambung, usofagus, mulut, hidung, rima glottis atau bronkus, sehingga menyumbat pernafasan penderita. Selain itu juga dapat juga terjadi sumbatan saluran empedu, apendisitis, abses hati, dan pancreatitis akut. (Soedarto, 2011, h:184)
2.2.4.      Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis pasti askariasis harus dilakukan pemeriksaan maksoskopis terhadap tinja atau muntahan penderita untuk menemukan cacing dewasa. Pada pemeriksaan makroskopis atau tinja penderita dapat ditemukan telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita. (Soedarto, 2011, h:184)
Adanya cacing Ascaris pada organ atau usus dipastikan jika dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium. Unuk membantu menegakkan diagnosis askariasis, pemeriksaan darah tepi akan menunjukkan terjadinya eosinofilia pada awal infeksi, sedangkan scrath test pada kulit akan menunjukkan hasil positif. (Soedarto, 2011, h:185)
2.2.5.      Dampak Kecacingan pada Anak
Kecacinga jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing tambang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia definisi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi. (Jalaludin, 2009)
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrient lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori protei  dan diduga dapat menyebabkan defisiensi vitamin A. (Jalaludin, 2009) 
Gejala kecacingan jika penderita yang ditumpangi cacing sudah kekurangan gizi terjadi karena sebagian makanan dimakan oleh cacing, tanda-tandanya : berat badan turun, wajah pucat, kulit dan rambut kering, keadaan tubuh lemah, lesu dan mudah sakit, selera makan berkurang, kulit telapak tangaan tidak merah, kurang darah dan mungkin jantung berdebar-debar, sesak nafas dan sering pusing. (Jalaludin, 2009)
2.2.6.      Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur cacing Ascaris lumbricoides dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan. (Jalaludin, 2009)
Selain melalui tangan, transmisi telur cacing ini uga dapat melalui makanan dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur cacing yang ada ditanah/debu akan sampai pada makanan tersebut jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya menghinggap tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut. (Jalaludin, 2009)
2.2.7.      Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi kecacingan sudah dilalukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan kebijakan terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada pelita V dan IV program pemberantasa penyakit kecacingan meningkat karena periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak. (Jalaludin, 2009)
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan memutuskan rantai penularan, yang lain dilakukan dengan pengobatan masal, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan kesehatan. (Jalaludin, 2009)
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah sebagaiberikut :
a.    Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.
b.    Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
c.    Tidak membiasakan menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.
d.    Tidak membiasakan bayi atau anak bermain-main ditanah.
e.    Tidak membuang kotoran dikebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran dijamban.
f.     Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban
g.    Biasakan tidak jajan panganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.
h.    Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.
i.      Segera mengobati cacing sampai tuntas.
j.      Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri dan lingkunga yang tidak baik.
k.    Biasakan makan daging yang benar-benar dan bukan yang mentah atau setengah matang.
l.      Biasakan berjalan kaki kemana-mana memakai alas kaki.
m.   Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang bener-bener mengidap penyakit kecacingan.
n.    Biasakan makan lalap yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir
(Jalaludin, 2009)
Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dillakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan masal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta partisipasi masyarakaat. (Jalaludin, 2009)
Kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higine dan sanitasi lingkungan. Misalnya tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya, bilas sayuran mentah dengan air mengalir atau menyelupkannya beberapa detik dengan air mendidih. Juga tidak jajan disembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan, rantai penularan cacing bias diputus. Pada saat bersamaan, anak-anak menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing tak berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan cacing juga gotong royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju seperti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing usus ini. Setelah kalah oeh Sekutu saat perang dunia II, Jepang jatuh menjadi Negara miskin. Karena  miskin, karena miskin mereka menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya penularan cacing menjadi tak terkendali sampai menyerang 80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun untuk menurukan angka kecacingan hingga dibawah 10%. Pada kasus kecacingan ringan dan sedang, gejalanya sulit dikenali. Untuk memastikan, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan mikroskop. Jika terbukti mengandung telur cacing, ia harus segera diobati. (Jalaludin, 2009)
2.2.8.      Pengobatan
Berbagai obat cacing yang efektif untuk mengobati askariasis dan hanya menimbulkan sedikit efek samping adalah Mebendazol, pirantel pamoat, albendazol dan levamisol. Obat-obat cacing ini di berikan dengan takaran sebagai berikut :
·      Mebendazol, 500 mg dosis tunggal
·      Pirantel, dosis tunggal 10 mg/kg berat badan (base) maksimum 1.0 g.
·      Levamisol, 120 mg dosis tunggal (dewasa), 2,5 mg/kg berat badan dosis tunggal (anak)
Selain itu piperasin dan obat cacing lainnya masih dapat digunakan untuk mengobati penderita askariasis. (Soedarto, 2011, h:185)


 

DAFTAR PUSTAKA

Desy R, Ridarty, Sahat J, Susanti B. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Kecacingan pada Anak 8-9 Tahun di SD Neg 023971. Binjai.
Dinkes Jombang. 2012. Data Kecacingan. Dinkes Jombang
Jalaludin. 2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Hygiene dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Kundaian F, Umboh J M L, Kepel B J. 2011. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa Taling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Lestari  S. 2011. Materi Instrumentasi. D3 Analis Kesehatan STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mahardian C A. 2013. Pemeriksaan Telur Cacing pada Kotoran Kuku Siswa Sekolah Dasar. STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mustofa P, Palandeng H, Lampus B S. 2013. Hubungan Antara Perilaku Tentang Pencegahan Penyakit Kecacingan dengan Infeksi Cacing pada Siswa SD di Kelurahan Bengkol Kecamatan Mapanget Kota Manado. Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nasir A, Muhith A & Idieputri. 2011. Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan: Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis untuk Mahasiswa Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekoidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Reneka Cipta. Jakarta.
Nurjanah A, Rakhmawati W, Nurlita N. 2012. Personal Hygiene Siswa Sekolah Dasar Negri Jatinaor. Universitas Podjadjaran. Bandung.
Rahayu S E. 2006. Keberadaan Telur Cacing Parasit pada Siswa SD Sekitar Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadau Kota Malang dan Hubungan dengan Kepadatan Telur Cacing pada Air Limbah Perumahan di IPAL Terpadu. Malang
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. CV Sagung Seto. Jakarta.
Syaifudin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Salemba Medika. Jakarta