ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS)
1. Pengertian ODHA
Menurut Kristina 2005 yang dikutip Syaiful 2000 mengatakan bahwa
Dalam bahasa inggris orang yang terinfeksi HIV/AIDS itu disebut PLWHA (People Living with HIV/AIDS), sedangkan di Indonesia kategori ini diberi nama ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) baik keluarga serta lingkungannya.
2.Pengertian HIV/AIDS
Menurut ( Maryunani. A, 2009: 23 ) AIDS adalah kependekan dari ‘Acquired Immune Deficiency Syndrome’. Aquired artinya didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah lahir. Jelasnya AIDS adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya system kekebalan tubuh manusia yang didapat (bukan karena keturunan), tetapi di sebabkan oleh virus HIV.
Menurut ( Nugroho. T, 2010: 94 ) Aquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit yang merupakan kumpulan gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi virus HIV. Sedangkan HIV adalah singkatan dari Human Immuno Virus’ yang berarti virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Hal ini bisa terjadi karena HIV merupakan family retrovirus, yang menyerang system kekebalan tubuh terutama limfosit. Oleh karena HIV merusak sel-sel darah putih, lama kelamaan sistem kekebalan tubuh manusia pun ambruk. Pada saat itulah berbagai penyakit yang dibawa virus, kuman, bakteri dan lain-lain sangat mudah menyerang seseorang yang sudah terinfeksi HIV. Jadi, HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS.
Menurut ( Maryunani. A, 2009: 24 ) Perbedaan antara penderita HIV positif dengan penderita AIDS adalah Kalau penderita HIV positif adalah seseorang yang tertular virus HIV, nampak sehat tanpa gejala penyakit apapun, tetapi dapat menularkan virus AIDS kepada orang lain. Sedang penderita AIDS adalah seseorang yang menunjukkan gejala dari sekumpulan penyakit yang setelah sekian waktu terinfeksi HIV. Dan biasanya timbul antara 5-10 tahun setelah tertular HIV.
3. Penularan HIV/AIDS
Menurut ( Maryunani. A, 2009: 51 ) sebenarnya virus HIV itu tidak mudah menular seperti penularan virus influenza karena virus HIV ini terdapat di dalam darah, cairan sperma, cairan vagina dan sedikit dalam ASI pengidap HIV/AIDS. Cara penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui:
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV
Melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV tanpa perlindungan. Yang dimaksud hubungan seksual di sini adalah hubungan yang dilakukan secara vaginal, anal, dan oral. Hubungan oral adalah hubungan seksual yang menggunakan mulut sebagai pengganti vagina mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan hubungan vaginal atau anal. Kalau tidak memakai kondom, seorang pengidap bisa menularkan virus ini, selama hubungan kelamin berlangsung, air mani, cairan vagina dan kadang darah mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau mulut. Akibatnya, HIV yang terdapat dalam cairan-cairan tersebut dapat meresap kedalam aliran darah. Saat berhubungan seksual juga sering terjadi lecet-lecet yang ukurannya mikroskopis (hanya dapat dilihat dengan mikroskop) pada dinding vagina, kulit penis, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan bagi virus HIV untuk masuk ke aliran darah pasangannya.
b. Darah yang sudah tercemar HIV.
Orang terjangkit HIV jika darah yang tercemar HIV masuk dalam darah mereka, darah yang tercemar ini dapat masuk ke tubuh mereka melalui suatu transfusi darah (penerimaan darah atau produk darah) yang tercemar. Darah yang tercemar ini dapat pula berasal dari suatu jarum (jarum suntik, tindik, tato) atau pisau yang telah digunakan pada seseorang yang telah kejangkit HIV dan tidak disterilkan setelah digunakan. Penularan HIV dengan cara ini banyak sekali terjadi pada mereka yang kecanduan narkoba yang dusuntikkan.
c. Penularan dari ibu pengidap HIV kepada Bayi atau Anak mereka. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi:
1. Selama kehamilan
Ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko kejadian 5- 10%.
2. Selama persalinan
Dengan resiko kejadian 10-20%,sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan. Hal ini disebabkan karena pada saat proses persalinan, tekanan pada plasenta, terutama plasenta yang mengalami peradangan atau terinfeksi meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara darah ibu dengan darah bayi. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat pula terjadi pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jalan lahir. Hal ini disebabkan karena:
a) Kulit bayi baru lahir masih sangat lemah dan lebih mudah terinfeksi bila kontak dangan HIV.
b) Kemungkinan bayi menelan darah atau lendir ibu sehingga bayi dapat terinfeksi HIV.
d. Selama Menyusui (Setelah Melahirkan)
Bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang mengidap HIV dengan resiko kejadian 10-15%. Berkenaan dengan bayi dan anak-anak, berbagai sumber mengungkapkan adanya fakta-fakta sebagai berikut:
1. HIV dapat di transmisikan kepada seorang bayi selama kehamilan atau pada saat melahirkan.
2. Seorang ibu yang terinfeksi HIV berkemungkinan memperoleh bayi dengan HIV dengan perbandingan 1:4 untuk setiap kehamilan.
3. HIV dapat diteruskan kepada seorang bayi melalui proses menyusui dari seorang ibu yang terinfeksi HIV.
4. Anak-anak dan remaja dapat memperoleh HIV dari kontak cairan darah atau cairan tubuh atau melalui seks yang meliputi kekerasan seksual, pemaksaan atau eksploitasi seks untuk tujuan komersial.
Sedang menurut ( Nugroho. T, 2010: 95 ) penularan HIV yang tersebut diatas bahwa transpalantasi jaringan atau organ dari penderita HIV itu juga bisa menyebabkan penularan HIV.
Menurut ( Kristina 2005 yang dikutip dari Syaiful 2000 ) menyimpulkan bahwa HIV itu tidak begitu mudah menular dan penularannya dapat dicegah apabila diambil langkah yang tepat, yaitu memakai kondom bila berhubungan seksual dengan orang yang tidak diketahui status HIVnya, skrining darah, dan pemakaian alat suntik yang disterilisasi. HIV sangat mudah mati di luar tubuh manusia dan sangat sensitif terhadap suhu. Pada suhu 60º celcius HIV sudah mati. Jadi, sangatlah tidak masuk akal kalau dikira orang yang membawa-bawa jarum suntik yang katanya sudah berisi darah yang tercemar HIV ke pusat-pusat perbelanjaan, lalu menyuntikkannya kepada orang lain untuk menularkan virus itu kepadanya.
4. HIV Tidak Menular Melalui:
Menurut ( Maryunani. A, 2009: 53 ) HIV itu tidak ditularkan melalui:
a. Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan seksual).
b. Makan, minum bersama dengan penderita dan peralatan makan seperti piring, sendok, garpu, gelas, sumpit dan lain-lain yang dipakai bersama dengan pengidap HIV.
c. Bersentuhan dengan pakaian dan barang-barang lain bekas penderita AIDS seperti handuk, saputangan, sisir rambut, sprei dan kakus/WC.
d. Meraba, memeluk, bersalaman, menangis, duduk berdekatan atau berpegangan sama penderita dengan cara biasa.
e. Berpelukan atau berciuman dengan orang yang terinfeksi HIV (kalau sedang menderita sariawan atau luka lain dimulut, disarankan tidak berciuman dengan mulut).
f. Penderita AIDS bersin atau batuk didekat kita.
g. Bersama-sama renang dikolam renang.
h. Gigitan serangga seperti nyamuk, kupu-kupu, tawon, kunang-kunang, dan lain-lain yang menyentuh orang yang terinfeksi HIV, kemudian hinggap pada orang lain tidak akan menularkan HIV.
i. Penggunaan telepon dan lain-lain.
5. Cara-cara Pencegahan Penularan HIV
Menjaga agar jangan sampai cairan tubuh yang telah tercemar HIV masuk ke dalam tubuh.
Cara pencegahannya tergantung dari cara penularannya:
a. Mencegah penularan HIV lewat hubungan seks
Untuk mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual ada tiga cara :
1. Berpantang seks (tidak melakukan hubungan seks).
2. Melakukan prinsip monogami antara pasangan yang tidak terinfeksi yaitu tidak berganti-ganti pasangan dan saling setia kepada pasangannya.
3. Penggunaan kondom pria atau kondom wanita secara konsisten dan benar.
b. Mencegah penularan lewat alat-alat yang tercemar darah HIV
Untuk mencegah penularan lewat alat-alat yang tercemar darah HIV ada dua hal yang perlu diperhatikan :
1. Semua alat yang menembus kulit dan darah (seperti jarum suntik, jarum tato, atau pisau cukur) harus disterilisasi dengan cara yang benar.
2. Jangan memakai jarum suntik atau alat yang menembus kulit bergantian dengan orang lain.
c. Mencegah penularan HIV lewat transfusi darah atau produk darah lain.
Untuk mencegah penularan lewat transfusi darah atau produk darah lain, perlu skrining terhadap semua darah yang akan ditransfusikan atau yang akan dipergunakan untuk diproses sebagai produk darah. Jika darah ini ternyata sudah tercemar harus dibuang.
d. Mencegah penularan dari ibu yang terinfeksi HIV kejaninnya
Bila Ibu telah mengidap HIV, maka janin yang di dalam rahimnya dapat terinfeksi HIV atau dapat pula terjadi infeksi pada saat proses kelahiran berlangsung. Bila Ibu baru terinfeksi HIV, tetapi belum menampakkan gejala-gejala AIDS, maka kemungkinan bayi tersebut terinfeksi HIV 20% sampai 35%, sebaliknya, bila Ibu telah benar-benar menunjukkan gejala-gejala AIDS yang jelas, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV menjadi 50%. yang perlu diperhatikan adalah bila bayi tersebut dilahirkan sebagai pengidap HIV, maka usianya hanya sekitar 1 – 5 tahun saja.
6.Kekeliruan Tentang Penularan
Menurut Kristina 2005 yang dikutip dari Syaiful 2000 menegaskan bahwa HIV bukan merupakan suatu penyakit, tetapi suatu virus yang hanya tertular melalui media darah, cairan sperma dan vagina. Sedang pada cairan tubuh lainnya konsentrasi HIV sangat rendah, sehingga cairan itu tidak bisa menjadi media penularan. HIV juga tidak bisa menular melalui udara seperti TBC.
Kecenderungan mengecap daerah tertentu, tempat-tempat pelacuran ‘formal’ (lokalisasi) maupun tempat-tempat pelacuran liar, sebagai daerah ‘rawan AIDS’ juga keliru, karena bukan suatu tempat yang rawan AIDS, tetapi manusia yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV, dimanapun mereka berada. Dan bila kedatangan seorang ODHA menimbulkan reaksi keras dari penduduk, itu terjadi karena ada masyarakat yang tidak diberitahukan kedatangan seorang ODHA tidak dengan sendirinya membahayakan. Penduduk tidak akan tertular HIV melalui udara dan penduduk setempat cukup menjaga diri dengan menghindari hubungan seksual yang tidak aman dengan ODHA itu.
7. Dampak sikap negatif pada ODHA
Pada kenyataannya sikap masyarakat yang memberikan sikap negatif terhadap ODHA hanya menambah tingkat permasalahan yang menimbulkan efek psikologi yang berat terhadap ODHA. Hal ini bisa mendorong dalam beberapa kasus, seperti terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. ODHA yang seharusnya memperoleh dukungan dari semua pihak khususnya dukungan emosional sehingga permasalahan yang dialami ODHA tidak meluas tapi sebaliknya orang yang memiliki sikap negatif terhadap ODHA cenderung malah menolak kehadiran ODHA. Sikap negatif ini juga dapat menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak. Akhirnya, ODHA dilihat sebagai suatu masalah, bukan sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi masalah ini. sebuah proses yang seharusnya mendorong penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA sebagai warga masyarakat kelas dua atau inferior, yang dapat menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA ( Agung, 2008).
8. Bagaimana seharusnya masyarakat bersikap pada ODHA
Masyarakat seharusnya memberikan dukungan, yang khususnya dukungan emosional pada ODHA sehingga permasalahan yang dialami oleh ODHA tidak meluas. Ketika ODHA sudah mencapai masa AIDS, keluarga dan teman serta lingkungannya diharapkan memberikan dukungan yang positif agar semangat hidupnya tetap tinggi. Masyarakat mempunyai beberapa tanggung jawab yang sangat penting untuk penanggulangan HIV/AIDS, yaitu: mencari dan memberikan informasi yang jelas dan benar kepada orang yang memerlukannya tentang penularan HIV/AIDS, bersikap bersahabat, tidak menggosipkan, dan meremehkan ODHA, mendukung dan membantu program pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS, membantu ODHA menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya, dan membantu ODHA membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam kehidupan lainnya (Laras, 2011).
9. Psikoneuroimunologi Pada Pasien HIV/AIDS
Menurut Putra (1999), psikoneuroimmunologi pada awal perkembangannya dipahami sebagai field of study. Pemahaman ini didasarkan keterlibatan tiga bidang kajian; (1) Psikologi, (2) Neurologi, dan (3) Imunologi. Secara historis, konsep psikoneuroimmunologi muncul sekitar tahun 1975, oleh R. Ader dan C. Holder (Putra, 1999). Psikoneuroimmunologi muncul setelah munculnya konsep pemikiran imunopatobiologik dan imunopatologik. Fakta imunopatobiologik menunjukkan bahwa kerentanan infeksi dan metastasis pada individu yang mengalami stres disebabkan oleh penurunan ketahanan imunologik. Sedangkan kelainan mukosal yang memunculkan pemikiran respons imun yang melukai merupakan fakta imunopatologik. Karena kedua pendekatan model berpikir tersebut dalam mengungkap patogenesis dianggap kurang holistik, maka munculah ilmu baru yang sekarang dikenal dengan psikoneuroimmunologi, yang dikembangkan atas dasar keterkaitan antara tiga konsep, yaitu behaviour, neuroendokrin dan konsep imunologik.
Pertama kali efek stresor terhadap imunitas telah dibuktikan Ader dan Friedman pada tahun 1964 (Putra, 2004). Penelitian tersebut telah membuka jendela hubungan antara psikologi perkembangan dan respons sistem imun terhadap stresor (Biondi, 2001). Seperti telah dijelaskan terdahulu, bahwa stresor adalah stimuli yang menimbulkan stres, dan stres mempunyai triad, yaitu aktivasi, resisten (adaptasi), dan ekshausi. Stres psikososial pasien terinfeksi HIV berlanjut, akan mempercepat kejadian AIDS dan bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997) jika stres mencapai tingkat exhausted stage dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun, yang memperparah keadaan pasien dan mempercepat kejadian AIDS. Modulasi respons imun akan menurun secara signifikan, seperti aktivitas APC (makrofag); Th1 (CD4); IFNg; IL-2; Imunoglobulin A, G, E dan Anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4 hingga mencapai 180 cells/mL per tahun. Pasien yang mengalami stres yang berkepanjangan, berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, melalui sel astrosit pada cortical dan amigdala pada sistem limbik berefek pada hipotalamus. Kemudian hipofisis akan menghasilkan CRF, yaitu pada sel basofilik. Sel basofilik tersebut akan mengekspresikan ACTH (adrenal cortico tropic hormone) yang akhirnya dapat mempengaruhi kelenjar kortek adrenal pada sel zona fasiculata, kelenjar ini akan menghasilkan cortisol yang bersifat immunosupressive. Apabila stres yang dialami pasien sangat tinggi, maka kelenjar adrenal akan menghasilkan cortisol dalam jumlah banyak sehingga dapat menekan sistem imun (Apasou & Sitkorsky, 1999), yang meliputi aktivitas APC (makrofag); Th-1 (CD4); dan sel plasma: IFNg; IL-2; IgM – IgG dan Antibodi-HIV (ninuk, 2007).
10. Penelitian tentang pengaruh pendidikan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS terhadap sikap masyarakat pada ODHA
a. Berdasarkan penelitian Saudara Sugiyanto (2010) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Penularan HIV/AIDS Terhadap Pengetahuan dan Stigma Masyarakat Pada ODHA Di SMA Kristen Palopo” dalam Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Bhakti Pertiwi Luwu Raya-Palopo, terdapat pengaruh yang signifikan antara pemberian pendidikan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan stigma masyarakat pada pederita HIV/AIDS (ODHA).
b. Berdasarkan penelitian Saudari Kristina (2005) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Penularan HIV/AIDS Terhadap Pengetahuan dan Stigma Masyarakat Pada ODHA Di SMU IMANUEL Samarinda” dalam Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, terdapat pengaruh antara pemberian pendidikan kesehatan tentang penularan HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan stigma masyarakat pada pederita HIV/AIDS (ODHA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar