PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Jumat, 04 Juli 2014

CACING SHISTOZOMA

Dr. Suparyanto, M.Kes

CACING SHISTOZOMA




2.1  Schistosoma
Pada manusia ditemukan tiga spesies cacing Schistosoma yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium. Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang  dapat hidup di manusia (Sutanto dkk 2008, h.61). Spesies cacing yang tergolong trematoda ditemukan pada organ pencernaan dan beberapa organ lainnya. Morfologi trematoda secara umum berbentuk pipih, tidak bersegmen,  bentuk memanjang seperti daun, bentuk telur kerucut, silindris dan mempunyai batil hisap kepala dan perut. Umumnya trematoda bersifat hermafrodit, kecuali genus Schistosoma. Hospes definitif spesies trematoda golongan vertebrata diantaranya manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah bangsa  keong  (Muslim 2009, h.125)
2.1.1      Schistosoma japonicum
Hospesnya adalah manusia  dan berbagai macam  binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, rusa, babi dan lain-lain. Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental Schistosomiasis, Schistosomiasis  japonicum, penyakit kayama  atau penyakit demam keong  (Sutanto dkk, 2008, h.66)
1.    Distribusi Geografis

Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia dapat ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu di daerah danau Lindu  dan Lembah  Napu (Sutanto dkk, 2008, h.66).
2.    Morfologi dan Daur Hidup
1.    Telur
  Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan waktu  beberapa hari untuk  berkembang menjadi mirasidium  matang di dalam kulit  telur. Masa telur menyebabkan tekanan pada dinding  venula yang tipis, yang biasanya dilemahkan  oleh sekresi  dari kelenjar  histolitik mirasidium  yang masih  berada di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen usus yang kemudian  keluar dari tubuh. Pada infeksi  berat, beribu-ribu cacing  ditemukan di dalam pembuluh darah.
Penetasan berlangsung di dalam air walaupun pH, kadar garam, suhu, dan aspek lingkungan lainnya  penting, faktor-faktor di dalam  telur berperan utama dalam proses penetasan. Migrasi Schistosoma japonicum ke dalam tubuh mulai dari  masuknya cacing tersebut  ke dalam pembuluh darah  kecil, kemudian ke jantung  dan sistem peredaran  darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya tidak atau  sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang terjadi  reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya  cacing ke dalam paru. Schistosoma japonicum  merupakan penyakit yang  lebih  berat  dan destruktif  dari pada penyakit  yang disebabkan  oleh  dua spesies  lain yang biasa menginfeksi manusia (Muslim 2009, h.126).
2.    Cacing  dewasa
Kulit tubuhnya halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik, walaupun dalam hospes sering ditemukan berpasangan (cacing betina berada dalam kanalis ginekoporalis cacing jantan).


a.  Cacing Dewasa Jantan
Cacing jantan lebih gemuk seperti daun melipat mempunyai kanalis ginekoforalis, berukuran 12-20x50-65 mm, kulit ditutupi duri-duri halus dan lancip, mempunyai batil isap kepala dan perut, testisnya berjumlah 6-9 buah.
b.Cacing Dewasa Betina
Cacing betina berukuran 26x0,3 mm, langsing dan memanjang, ovarium terletak di bagian lateral, uterus memanjang dan lurus berisi 50-100 telur (Onggowaluyo 2002 h.62).







Gambar: 2.1 Morfologi Cacing Dewasa    






 Gambar: 2.2 Morfologi Telur

Gambar: 2.3 Siklus Hidup Cacing Schistosoma japonicum
3.    Epidemiologi
 Di Indonesia penyakit ini ditemukan  endemik di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini  ditemukan pada tahun 1972 dan di daerah lembah Napu pada tahun 1972.
 Sebagai sumber infeksi, selain manusia ditemukan pula hewan-hewan lain  sebagai hospes reservoir yang terpenting adalah spesies tikus  sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, babi dan anjing  dilaporkan  juga mengandung  cacing ini. Hospes perantaranya, yaitu keong air  onicomelania hupensis lindoensis  baru ditemukan pada tahun 1971. Habitat keong di daerah danau  Lindu ada 2 macam yaitu, fokus di daerah  yang dianggap seperti ladang, sawah yang tidak  dipakai lagi atau di pinggir parit diantara sawah, fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah. Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982  adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui  Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Subdit,P2M& PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% setelah pengobatan (Sutanto 2008, h.68).
2.1.2  Schistosoma Mansoni
Schistosoma mansoni (large intestinal blood fluke) adalah salah satu  spesies trematoda darah  yang mempunyai kelamin terpisah. Penyakitnya disebut Schistosomiasis  dan pertama kali ditemukan oleh Mansoni  pada tahun 1907. Hospes devinitifnya manusia dan kera babon di Afrika, sekaligus  menjadi hospes reservoir. Pada manusia, cacing ini menyebabkan Schistosomiasis usus (Muslim 2009, h.129).   
1.        Distribusi Geografik
Schistosoma mansoni ditemukan di banyak negara di Afrika, Amerika Selatan (Brasil, Suriname dan Venezuela), Karibia (termasuk Puerto Rico, St Lucia, Guadeloupe, Martinique, Republik Dominika, Antigua dan Montserat) dan di bagian Timur Tengah (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010).
2.    Morfologi dan Daur Hidup
1)    Telur
Telur berbentuk lonjong, berwarna coklat kekuningan, dinding hialin, berukuran 114-175x45-64 mikron, pada satu sisi dekat ujung terdapat duri dekat panjang, isi telur berupa mirasidium. Telur keluar bersama tinja. Telur matang dalam air menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium selanjutnya tumbuh menjadi serkaria yang menembus kulit hospes 
2)    Cacing dewasa
Cacing dewasa memiliki kulit tubuh halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik memiliki ukuran lebih kecil.
a.    Cacing Dewasa Jantan
Cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm gemuk, bagian ventralnya terdapat ginaekoforalis, testisnya 6-9 buah dan kulit terdiri dari duri-duri kasar.
b.      Cacing Dewasa Betina
Cacing betina panjangnya 1,7-7,2 mm, kelenjar vetelaria meluas ke pinggir pertengahan tubuh, ovarium di anterior pertengahan tubuh, uterus pendek berisi  1-4 butir telur. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rekrum (Waluyo  2002, h.62).







Gambar: 2.4 Morfologi Cacing Dewasa











Gambar: 2.5 Morfologi Telur Gambar: 2.5 Siklus Hidup cacing Schistosoma mansoni
1.    Epidemiologi
Schistosoma mansoni tersebar luas di Sahara Afrika, Atlantik Amerika  Selatan dan pulau Karibia. Penularannya  terus-menerus melalui budak belian  sehingga ditemukan juga di delta sungai Nil Mesir dan Saudi Arabia.  Pada tahun 1996  schistosomiasis  usus yang disebabkan  oleh S. mansoni dilaporkan terdapat pada 52 negara di Afrika, bagian timur Mediterania, Karibia, dan Amerika Selatan. Upaya pencegahan yang dilakukan prinsipnya sama dengan pencegahan kasus  Schistosoma japonicum (Muslim 2009, h.133).
2.1.3      Schistosoma  haematobium
1.    Distribusi Geografis
Nama penyakit haematobium yang ditimbulkan oleh cacing Schistosoma  (bladser blood fluke) adalah hematuria  Schistosoma, Schistosoma vesikalis bilharziasis urinarius, atau yang sering di sebut  skistosomiasis kandung kemih.  Cara infeksi  Schistosoma  haematobium  yaitu serkaria menembus  kulit pada waktu manusia  mandi dan masuk ke dalam air  yang mengandung serkaria  yang merupakan bentuk infektif Schistosoma. Schistosoma  haematobium   menginfeksi kira-kira 40 juta orang Afrika, Madagaskar, Turki, Siprus dan Portugal Selatan. Organ  yang paling sering diserang adalah kandung kemih. “Kistitis bilharzial” biasanya terjadi pada orang muda berusia 10-30 tahun. Beberapa kasus terjadi pada  setengah baya dan jarang  pada usia tua. Penyakit ini menyerang ureter, ginjal, vesika seminalis, prostat, uretra. Saluran seperma epidemis pada testis  dan penis. Pada simpanse, parasit ini  pernah ditemukan pada kandung kemih,  rektum, paru, hati, apendiks dan vena mesentrika (Muslim 2009, h.132).
2.    Morfologi dan Daur Hidup
1)  Telur
Telur cacing berbentuk lonjong, warna kuning kecoklatan, ukuran 112-170x40-70 mikron, dinding tampak healin, salah satu ujungnya terdapat duri terminal yang panjang dan lancip, isi telur berupa mirasidium. Telur cacing keluar dari tubuh hospes  bersama tinja maupun urin. Telur dalam air menetas  dan mengeluarkan mirasidium yang aktif berenang dan mencari keong yang sesuai (Waluyo 2002 h.62).
2)    Cacing Dewasa 
Cacing dewasa mempunyai kulit tubuh halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonokoristik. Berukuran 10-20 mm, tubuh mempunyai tonjolan duri halus.
a.  Cacing dewasa jantan
Cacing jantan gemuk berukuran 10-15x0,8-1 mm, kulit di tutupi duri-duri halus, batil isap kepala lebih kecil dari pada batil isap perut, bagian ventral melipat kearah ekor membentuk kanalis ginaekofilik, di belakang batil isap perut terdapat 4-5 testes, porus genitalis terletak di bawah batil isap perut.
b.  Cacing Dewasa Betina
Cacing betina langsing, berukuran 20x0,25 mm, batil isap kecil, ovarium di posterior pertengahan tubuh, dan uterus panjang berisi 20-30 telur.
 






Gambar: 2.Morfologi Cacing Dewasa






              

                Gambar: 2.8 Morfologi Telur
Gambar:2.9 Siklus Hidup cacing Schistosoma haematobium
2.2  Epidemiologi
Penyebaran Schistosoma haematobium manusia tergantung pada variasi hospes keong air. Schistosoma haematobium sangat endemis di seluruh lembah sungai Nil dan boleh dikatakan menyebar di seluruh Afrika, pulau Magasaki, dan Mauritius. Sarang endemis ditemukan di Israel, Jordania, Syria, Irak, yaman, dan daerah  kecil di India Barat. Di Mesir dan bagian lain benua Afrika sebanyak 75-95% penduduk telah terinfeksi. Kera babon mendapat infeksi  alami, tetapi mungkin tidak penting untuk penyebaran infeksi. Penyebaran di Indonesia terdapat di danau Lindu Sulawesi Tengah. Distribusi Schistososma haematobium sebagian besar di gurun Sahara, di lembah Sungai Nil, di Afrika, Negara utara lainnya, dan di Timur Tengah.  Schistosoma haematobium adalah jenis parasit yang terdapat  di Asia dari dari timur, di China dan Filipina. Upaya pencegahan yang  dilakukan  prinsipnya sama  dengan pencegahan kasus  Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni (Muslim 2009, h.132).
2.1.4      Patologis dan Gejala klinis
   Perubahan disebabkan oleh 3 stadium perkembangan cacing, yaitu serkaria, cacing dewasa dan terutama telur. Perubahan pada Schistosomiasis  dapat dibagi dalam 3 stadium yaitu: masa tunas biologis, stadium akut, stadium menahun
1.    Masa Tunas Biologis
 Dimulai ketika serkaria menembus kulit, yang dapat  menimbulkan pruritus dan kemerahan yang bersifat sementara. Selama infansi hati  dan organ lain oleh cacing  yang belum dewasa, timbul perdarahan berupa petekia dan sarang infiltrasi sel eosinofil dan leukosit. Pada waktu berakhirnya masa tunas, hati menjadi besar dan nyeri. Terdapat pula rasa tidak enak pada perut, demam, berkeringat, menggigil dan kadang-kadang  diare. Cacing muda kemudian  bermigrasi  melawan aliran darah  ke vena mesenterum dan cabang-cabangnya dan telur menyerbu ke dinding usus. Dengan terjadinya perletakan telur, stadium  akut dimulai. Pada lingkaran hidup  yang normal, telur  mencari jalan melewati dinding usus melewati  dinding usus dan masuk  ke feses. Apabila  terdapat banyak telur disertai darah dan sel jaringan nekrosis, sejumlah besar telur akan terbawa kembali, masuk ke aliran hati.
2.    Stadium Akut
Stadium yang menunjukkan  permulaan penyerbuan telur  ke dalam usus, hati dan paru. Stadium paru ditandai oleh demam, malaise, urtikaria, eosinofil, sakit perut, diare, berat badan menurun, hati agak membesar, dan kadang-kadang limpa membesar. Hepatomegali timbul lebih dini  disusul dengan  splenomegali dapat terjadi dalam waktu 5-8 bulan. Telur Schistosoma   diletakkan di kelenjar limfe mesentrium dan di dinding usus. Telur  yang menyerbu  menimbulkan infeksi sel yang  hebat di dinding usus  dengan proliferasi jaringan ikat yang luas, pembentukan papiloma, dan thrombosis pembuluh darah kecil.  Perubahan ini  bersifat kongesti, mukosa menjadi  bergranula atau  mengadakan hipertrofi,  papil yang kekuning-kuningan dan pembentukan ulkus. Pada penyakit yang lanjut  terdapat polip dan striktur.
Lesi yang terberat disebabkan oleh  S. japonicum  yang menghasilkan  10 kali lebih banyak telur  dari pada S. mansoni. Telur ditemukan dalam apendiks  pada 75% kasus infeksi usus, kadang-kadang  disertai dengan infeksi bakteri sekunder,  tetapi telur ini jarang menimbulkan sindrom apendisitis.
Telur yang menjadi emboli  terutama menyebabkan proliferasi progresif dan fibroblastik, fibrosis periduktus dan serosis interstisial dengan  hipertensi portal  yang semakin tinggi. Zat toksin dari  cacing dewasa, pigmentasi dan hipoprotinemia karena salah gizi mungkin juga memegang peranan dalam pembentukan lesi hati. Fibrosis hati yang mengarah ke serosis  merupakan hal yang  dapat terjadi pada infeksi S. japonicum. Infeksi otak yang jarang sekali  dapat pula terjadi  terutama disebabkan oleh telur S. japonicum yang menjadi emboli, dan bereaksi secara mekanis  sebagai zat protein asing, sebagai bahan toksik dan menimbulkan reaksi  yang hebat dengan adema, infiltrasi sel pada susunan saraf, sel-sel raksasa, perubahan pada vena dan degenerasi  jaringan sekitarnya.
Sakit di daerah perut, hepatitis, anoreksi, demam, milgia, disentri dan berat badan menurun adalah gejala khas untuk Schistosomiasis usus. Stadium akut berlangsung 3 sampai 4 bulan, dan dapat  lebih hebat pada infeksi berat dan infeksi oleh S. japonicum karena jumlah telur yang dihasilkan spesies ini lebih banyak.
3)    Stadium Menahun
Terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hati yang semula membesar karena peradangan, kemudian mengecil  karena terjadi fibrosis yang disebut sirosis. Pada Schistosomiasis, serosis  yang terjadi adalah serosis periportal yang mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gejala yang timbul adalah spelenomegali dan edema, yang biasanya ditemukan pada tungkai bawah dapat pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemisis karena pecahnya varises esofagus (Muslim 2009, h.126-128).

2.1.2  Diagnosa Laboratorium
1.Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dari telur cacing Schistosoma dalam tinja dan urin relatif mudah. Pada bilharzionosis vesikal telur dapat dikonsentrasikan dengan mensentrifus urin. Telur yang berbentuk khas  dengan duri terminal mudah ditemukan  pada sedimen urin. Pada bilharziosis usus telur  dengan duri lateral  sering berada pada lendir yang berdarah yang  terdapat dalam tinja. Hasil dapat juga dengan  penelitian mikroskopis  dari duri-duri lendir secara rektoskopis.  
1)            Metode Penetasan Mirasidium
Pada infeksi ringan dianjurkan untuk melakukan metode penetasan  mirasidium. Untuk mengambil  tinja sekitar 5 gram, diaduk dengan  250 NaCl fisiologis,  disaring lalu dimasukkan ke dalam gelas kerucut, setelah terbentuk  sedimen proses  penjernihan ini diulangi sampai larutan  menjadi bening. Gelas kerucut disimpan dalam lemari es dan dibiarkan semalam.  Besok paginya diberi air hangat  sampai suhu mencapai antara 30-400C karena pengaruh sinar matahari atau cahaya lampu listrik yang kuat mirasidium akan menetas dalam beberapa menit atau beberapa jam. Pemeriksaan dilakukan dengan latar belakang gelap untuk dapat melihat  gerakan yang lincah (Irianto 2013, h.397).
2)            Pemeriksaan Konsentrasi
Pemeriksaan Indirek Tinja adalah pemeriksaan secara tidak langsung pada tinja. Pemeriksaan indirek tinja dengan metode konsentrasi ini memungkinkan bentuk parasit terkonsentrasi mengapung pada lapisan teratas dari suatu larutan, dimana larutan tersebut mempunya berat jenis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan BJ parasit, sedangkan material tinja yang lain (debris) terpisahkan dari parasit, tenggelam. Prosedur pengapungan dengan  garam pekat sebagai berikut:
a. Memasukkan larutan garam pekat ke dalam tabung reaksi sebanyak ¼  tabung.
b.  Memasukkan 2 gram sampel tinja ke dalam tabung reaksi.
c. Menghomogenkan dengan batang pengaduk larutan garam      pekat dan sampel tinja.
d.  Meletakkan tabung reaksi dalam rak tabung dengan posisi
     tegak lurus.
e.  Memasukkan larutan garam pekat ke dalam tabung reaksi
     sampai hampir penuh.
f.   Menambahkan sedikit demi sedikit larutan garam pekat sampai
     permukaan cembung.
g.  Menutup tabung reaksi dengan deck glass, tunggu 10 menit.
h.  Meneteskan 1 tetes larutan lugol pada objeK glass.
i. Mengambil obyek gelas dengan pinset, kemudian meletakkan di atas obyek.
i.  Mengamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.
2.        Pemeriksaan Imunologi
      Untuk membuktikan penyebab Schistosomiasis berkembang serangkaian metode yang tidak langsung, tapi sebagai menggunakan material parasit hidup. Stadium pertumbuhan dipergunakan untuk reaksi presipitasi, Tes Immobilisasi Miracidium (CHR+Cercarien Hullen Reaction) dan reaksi selubung serkaria. Umumnya sekarang dipakai CHR, IFAT, dan IHIT. Untuk IFAT dipergunakan serkaria yang diliopilsir dan difiksasi dengan formalin (Irianto 2013, h.397).
2.1.3  Pengobatan
   Pada umumnya dapat dikatakan bahwa obat anti Schistosomiasis tidak ada yang  aman atau agak toksik dan semuanya mempunyai resiko  masing-masing. Pengaruh obat anti-Schistosoma  dapat  menyebabkan  terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah sehingga  cacing tersapu  ke dalam hati oleh sirkulasi portal, keamanan ini disebut hepatic shifty.
Beberapa obat yang mempengaruhi cacing dewasa ini menghambat  sistem enzim fosfofruktokinase Schistosoma mansoni, sehingga cacing dewasa  tersebut  tidak dapat memanfaatkan glikogen.  Obat anti Schistosoma sp diantaranya:
1.          Astiban TW 56(Stibocaptate atau antimony-demercaptosuccinate,  garam Na dan (K)
2.        Nitridasol (1-Nitro-2 triayzol-2 imidazolidnone) (Ambilhar, CIBA-32,644,Ba)
3.          Prazikuantel (Embay 8440;Droncit;biltricide) Bayer,A.G, dan Merck Darmstadt
4.          Etinin (Tartras emetikus):Fuadi Stibofen, reprodal ,neo- antimoson (Antimony-bispyrocatechin-disulfonic-Nacompound) (Muslim 2009, h.133)
Sebelum dilakukan pengobatan kemoterapi untuk Schistosomiasis sebaiknya dilakukan perbaikan gizi penderita. Pada kasus Schistosomiasis haematobium obat yang memberikan hasil  sangat efektif  adalah kalium  dan antinobium tartrat secara intravena pada  dosis maksimum dan teratur (Muslim 2009, h. 129).
2.2 Pila ampullacea
 Keong sawah (Pila ampullacea) adalah sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan tawar Asia tropis, seperti di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang ini dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, siput air, atau tutut. Bentuknya agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam.
Sebagaimana anggota Ampullariidae lainnya, ia memiliki operkulum, semacam penutup pelindung tubuhnya yang lunak ketika menyembunyikan diri di dalam cangkangnya. Hewan ini dikonsumsi secara luas di wilayah Asia Tenggara dan memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung protein yang cukup tinggi. Nilai gizi Pila ampullacea dapat di lihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.  Dalam 100 gram  Pila ampullacea mempunyai  nilai gizi  sebagai berikut :
Komponen Gizi
Jumlah
Energi
90 kkal
Ar
79 g
Protein
16,1 g
Karbohidrat
2 g
Lemak
1,4 g
Magnesium
250mg
Kalsium
170 mg
Zat besi
3,5 mg
Fosfor
272 mg
Kalium
382 g
Niasin
1,4 mg
Volat
6mg
Vitamin A
100 IU
Vitamin E
5 mg
      Sumber: USDA 2006
  Nilai gizi Pila ampullacea atau yang dalam bahasa Perancis disebut Escargot, merupakan jenis hewan moluska yang ditemukan di pantai, air tawar yang berbeda digunakan sebagai sumber makanan. Biasanya keong yang dimakan adalah dari jenis Helix pomatia dan Helix aspersa (Baltyra 2011).
Keong telah lama digunakan sebagai salah satu menu konsumsi untuk manusia karena terkenal lezat, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Orang Perancis terkadang menyajikan keong sebagai appetizer sedangkan di Amerika dan Australia, keong yang mereka sebut abalone pada umumnya dikonsumsi sebagai makanan utama, misalnya dalam masakan Spaghetti with escargots dan Abalone in oyster sauce (Baltyra 2011).
Pila ampullacea kaya akan protein, tetapi rendah lemak (lihat tabel terlampir) sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif makanan tinggi protein yang rendah lemak. Dalam seratus gram bagian yang dapat dimakan terdapat 16 g protein sehingga apabila kita mengkonsumsi 100 g Pila ampullacea, tubuh kita sudah mendapat 32% protein dari kebutuhan sehari-hari. Protein menunjang keberadaan setiap sel tubuh dan juga berperan dalam proses kekebalan tubuh. Konsumsi protein hewani dalam makanan sehari-hari diperlukan oleh tubuh disamping protein nabati (Baltyra 2011)
Lemak dalam 100 g Pila ampullacea terdapat dalam jumlah 1,4 g. Lemak yang terdapat dalam Pila ampullacea merupakan asam lemak essensial dalam bentuk asam linoleat dan asam linolenat. Sebuah studi di Brazil menunjukkan bahwa 75% persen lemak dalam Pila ampullacea merupakan asam lemak tidak jenuh yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh tersebut 57% tersusun dari asam lemak tak jenuh ganda dan sisanya merupakan asam lemak tak jenuh tunggal (Baltyra 2011).
Kandungan vitamin pada Pila ampullacea cukup tinggi dengan dominasi vitamin A, vitamin E, niacin dan folat. Vitamin A berperan dalam pembentukkan indra penglihatan yang baik, terutama di malam hari, sebagai salah satu komponen penyusun pigmen mata di retina serta menjaga kesehatan kulit dan imunitas tubuh. Niacin atau vitamin B3 berperan penting dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi, metabolisme lemak, dan protein (Baltyra 2011).
Di dalam tubuh, vitamin B3 memiliki peranan penting dalam menjaga kadar gula darah, tekanan darah tinggi, penyembuhan migrain, dan vertigo. Vitamin E berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan di dalam tubuh, mulai dari jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Vitamin E juga merupakan sebagai senyawa antioksidan alami. Folat berfungsi membantu pembentukan sel darah merah, mencegah anemia, sebagai bahan pembentukan bahan genetik sel, dan sangat esensial selama kehamilan karena mencegah timbulnya kecacatan tabung saraf pada bayi. Apabila kita mengkonsumsi 100 gram kraca, maka kita dapat memenuhi kebutuhan 2% vitamin A, 23% vitamin E, 7% niacin dan 66% folat (Baltyra 2011).
Mineral merupakan zat yang berperan penting pada tubuh manusia untuk pengaturan kerja enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu pembentukan ikatan yang memerlukan mineral seperti pembentukan haemoglobin. Kandungan mineral yang utama pada Pila ampullacea berupa kalsium, zat besi, magnesium, kalium dan fosfor. Apabila kita mengkonsumsi 100 g Pila ampullacea, maka sudah memenuhi 17% kalsium dan 13,5% zat besi untuk kebutuhan tubuh sehari-hari (Baltyra 2011).
Peran utama kalsium adalah untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi. Kekurangan kalsium mengakibatkan terjadinya osteoporosis (keropos pada tulang). Zat besi mempunyai fungsi utama memproduksi hemoglobin dan mioglobin. Zat besi yang berasal dari produk hewani atau disebut juga sebagai besi-hem, akan lebih mudah diserap oleh tubuh. Zat besi pada keong berjumlah 3,5 mg, lebih tinggi daripada zat besi pada daging (2,5 mg) atau ikan (2,4 mg) (Baltyra 2011).
2.2.1      Pencegahan

Pengendalian penyakit dalam arti penurunan tingkat penularan dilakukan dengan jalan mengurangi populasi siput atau Pila ampullacea sebagai induk semang  antara parasit. Kombinasi senyawa cupri sulfat dan carbonat, sodium pentachloro dilaporkan cukup baik  sebagai (mulosisida) pengontrolan populasi Pila ampullacea yang dikenal masyarakat dengan kreco. Pengendalian populasi siput atau Pila ampullacea dan pengobatan pada hewan secara besar-besaran pernah dilakukan di China karena hewan dianggap sebagai reservoir parasit yang dapat menular ke manusia.
Fresco dan bayluscide juga dapat digunakan sebagai mulosisida yang baik. Pemberantasan Pilla ampullacea dalam areal yang luas sulit dilakukan. Kontak antara Pila ampullacea dan hewan dapat dikurangi dengan memberikan pagar di sekeliling danau atau atau kolam air. Pila ampullacea  sebagai induk semang Schistostoma sp. Senang hidup di air tenang atau aliran yang pelan. Aliran air yang deras akan mengurangi populasi Pila ampullacea.
Secara eksperimental, pengendalian secara biologis menggunakan larva trematoda Echinostoma sp sebagai predator dari larva Schistostoma sp dalam tubuh Pila ampullacea cukup berhasil. Namun belum efektif di lapangan. Vaksin terhadap Schistosoma pernah dicoba pada sapi dan domba. Vaksin menggunakan Schistosomula yang dinaktifasi secara radiasi dan suntikan sub-kutan atau intra muskuler memberikan perlindungan sebesar 60%. Secara ekonofilik, vaksin ini memberikan pertambahan berat badan yang nyata dibandingkan dengan hewan kontrol (Irianto,2013, h.397-398).
  Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982  adalah pengobatan masal dengan prazikuantel  yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Subdit, P2M& PLP ) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% setelah pengobatan (Sutanto 2008, h.68).
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi., 2006. Prosedur Penelitian. Edisi Revisi VI. PT Asdi  Mahasatya,  Jakarta.

Baltyra, 2011, keong yang kaya akan gizi,
Budiarto, E 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Widyastuti, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Cahyaningrum,  2012,  Satu Keluarga di Banyumas Keracunan Keong,

Hidayat, A, A, I  2010, Metode Penelitian Kesehatan, Health Books Publishing, Surabaya.
Onggowaluyo. J.S., 2002. Parasitologi Medik I EGC : Jakarta.
Muslim, HM 2009,  Parasitologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.
            Titik, 2013, Inspirasiku,
            http://tulisaninspirasiku.wordpress.com/, diakses pada tanggal 12    Desember 2013.
Notoatmodjo. Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam 2008, Konsep danPenerapan Metodologi penelitian Ilmu Keperawatan,
edk ke 2, Salemba Medika, Jakarta.
Wahyudi, 2011, makan tutut menyebabkan cacingan,.
            http://baltyra.com/2011/09/01/tutut-kraca-–-keong-sawah-yang-kaya-gizi,              diakses pada tanggal 22 Desember 2013
Widodo, H 2013, Parasitologi  Kedokteran,  D-Medika Jogjakarta