CACING SHISTOZOMA
2.1 Schistosoma
Pada manusia ditemukan tiga spesies
cacing Schistosoma yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma
haematobium. Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak
spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat hidup di manusia (Sutanto dkk 2008,
h.61). Spesies cacing yang tergolong trematoda ditemukan pada organ pencernaan
dan beberapa organ lainnya. Morfologi trematoda secara umum berbentuk pipih,
tidak bersegmen, bentuk memanjang seperti
daun, bentuk telur kerucut, silindris dan mempunyai batil hisap kepala dan
perut. Umumnya trematoda bersifat hermafrodit, kecuali genus Schistosoma. Hospes definitif spesies
trematoda golongan vertebrata diantaranya manusia, sedangkan hospes perantaranya
adalah bangsa keong (Muslim 2009, h.125)
2.1.1 Schistosoma japonicum
Hospesnya adalah
manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus
sawah (rattus), sapi, rusa, babi dan
lain-lain. Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental Schistosomiasis, Schistosomiasis japonicum, penyakit kayama atau penyakit demam keong (Sutanto dkk, 2008, h.66)
1. Distribusi
Geografis
|
2. Morfologi
dan Daur Hidup
1.
Telur
Telur berbentuk oval hingga bulat, dan
memerlukan waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit telur. Masa telur menyebabkan tekanan pada
dinding venula yang tipis, yang biasanya
dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar
histolitik mirasidium yang
masih berada di dalam kulit telur.
Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing ditemukan di dalam pembuluh darah.
Penetasan
berlangsung di dalam air walaupun pH, kadar garam, suhu, dan aspek lingkungan
lainnya penting, faktor-faktor di
dalam telur berperan utama dalam proses
penetasan. Migrasi Schistosoma japonicum
ke dalam tubuh mulai dari masuknya
cacing tersebut ke dalam pembuluh
darah kecil, kemudian ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya
tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan
atau gejala, tetapi kadang terjadi
reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya cacing ke dalam paru. Schistosoma japonicum
merupakan penyakit yang
lebih berat dan destruktif dari pada penyakit yang disebabkan oleh
dua spesies lain yang biasa
menginfeksi manusia (Muslim 2009, h.126).
2. Cacing dewasa
Kulit
tubuhnya halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik, walaupun
dalam hospes sering ditemukan berpasangan (cacing betina berada dalam kanalis
ginekoporalis cacing jantan).
a. Cacing Dewasa Jantan
Cacing jantan lebih gemuk
seperti daun melipat mempunyai kanalis ginekoforalis, berukuran 12-20x50-65 mm,
kulit ditutupi duri-duri halus dan lancip, mempunyai batil isap kepala dan
perut, testisnya berjumlah 6-9 buah.
b.Cacing Dewasa Betina
Cacing betina berukuran
26x0,3 mm, langsing dan memanjang, ovarium terletak di bagian lateral, uterus
memanjang dan lurus berisi 50-100 telur (Onggowaluyo 2002 h.62).
Gambar: 2.1 Morfologi Cacing
Dewasa
Gambar: 2.2 Morfologi Telur
Gambar: 2.3 Siklus Hidup Cacing
Schistosoma japonicum
3. Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemik di dua daerah di Sulawesi Tengah,
yaitu di daerah danau Lindu dan lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit
ini ditemukan pada tahun 1972 dan di
daerah lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain manusia
ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai
hospes reservoir yang terpenting adalah spesies tikus sawah (rattus).
Selain itu rusa hutan, babi hutan, babi dan anjing dilaporkan
juga mengandung cacing ini. Hospes
perantaranya, yaitu keong air onicomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971. Habitat keong
di daerah danau Lindu ada 2 macam yaitu,
fokus di daerah yang dianggap seperti ladang,
sawah yang tidak dipakai lagi atau di pinggir
parit diantara sawah, fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah.
Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan
sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal
dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan (Subdit,P2M& PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi
dari 37% turun menjadi 1,5% setelah pengobatan (Sutanto 2008, h.68).
2.1.2 Schistosoma Mansoni
Schistosoma mansoni (large intestinal blood fluke) adalah salah satu spesies trematoda darah yang mempunyai kelamin terpisah. Penyakitnya
disebut Schistosomiasis dan pertama kali ditemukan oleh Mansoni pada tahun 1907. Hospes devinitifnya manusia
dan kera babon di Afrika, sekaligus
menjadi hospes reservoir. Pada manusia, cacing ini menyebabkan Schistosomiasis usus (Muslim 2009,
h.129).
1.
Distribusi Geografik
Schistosoma mansoni ditemukan
di banyak negara di Afrika, Amerika Selatan (Brasil, Suriname dan Venezuela), Karibia
(termasuk Puerto Rico, St Lucia, Guadeloupe, Martinique, Republik Dominika,
Antigua dan Montserat) dan di bagian Timur Tengah (Departement of Parasitology
University Cambridge, 2010).
2. Morfologi
dan Daur Hidup
1)
Telur
Telur berbentuk lonjong, berwarna
coklat kekuningan, dinding hialin, berukuran 114-175x45-64 mikron, pada satu
sisi dekat ujung terdapat duri dekat panjang, isi telur berupa mirasidium. Telur
keluar bersama tinja. Telur matang dalam air menetas dan membebaskan mirasidium
yang berenang aktif. Mirasidium selanjutnya tumbuh menjadi serkaria yang
menembus kulit hospes
2)
Cacing
dewasa
Cacing dewasa memiliki kulit tubuh
halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik memiliki ukuran lebih
kecil.
a.
Cacing
Dewasa Jantan
Cacing jantan panjangnya
6,4-12 mm gemuk, bagian ventralnya terdapat ginaekoforalis, testisnya 6-9 buah
dan kulit terdiri dari duri-duri kasar.
b.
Cacing
Dewasa Betina
Cacing
betina panjangnya 1,7-7,2 mm, kelenjar vetelaria meluas ke pinggir pertengahan
tubuh, ovarium di anterior pertengahan tubuh, uterus pendek berisi 1-4 butir telur. Tempat hidupnya di vena, kolon
dan rekrum (Waluyo 2002, h.62).
Gambar: 2.4 Morfologi Cacing
Dewasa
Gambar: 2.5 Morfologi Telur
Gambar: 2.5 Siklus Hidup cacing Schistosoma mansoni
1. Epidemiologi
Schistosoma mansoni tersebar luas di Sahara
Afrika, Atlantik Amerika Selatan dan
pulau Karibia. Penularannya
terus-menerus melalui budak belian
sehingga ditemukan juga di delta sungai Nil Mesir dan Saudi Arabia. Pada tahun 1996 schistosomiasis usus yang disebabkan oleh S.
mansoni dilaporkan terdapat pada 52 negara di Afrika, bagian timur Mediterania,
Karibia, dan Amerika Selatan. Upaya pencegahan yang dilakukan prinsipnya sama
dengan pencegahan kasus Schistosoma japonicum (Muslim 2009,
h.133).
2.1.3 Schistosoma haematobium
1. Distribusi
Geografis
Nama
penyakit haematobium yang ditimbulkan oleh cacing Schistosoma (bladser blood fluke) adalah hematuria Schistosoma,
Schistosoma vesikalis bilharziasis
urinarius, atau yang sering di sebut
skistosomiasis kandung kemih.
Cara infeksi Schistosoma haematobium yaitu serkaria menembus kulit pada waktu manusia mandi dan masuk ke dalam air yang mengandung serkaria yang merupakan bentuk infektif Schistosoma. Schistosoma haematobium menginfeksi kira-kira 40 juta orang Afrika,
Madagaskar, Turki, Siprus dan Portugal Selatan. Organ yang paling sering diserang adalah kandung
kemih. “Kistitis bilharzial” biasanya terjadi pada orang muda berusia 10-30
tahun. Beberapa kasus terjadi pada
setengah baya dan jarang pada usia
tua. Penyakit ini menyerang ureter, ginjal, vesika seminalis, prostat, uretra.
Saluran seperma epidemis pada testis dan
penis. Pada simpanse, parasit ini pernah
ditemukan pada kandung kemih, rektum, paru,
hati, apendiks dan vena mesentrika (Muslim 2009, h.132).
2. Morfologi
dan Daur Hidup
1)
Telur
Telur
cacing berbentuk lonjong, warna kuning kecoklatan, ukuran 112-170x40-70 mikron,
dinding tampak healin, salah satu ujungnya terdapat duri terminal yang panjang
dan lancip, isi telur berupa mirasidium. Telur cacing keluar dari tubuh
hospes bersama tinja maupun urin. Telur
dalam air menetas dan mengeluarkan
mirasidium yang aktif berenang dan mencari keong yang sesuai (Waluyo 2002
h.62).
2)
Cacing
Dewasa
Cacing dewasa mempunyai kulit tubuh
halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonokoristik. Berukuran 10-20 mm,
tubuh mempunyai tonjolan duri halus.
a.
Cacing
dewasa jantan
Cacing jantan gemuk berukuran
10-15x0,8-1 mm, kulit di tutupi duri-duri halus, batil isap kepala lebih kecil
dari pada batil isap perut, bagian ventral melipat kearah ekor membentuk
kanalis ginaekofilik, di belakang batil isap perut terdapat 4-5 testes, porus
genitalis terletak di bawah batil isap perut.
b.
Cacing
Dewasa Betina
Cacing
betina langsing, berukuran 20x0,25 mm, batil isap kecil, ovarium di posterior
pertengahan tubuh, dan uterus panjang berisi 20-30 telur.
Gambar: 2.Morfologi Cacing
Dewasa
Gambar: 2.8 Morfologi Telur
Gambar:2.9 Siklus Hidup
cacing Schistosoma haematobium
2.2 Epidemiologi
Penyebaran
Schistosoma haematobium manusia
tergantung pada variasi hospes keong air. Schistosoma
haematobium sangat endemis di seluruh lembah sungai Nil dan boleh dikatakan
menyebar di seluruh Afrika, pulau Magasaki, dan Mauritius. Sarang endemis
ditemukan di Israel, Jordania, Syria, Irak, yaman, dan daerah kecil di India Barat. Di Mesir dan bagian
lain benua Afrika sebanyak 75-95% penduduk telah terinfeksi. Kera babon
mendapat infeksi alami, tetapi mungkin
tidak penting untuk penyebaran infeksi. Penyebaran di Indonesia terdapat di
danau Lindu Sulawesi Tengah. Distribusi Schistososma
haematobium sebagian besar di gurun Sahara, di lembah Sungai Nil, di
Afrika, Negara utara lainnya, dan di Timur Tengah. Schistosoma
haematobium adalah jenis parasit yang terdapat di Asia dari dari timur, di China dan
Filipina. Upaya pencegahan yang
dilakukan prinsipnya sama dengan pencegahan kasus Schistosoma
japonicum dan Schistosoma mansoni (Muslim
2009, h.132).
2.1.4 Patologis
dan Gejala klinis
Perubahan disebabkan oleh 3 stadium
perkembangan cacing, yaitu serkaria, cacing dewasa dan terutama telur.
Perubahan pada Schistosomiasis dapat dibagi dalam 3 stadium yaitu: masa
tunas biologis, stadium akut, stadium menahun
1.
Masa
Tunas Biologis
Dimulai ketika serkaria menembus kulit, yang
dapat menimbulkan pruritus dan kemerahan
yang bersifat sementara. Selama infansi hati
dan organ lain oleh cacing yang
belum dewasa, timbul perdarahan berupa petekia dan sarang infiltrasi sel
eosinofil dan leukosit. Pada waktu berakhirnya masa tunas, hati menjadi besar
dan nyeri. Terdapat pula rasa tidak enak pada perut, demam, berkeringat,
menggigil dan kadang-kadang diare.
Cacing muda kemudian bermigrasi melawan aliran darah ke vena mesenterum dan cabang-cabangnya dan
telur menyerbu ke dinding usus. Dengan terjadinya perletakan telur,
stadium akut dimulai. Pada lingkaran
hidup yang normal, telur mencari jalan melewati dinding usus
melewati dinding usus dan masuk ke feses. Apabila terdapat banyak telur disertai darah dan sel
jaringan nekrosis, sejumlah besar telur akan terbawa kembali, masuk ke aliran
hati.
2.
Stadium
Akut
Stadium yang menunjukkan permulaan penyerbuan telur ke dalam usus, hati dan paru. Stadium paru ditandai
oleh demam, malaise, urtikaria, eosinofil, sakit perut, diare, berat badan
menurun, hati agak membesar, dan kadang-kadang limpa membesar. Hepatomegali
timbul lebih dini disusul dengan splenomegali dapat terjadi dalam waktu 5-8
bulan. Telur Schistosoma diletakkan di kelenjar limfe mesentrium dan
di dinding usus. Telur yang
menyerbu menimbulkan infeksi sel
yang hebat di dinding usus dengan proliferasi jaringan ikat yang luas,
pembentukan papiloma, dan thrombosis pembuluh darah kecil. Perubahan ini
bersifat kongesti, mukosa menjadi
bergranula atau mengadakan
hipertrofi, papil yang kekuning-kuningan
dan pembentukan ulkus. Pada penyakit yang lanjut terdapat polip dan striktur.
Lesi yang terberat disebabkan
oleh S.
japonicum yang menghasilkan 10 kali lebih banyak telur dari pada S.
mansoni. Telur ditemukan dalam apendiks
pada 75% kasus infeksi usus, kadang-kadang disertai dengan infeksi bakteri
sekunder, tetapi telur ini jarang
menimbulkan sindrom apendisitis.
Telur yang menjadi emboli terutama menyebabkan proliferasi progresif
dan fibroblastik, fibrosis periduktus dan serosis interstisial dengan hipertensi portal yang semakin tinggi. Zat toksin dari cacing dewasa, pigmentasi dan hipoprotinemia
karena salah gizi mungkin juga memegang peranan dalam pembentukan lesi hati.
Fibrosis hati yang mengarah ke serosis
merupakan hal yang dapat terjadi
pada infeksi S. japonicum. Infeksi
otak yang jarang sekali dapat pula
terjadi terutama disebabkan oleh telur S. japonicum yang menjadi emboli, dan
bereaksi secara mekanis sebagai zat
protein asing, sebagai bahan toksik dan menimbulkan reaksi yang hebat dengan adema, infiltrasi sel pada
susunan saraf, sel-sel raksasa, perubahan pada vena dan degenerasi jaringan sekitarnya.
Sakit di daerah perut, hepatitis, anoreksi,
demam, milgia, disentri dan berat badan menurun adalah gejala khas untuk Schistosomiasis usus. Stadium akut
berlangsung 3 sampai 4 bulan, dan dapat
lebih hebat pada infeksi berat dan infeksi oleh S. japonicum karena jumlah telur yang dihasilkan spesies ini lebih
banyak.
3)
Stadium
Menahun
Terjadi penyembuhan jaringan dengan
pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hati yang semula membesar karena
peradangan, kemudian mengecil karena
terjadi fibrosis yang disebut sirosis. Pada Schistosomiasis, serosis yang terjadi adalah serosis periportal yang
mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam
jaringan hati. Gejala yang timbul adalah spelenomegali dan edema, yang biasanya
ditemukan pada tungkai bawah dapat pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites
dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemisis karena
pecahnya varises esofagus (Muslim 2009, h.126-128).
2.1.2 Diagnosa
Laboratorium
1.Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan
mikroskopis dari telur cacing Schistosoma
dalam tinja dan urin relatif mudah. Pada bilharzionosis vesikal telur dapat dikonsentrasikan
dengan mensentrifus urin. Telur yang berbentuk khas dengan duri terminal mudah ditemukan pada sedimen urin. Pada bilharziosis usus
telur dengan duri lateral sering berada pada lendir yang berdarah yang terdapat dalam tinja. Hasil dapat juga
dengan penelitian mikroskopis dari duri-duri lendir secara rektoskopis.
1)
Metode
Penetasan Mirasidium
Pada infeksi ringan dianjurkan untuk
melakukan metode penetasan mirasidium.
Untuk mengambil tinja sekitar 5 gram,
diaduk dengan 250 NaCl fisiologis, disaring lalu dimasukkan ke dalam gelas kerucut,
setelah terbentuk sedimen proses penjernihan ini diulangi sampai larutan menjadi bening. Gelas kerucut disimpan dalam
lemari es dan dibiarkan semalam. Besok
paginya diberi air hangat sampai suhu
mencapai antara 30-400C karena pengaruh sinar matahari atau cahaya
lampu listrik yang kuat mirasidium akan menetas dalam beberapa menit atau
beberapa jam. Pemeriksaan dilakukan dengan latar belakang gelap untuk dapat
melihat gerakan yang lincah (Irianto 2013,
h.397).
2)
Pemeriksaan
Konsentrasi
Pemeriksaan
Indirek Tinja adalah pemeriksaan secara tidak langsung pada tinja. Pemeriksaan
indirek tinja dengan metode konsentrasi ini memungkinkan bentuk parasit
terkonsentrasi mengapung pada lapisan teratas dari suatu larutan, dimana larutan
tersebut mempunya berat jenis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan BJ
parasit, sedangkan material tinja yang lain (debris) terpisahkan dari parasit,
tenggelam. Prosedur pengapungan dengan
garam pekat sebagai berikut:
a.
Memasukkan larutan garam pekat ke dalam tabung reaksi sebanyak ¼ tabung.
b. Memasukkan 2 gram sampel tinja ke dalam
tabung reaksi.
c.
Menghomogenkan dengan batang pengaduk larutan garam pekat dan sampel tinja.
d. Meletakkan tabung reaksi dalam rak tabung
dengan posisi
tegak
lurus.
e.
Memasukkan larutan garam pekat ke dalam
tabung reaksi
sampai hampir penuh.
f. Menambahkan
sedikit demi sedikit larutan garam pekat sampai
permukaan cembung.
g. Menutup tabung reaksi dengan deck glass,
tunggu 10 menit.
h. Meneteskan 1 tetes larutan lugol pada objeK
glass.
i.
Mengambil obyek gelas dengan pinset, kemudian meletakkan di atas obyek.
i. Mengamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
100x.
2.
Pemeriksaan
Imunologi
Untuk membuktikan penyebab Schistosomiasis berkembang serangkaian
metode yang tidak langsung, tapi sebagai menggunakan material parasit hidup.
Stadium pertumbuhan dipergunakan untuk reaksi presipitasi, Tes Immobilisasi Miracidium
(CHR+Cercarien Hullen Reaction) dan reaksi selubung serkaria. Umumnya sekarang
dipakai CHR, IFAT, dan IHIT. Untuk IFAT dipergunakan serkaria yang diliopilsir
dan difiksasi dengan formalin (Irianto 2013, h.397).
2.1.3 Pengobatan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa obat anti
Schistosomiasis tidak ada yang aman atau agak toksik dan semuanya mempunyai
resiko masing-masing. Pengaruh obat
anti-Schistosoma dapat
menyebabkan terlepasnya pegangan
cacing dewasa pada pembuluh darah sehingga
cacing tersapu ke dalam hati oleh
sirkulasi portal, keamanan ini disebut hepatic
shifty.
Beberapa obat yang mempengaruhi cacing
dewasa ini menghambat sistem enzim
fosfofruktokinase Schistosoma mansoni,
sehingga cacing dewasa tersebut tidak dapat memanfaatkan glikogen. Obat anti Schistosoma
sp diantaranya:
1.
Astiban
TW 56(Stibocaptate atau antimony-demercaptosuccinate, garam Na dan (K)
2.
Nitridasol
(1-Nitro-2 triayzol-2 imidazolidnone) (Ambilhar, CIBA-32,644,Ba)
3.
Prazikuantel
(Embay 8440;Droncit;biltricide) Bayer,A.G, dan Merck Darmstadt
4.
Etinin
(Tartras emetikus):Fuadi Stibofen, reprodal ,neo- antimoson (Antimony-bispyrocatechin-disulfonic-Nacompound)
(Muslim 2009, h.133)
Sebelum
dilakukan pengobatan kemoterapi untuk Schistosomiasis
sebaiknya dilakukan perbaikan gizi penderita. Pada kasus Schistosomiasis haematobium obat yang
memberikan hasil sangat efektif adalah kalium
dan antinobium tartrat secara intravena pada dosis maksimum dan teratur (Muslim 2009, h.
129).
2.2 Pila ampullacea
Keong sawah (Pila ampullacea) adalah sejenis siput air yang mudah dijumpai di perairan tawar Asia tropis, seperti di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang ini dikenal pula
sebagai keong gondang, siput sawah, siput air, atau tutut. Bentuknya
agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi
keong sawah memiliki warna cangkang hijau pekat sampai hitam.
Sebagaimana
anggota Ampullariidae lainnya, ia
memiliki operkulum, semacam penutup pelindung tubuhnya yang lunak ketika
menyembunyikan diri di dalam cangkangnya. Hewan ini dikonsumsi secara luas di
wilayah Asia Tenggara dan memiliki
nilai gizi yang baik karena
mengandung protein yang cukup tinggi.
Nilai gizi Pila ampullacea dapat di
lihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1.
Dalam 100 gram Pila ampullacea mempunyai nilai gizi sebagai berikut :
Komponen Gizi
|
Jumlah
|
Energi
|
90 kkal
|
Ar
|
79 g
|
Protein
|
16,1 g
|
Karbohidrat
|
2 g
|
Lemak
|
1,4
g
|
Magnesium
|
250mg
|
Kalsium
|
170 mg
|
Zat besi
|
3,5 mg
|
Fosfor
|
272 mg
|
Kalium
|
382 g
|
Niasin
|
1,4 mg
|
Volat
|
6mg
|
Vitamin A
|
100 IU
|
Vitamin E
|
5 mg
|
Sumber: USDA 2006
Nilai
gizi Pila ampullacea atau yang dalam
bahasa Perancis disebut Escargot,
merupakan jenis hewan moluska yang
ditemukan di pantai, air tawar yang berbeda digunakan sebagai sumber makanan. Biasanya
keong yang dimakan adalah dari jenis Helix
pomatia dan Helix aspersa (Baltyra
2011).
Keong
telah lama digunakan sebagai salah satu menu konsumsi untuk manusia karena
terkenal lezat, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain.
Orang Perancis terkadang menyajikan keong sebagai appetizer sedangkan di Amerika dan Australia, keong yang mereka
sebut abalone pada umumnya dikonsumsi
sebagai makanan utama, misalnya dalam masakan Spaghetti with escargots dan Abalone
in oyster sauce (Baltyra 2011).
Pila ampullacea kaya akan protein, tetapi
rendah lemak (lihat tabel terlampir) sehingga dapat dijadikan sebagai
alternatif makanan tinggi protein yang rendah lemak. Dalam seratus gram bagian
yang dapat dimakan terdapat 16 g protein sehingga apabila kita mengkonsumsi 100
g Pila ampullacea, tubuh kita sudah
mendapat 32% protein dari kebutuhan sehari-hari. Protein menunjang keberadaan
setiap sel tubuh dan juga berperan dalam proses kekebalan tubuh. Konsumsi
protein hewani dalam makanan sehari-hari diperlukan oleh tubuh disamping
protein nabati (Baltyra 2011)
Lemak
dalam 100 g Pila ampullacea terdapat
dalam jumlah 1,4 g. Lemak yang terdapat dalam Pila ampullacea merupakan asam lemak essensial dalam bentuk asam
linoleat dan asam linolenat. Sebuah studi di Brazil menunjukkan bahwa 75%
persen lemak dalam Pila ampullacea
merupakan asam lemak tidak jenuh yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah.
Asam lemak tidak jenuh tersebut 57% tersusun dari asam lemak tak jenuh ganda
dan sisanya merupakan asam lemak tak jenuh tunggal (Baltyra 2011).
Kandungan
vitamin pada Pila ampullacea cukup
tinggi dengan dominasi vitamin A, vitamin E, niacin dan folat. Vitamin A
berperan dalam pembentukkan indra penglihatan yang baik, terutama di malam
hari, sebagai salah satu komponen penyusun pigmen mata di retina serta menjaga
kesehatan kulit dan imunitas tubuh. Niacin atau vitamin B3 berperan penting
dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi, metabolisme lemak, dan
protein (Baltyra 2011).
Di
dalam tubuh, vitamin B3 memiliki peranan penting dalam menjaga kadar gula
darah, tekanan darah tinggi, penyembuhan migrain, dan vertigo. Vitamin E
berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan di dalam tubuh, mulai dari
jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Vitamin E juga merupakan
sebagai senyawa antioksidan alami. Folat berfungsi membantu pembentukan sel
darah merah, mencegah anemia, sebagai bahan pembentukan bahan genetik sel, dan
sangat esensial selama kehamilan karena mencegah timbulnya kecacatan tabung
saraf pada bayi. Apabila kita mengkonsumsi 100 gram kraca, maka kita dapat
memenuhi kebutuhan 2% vitamin A, 23% vitamin E, 7% niacin dan 66% folat (Baltyra
2011).
Mineral
merupakan zat yang berperan penting pada tubuh manusia untuk pengaturan kerja
enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu pembentukan ikatan
yang memerlukan mineral seperti pembentukan haemoglobin. Kandungan mineral yang
utama pada Pila ampullacea berupa
kalsium, zat besi, magnesium, kalium dan fosfor. Apabila kita mengkonsumsi 100 g
Pila ampullacea, maka sudah memenuhi
17% kalsium dan 13,5% zat besi untuk kebutuhan tubuh sehari-hari (Baltyra 2011).
Peran
utama kalsium adalah untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi.
Kekurangan kalsium mengakibatkan terjadinya osteoporosis (keropos pada tulang).
Zat besi mempunyai fungsi utama memproduksi hemoglobin dan mioglobin. Zat besi
yang berasal dari produk hewani atau disebut juga sebagai besi-hem, akan lebih
mudah diserap oleh tubuh. Zat besi pada keong berjumlah 3,5 mg, lebih tinggi
daripada zat besi pada daging (2,5 mg) atau ikan (2,4 mg) (Baltyra 2011).
2.2.1
Pencegahan
Pengendalian penyakit dalam
arti penurunan tingkat penularan dilakukan dengan jalan mengurangi populasi
siput atau Pila ampullacea sebagai
induk semang antara parasit. Kombinasi
senyawa cupri sulfat dan carbonat, sodium pentachloro dilaporkan cukup
baik sebagai (mulosisida) pengontrolan populasi Pila ampullacea yang dikenal masyarakat dengan kreco. Pengendalian
populasi siput atau Pila ampullacea
dan pengobatan pada hewan secara besar-besaran pernah dilakukan di China karena
hewan dianggap sebagai reservoir parasit yang dapat menular ke manusia.
Fresco dan bayluscide juga
dapat digunakan sebagai mulosisida yang baik. Pemberantasan Pilla ampullacea dalam areal yang luas
sulit dilakukan. Kontak antara Pila
ampullacea dan hewan dapat dikurangi dengan memberikan pagar di sekeliling danau
atau atau kolam air. Pila ampullacea sebagai induk semang Schistostoma sp. Senang hidup di air tenang atau aliran yang pelan.
Aliran air yang deras akan mengurangi populasi Pila ampullacea.
Secara eksperimental,
pengendalian secara biologis menggunakan larva trematoda Echinostoma sp sebagai predator dari larva Schistostoma sp dalam tubuh Pila
ampullacea cukup berhasil. Namun belum efektif di lapangan. Vaksin terhadap
Schistosoma pernah dicoba pada sapi dan
domba. Vaksin menggunakan Schistosomula
yang dinaktifasi secara radiasi dan suntikan sub-kutan atau intra muskuler
memberikan perlindungan sebesar 60%. Secara ekonofilik, vaksin ini memberikan
pertambahan berat badan yang nyata dibandingkan dengan hewan kontrol
(Irianto,2013, h.397-398).
Cara penanggulangan skistosomiasis di
Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
(Subdit, P2M& PLP ) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun
menjadi 1,5% setelah pengobatan (Sutanto 2008, h.68).
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi., 2006. Prosedur Penelitian. Edisi
Revisi VI. PT Asdi Mahasatya, Jakarta.
Baltyra,
2011, keong yang kaya akan gizi,
http://baltyra.com/2011/09/01/tutut-kraca-%e2%80%93-keong-sawah-yang-kaya-gizi/#ixzz28Cndd3sD, diakses pada tanggal 8
januari 2014.
Budiarto,
E 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran
dan Kesehatan Masyarakat, Widyastuti, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Cahyaningrum, 2012, Satu Keluarga di Banyumas Keracunan Keong,
http://regional.kompas.com/read/2012/04/16/15233441/twitter.com, diakses
pada tanggal 22 Desember 2013
Hidayat, A, A, I 2010,
Metode Penelitian Kesehatan, Health
Books Publishing, Surabaya.
Onggowaluyo.
J.S., 2002. Parasitologi Medik I EGC
: Jakarta.
Muslim,
HM 2009,
Parasitologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.
Titik, 2013, Inspirasiku,
http://tulisaninspirasiku.wordpress.com/, diakses pada tanggal 12 Desember 2013.
Notoatmodjo.
Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam 2008, Konsep danPenerapan Metodologi penelitian Ilmu Keperawatan,
edk ke 2, Salemba Medika, Jakarta.
Wahyudi, 2011, makan tutut menyebabkan cacingan,.
http://baltyra.com/2011/09/01/tutut-kraca-–-keong-sawah-yang-kaya-gizi, diakses
pada tanggal 22 Desember 2013
Widodo, H 2013, Parasitologi
Kedokteran, D-Medika
Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar