Dr. Suparyanto, M.Kes
TEORI KEMISKINAN
2.3.1.
Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan secara umum dapat
diartikan sebagai kondisi individu penduduk atau keluarga yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidup dasarnya secara layak. Namun beberapa institusi atau
pihak telah menetapkan acuan dalam penentuan kreteria penduduk miskin.
Terjadinya kemiskinan penduduk
secara garis besar disebabkan oleh faktor ekternal dan internal penduduk.
Kemiskinan dilihat dari penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Kemiskinan absolut dan Kemiskinan struktural. Kemiskinan absolut yaitu
kemiskinan yang disebabkan faktor internal penduduk sendiri. Misalkan
disebabkan tingkat pendidikan rendah, ketrampilan rendah, budaya dan
sebagainya. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor
eksternal sehingga kemampuan akses sumberdaya ekonomi rendah, pada gilirannya
pendapatan penduduk menjadi rendah.
Menurut Kuncoro (2004),
pengukuran kreteria garis kemiskinan di Indonesia diukur untuk kemiskinan
absolut. Institusi pemerintah yang biasa menetapkan kreteria garis kemiskinan
yaitu Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut BPS (1994), kreteria batas miskin
menggunakan ukuran uang rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimum makanan dan bukan makanan. Berarti kreteria garis kemiskinan
diukur dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan
bukan makanan.
Kemiskinan
merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya
sesuai dengan standar yang berlaku. Hendra Esmara (1986) mengukur dari
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar yang
berlaku, maka kemiskinan dapat dibagi tiga:
1. Miskin absolut yaitu apabila hasil pendapatannya berada di
bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum;
pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan.
2. Miskin relatif yaitu seseorang sebenarnya telah hidup di atas
garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
3. Miskin kultural yaitu berkaitan erat dengan sikap seseorang
atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantu.
Pengalaman
di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi
pendapatan saja tidak mampu memecahkan permasalahan komunitas. Karena
permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi
berbagai masalah lainnya. Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan
kemiskinan plural. Delina Hutabarat (1994), menyebutkan sekurang-kurangnya ada
enam macam kemiskinan yang ditanggung komunitas yaitu:
1. Kemiskinan Subsistensi yaitu penghasilan rendah, jam kerja
panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal.
2. Kemiskinan Perlindungan yaitu lingkungan buruk (sanitasi,
sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas
hak pemilikan tanah.
3. Kemiskinan Pemahaman yaitu kualitas pendidikan formal buruk,
terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak,
kemampuan, dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
4. Kemiskinan Partisipasi yaitu tidak ada akses dan control atas
proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
5. Kemiskinan Identitas yaitu terbatasnya pembauran antar kelompok
sosial, terfragmentasi.
6. Kemiskinan Kebebasan yitu stress, rasa tidak berdaya, tidak
aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas.
Menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia, secara harfiah kata miskin diberi arti tidak
berharta benda. Sayogyanya membedakan tiga tipe orang miskin, yakni miskin (poor),
sangat miskin (very poor) dan termiskin (poorest). Penggolongan
ini berdasarkan pendapatan yang diperoleh setiap tahun. Orang miskin adalah
orang yang berpenghasilan kalau diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320
kg/orang/tahun. Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan minimum
(1,900 kalori/orang/hari dan 40 gr protein/orang/hari). Orang yang sangat
miskin berpenghasilan antara 240 kg sampai 320 kg beras/orang/tahun, dan orang
yang digolongkan sebagai termiskin berpenghasilan berkisar antara 180 kg, 240
kg beras/orang/tahun.
Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang asupan
kalorinya di bawah 2,100 kalori berdasarkan kategori food dan nonfood diukur
menurut infrastruktur antara lain jalan raya, rumah, serta ukuran sosial berupa
kesehatan dan pendidikan. Menurut
ketentuan BPS kebutuhan makanan minimum per kapita penduduk yaitu sebanyak
2.100 kalori per hari. Mengingat bahan makanan penduduk berbeda-beda, maka
ukuran konsumsinya dilihat dari jumlah rupiahnya.
Pendekatan garis kemiskinan
lainnya yang dikemukakan oleh Sayogo (dalam Kuncoro, 2004), menggunakan dasar
harga beras. Menurut Sayogo, definisi kemiskinan adalah tingkat konsumsi per
kapita setahun yang sama dengan beras. Berarti jumlah uang rupiah yang
dibelanjakan setara dengan nilai beras sebanyak 20 kilogram untuk daerah
perdesaan dan 30 kilogram daerah perkotaan.
2.3.2. Konsep dan Indikator Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia
Masalah
kemiskinan bisa ditinjau dari lima sudut, yaitu prosentase penduduk miskin,
pendidikan (khususnya angka buta huruf), kesehatan (antara lain angka kematian
bayi dan anak balita kurang gizi), ketenagakerjaan, dan ekonomi
(konsumsi/kapita). Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi
hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber
daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak
kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik
bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak dasar masyarakat miskin,
Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama, antara lain pendekatan
kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan
pendekatan objektif dan subjektif.
Pendekatan
kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang,
keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan,
sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan
sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya
penguasaan aset dan alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau
perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam
masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang
di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Keterbatasan kemampuan
ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam
pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai
pendekatan kesejahteraan menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang
harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan subyektif menilai
kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri (Stepanek,
1985).
Indikator-indikator
utama kemiskinan berdasarkan pendekatan di atas yang di kutip dari Badan Pusat
Statistik, antara lain sebagai berikut:
1.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
2.
Tidak adanya akses terhadap
kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan
transportasi).
3.
Tidak adanya jaminan masa depan
(karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
4.
Kerentanan terhadap goncangan
yang bersifat individual maupun massa.
5.
Rendahnya kualitas sumber daya
manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
6.
Kurangnya apresiasi dalam
kegiatan sosial masyarakat.
7.
Tidak adanya akses dalam lapangan
kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
8.
Ketidakmampuan untuk berusaha
karena cacat fisik maupun mental.
9.
Ketidakmampuan dan
ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah
tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Indikator
kemiskinan menurut Bappenas (2006) adalah terbatasnya kecukupan dan mutu
pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya
akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya akses terhadap air
bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya
kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, lemahnya jaminan rasa aman,
lemahnya pertisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya
migrasi.
2.3.3. Penyebab
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu problem sosial yang amat serius.
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah
mengidentifikasi apa sebenarnya yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan dan
bagaimana mengukurnya. Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang
berbeda pula. Setelah itu, dicari faktor-faktor dominan (baik yang bersifat
kultural maupun struktural) yang menyebabkan kemiskinan. Langkah berikutnya
adalah mencari solusi yang relevan untuk memecahkan problem dengan cara
merumuskan strategi mengentaskan kelompok miskin atau masyarakat miskin.
Kemiskinan menurut Sharp (1996), dari sisi ekonomi penyebabnya
dibagi menjadi tiga yaitu: Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul
karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan
distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya
alam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul
akibat perbedaan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang
rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya randah.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib
yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan
muncul akibat perbedaan dalam akses modal.
Sedangkan
Nasikun menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan,
yaitu:
1.
Policy induces processes, yaitu proses kemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui
pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah
kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
2.
Socio-economic Dualism,
yaitu negara ekskoloni yang mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial,
yaitu petani menjadi marginal karena tanah yang paling subur dikuasai petani
skala besar dan berorientasi ekspor.
3.
Population Growth, yaitu perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa
pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti
deret hitung.
4.
Resources management and The
Environment, yaitu adanya unsur misalnya
manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang
asal tebang akan menurunkan produktivitas.
5.
Natural Cycles and Processes, yaitu kemiskinan yang terjadi karena siklus alam. Misalnya
tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir
tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan
produktivitas yang maksimal terus-menerus.
6.
The Marginalization of Woman, yaitu peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap
sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang
diberikan lebih rendah dari laki-laki.
7.
Cultural and Ethnic Factors, yaitu bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara
kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen
raya, serta adat-istiadat yang konsumtif saat upacara adat-istiadat keagamaan.
8.
Explotative Intermediation, yaitu keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti
rentenir (lintah darat).
9.
Internal Political
Fragmentation and Civil stratfe, yaitu suatu
kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya yang
kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan.
10.
International Processes, yaitu bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan
kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin.
Selain
beberapa faktor di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di
pedesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki, yaitu:
- Natural Assets;
seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya
menguasai lahan yang kurang memadai untuk mata pencahariannya.
- Human Assets;
menyangkut kualitas sumber daya manusia yang relatif masih rendah
dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, pengetahuan,
keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).
- Physical Assets;
minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan,
listrik dan komunikasi.
- Financial Assets;
berupa tabungan (saving), serta akses untuk memperoleh modal usaha.
- Sosial Assets;
berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining
position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan
telah banyak dilakukan di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh Sumarto
(2002) dari SMERU Research Institute. Penelitian ini melakukan studi pada 100
desa selama periode Agustus 1998 hingga Oktober 1999. Berdasarkan hasil studi
tersebut ada beberapa hal yang menjadi temuan berkaitan dengan penanggulangan
kemiskinan antara lain:
- Terdapat hubungan negatif yang sangat kuat antara
pertumbuhan dan kemiskinan. Artinya ketika perekonomian tumbuh, kemiskinan
berkurang; namun ketika perekonomian mengalami kontraksi pertumbuhan,
kemiskinan meningkat lagi.
- Pertumbuhan tidak mengurangi kemiskinan secara
permanen. Walaupun terjadi pertumbuhan dalam jangka panjang selama periode
sebelum krisis, banyak masyarakat yang tetap rentan terhdap kemiskinan.
Oleh arena itu, manajemen kejutan (management of shocks) dan jaring
pengaman harus diterapkan.
- Pertumbuhan secara kontemporer dapat mengurangi kemiskinan.
Sehingga pertumbuhan yang berkelanjutan penting untuk mengurangi
kemiskinan.
- Pengurangan ketimpangan mengurangi kemiskinan secara
signifikan. Sehingga sangat tepat untuk mencegah pertumbuhan yang
meningkatkan ketimpangan.
- Memberikan hak atas properti dan memberikan akses
terhadap kapital untuk golongan masyarakat miskin dapat mengurangi
kesenjangan, merangsang pertumbuhan, dan mengurangi kemiskinan.
2.3.4. Karekteristik atau Ciri-ciri Penduduk Miskin
Emil
Salim (1976) mengemukakan lima karakteristik kemiskinan, kelima karakteristik
kemiskinan tersebut adalah:
- Penduduk miskin pada umumnya tidak
memiliki faktor produksi sendiri.
- Tidak mempunyai kemungkinan untuk
memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri.
- Tingkat pendidikan pada umumnya sendiri.
- Banyak diantara mereka tidak mempunyai
fasilitas.
- Diantara mereka berusaha relatif muda
dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Ciri-ciri kelompok (penduduk)
miskin, yaitu :
- Rata-rata tidak mempunyai faktor
produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan keterampilan.
- Mempunyai tingkat pendidikan yang
rendah.
- Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri
dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau
menganggur (tidak bekerja).
- Kebanyakan berada di pedesaan atau
daerah tertentu perkotaan (slum area).
- Kurangnya kesempatan untuk memperoleh
(dalam jumlah yang cukup), bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan,
fasilitas kesehatan sosial lainnya.
Kelompok
penduduk miskin yang berada pada masyarakat pedesaan dan perkotaan, pada
umumnya dapat digolongkan pada buruh tani, petani gurem, pedagang kecil,
nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan,
pemulung, gelandangan, pengemis, dan pengangguran.
Untuk
mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan
dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks
Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan prosentase penduduk
miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada
tingkat yang selalu konstan secara riil sehinga kita dapat mengurangi angka
kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan
kemiskinan di sepanjang waktu. Salah satu cara mengukur kemiskinan yang
diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara
masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau
koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien gini
atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak
guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada
tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarakat miskin. Prinsip-prinsip
untuk mengukur kemiskinan, yakni :
- Anonimitas independensi, yaitu ukuran
cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau pada
apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit.
- Monotenisitas, yakni bahwa jika kita
memberi sejumlah uang kepada seseorang yang berada dibawah garis
kemiskinan, jika diasumsikan semua pendapatan yang lain tetap maka
kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya.
- Sensitivitas distribusional, yaitu
menyatakan bahwa dengan semua hal lain konstan, jika mentransfer
pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian
akan menjadi lebih miskin.
2.3.5. Model Solusi Kemiskinan
Pengalaman di negara-negara Asia menunjukkan berbagai model
mobilisasi perekonomian pedesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu: Pertama,
mendasarkan pada mobilitas tenaga kerja yang masih belum didaya gunakan (idle)
dalam rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di pedesaan
(Nurkse, 1953). Tenaga kerja yang masih belum didayagunakan pada rumah tangga
petani kecil dan gurem merupakan sumberdaya yang tersembunyi dan potensi
tabungan. Alternatif cara untuk memobilisasi tenaga kerja dan tabungan
pedesaaan adalah: 1) menggunakan pajak langsung atas tanah, seperti yang
dilakukan di Jepang. 2) dilakukan dengan menyusun kerangka kelembagaan di
pedesaan yang memungkinkan tenaga kerja yang belum didayagunakan untuk
pemupukan modal tanpa perlu menambah upah. Ini persis yang dilakukan Cina yang
menerapkan sistem kerjasama kelompok dan brigades ditingkat daerah yang
paling rendah (communes). Dengan metode ini ternyata memungkinkan adanya
kenaikan yang substansial dalam
itensitas tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja.
Model kedua, menitik beratkan pada tranfer daya dari
pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (Fei & Gustav, 1964). Ide
bahwa penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas dari rumah tangga petani kecil
dapat meningkatkan tabungan dan formasi modal lewat proses pasar. Pengalaman
Taiwan menyajikan contoh yang baik atas mobilisasi sumber daya dari sektor
pertanian mengandalkan mekanisme pasar, tanpa menggunakan instrumen pajak
seperti yang dilakukan oleh Jepang. Proporsi output sektor pertanian sebagian
besar tetap dijaga sebagai surplus lewat intermediasi pemilik tanah dan melalui
nilai tukar (terms of trade) sebelum Perang Dunia II.
Model ketiga, menyoroti pesatnya pertumbuhan dalam sektor
pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor yang
memimpin (Mellor, 1976), Model ini dikenal dengan nama Model Pertumbuhan
Berbasis Teknologi, atau Rural-Led Development. Proses ini akan berhasil
apabila dua syarat berikut terpenuhi: 1) kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan
output pertanian yang tinggi; 2) proses ini juga menciptakan pola permintaan
yang kondusif terhadap pertumbuhan. Pada gilirannya ini tergantung dari dampak
keterkaitan ekonomi pedesaan lewat pengeluaran atas barang konsumsi yang
dipasok dari dalam sektor itu sendiri, dan melalui investasi yang didorong.
Model keempat, menyoroti
dimensi spasial dalam menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan bisa diatasi dengan
cara kemudahan dalam mengakses dua bidang, yaitu: 1) bidang ekonomi dan 2)
bidang sosial (Kuncoro, 2004). Akses dalam bidang ekonomi dibagi menjadi dua
yaitu: akses terhadap lapangan kerja dan akses terhadap faktor ekonomi. Akses
terhadap faktor produksi terdiri dari: 1) Kemudahan masyarakat dalam mengakses
modal usaha, 2) kemudahan masyarakat dalam mengakses pasar, 3) kemudahan
masyarakat dalam kepemilikan modal. Sedangkan akses dalam bidang sosial dibagi
menjadi dua yaitu: akses terhadap fasilitas pendidikan dan akses terhadap
fasilitas kesehatan.
2.3.6. Efek Lingkaran
Perangkap Kemiskinan Terhadap Pembangunan Ekonomi
Yang
dimaksudkan dengan lingkaran perangkap kemiskinan (the vicious circle of
poverty), atau dengan singkat perangkap kemiskinan, adalah serangkaian
kekuatan yang saling mempengaruhi secara sedemikian rupa sehingga menimbulkan
keadaan di mana sesuatu negara akan tetap miskin dan akan tetap mengalami
banyak kesukaran untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Teori ini
terutama dikaitkan kepada nama Nurkse, seorang ahli ekonomi yang merintis
penelaahan mengenai masalah pembentukan modal di negara berkembang.
Dalam
mengemukakan teorinya tentang lingkaran perangkap kemiskinan pada hakikatnya
Nurkse berpendapat bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh ketiadaan
pembangunan masa lalu tetapi juga menghadirkan hambatan kepada pembangunan di
masa yang akan datang. Sehubungan dengan hal ini Nurkse mengatakan : “Suatu
negara jadi miskin karena ia merupakan negara miskin” (A country is poor
because it is poor). Menurut pendapatnya lingkaran perangkap kemiskinan
yang terpenting adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan timbulnya hambatan
terhadap terciptanya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Di satu pihak
pembentukan modal ditentukan oleh tingkat tabungan, dan di lain pihak oleh
perangsang untuk menanam modal. Di negara berkembang kedua faktor itu tidak
memungkinkan dilaksanakannya tingkat pembentukan modal yang tinggi. Jadi
menurut pandangan Nurkse, terdapat dua jenis lingkaran perangkap kemiskinan
yang menghalangi negara berkembang mencapai tingkat pembangunan yang pesat :
dari segi penawaran modal dan dari segi permintaan modal.
Dari segi
penawaran modal lingkaran perangkap kemiskinan dapat dinyatakan sebagai
berikut. Tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, yang diakibatkan oleh
tingkat produktivitas yang rendah, menyebabkan kemampuan masyarakat untuk
menabung juga rendah. Ini akan menyebabkan tingkat pembentukan modal yang
rendah. Keadaan yang terakhir ini selanjutnya akan dapat menyebabkan suatu
negara menghadapi kekurangan barang modal dan dengan demikian tingkat
produktivitas akan tetap rendah. Dari segi permintaan modal, corak lingkaran
perangkap kemiskinan mempunyai bentuk yang berbeda. Di negara-negara miskin
perangsang untuk melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk
berbagi jenis barang terbatas, dan hal yang belakangan disebutkan ini
disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah. Sedangkan pendapatan yang
rendah disebabkan oleh produktivitas yang rendah yang diwujudkan oleh
pembentukan modal yang terbatas pada masa lalu. Pembentukan modal yang terbatas
ini disebabkan oleh kekurangan perangsang untuk menanam modal.
Di bagian
lain dari analisis Nurkse, ia menyatakan bahwa peningkatan pembentukan modal
bukan saja dibatasi oleh lingkaran perangkap kemiskinan seperti yang dijelaskan
di atas, tetapi juga oleh adanya international demonstration effect.
Maksudnya adalah kecenderungan untuk mencontoh corak konsumsi di kalangan
masyarakat yang lebih maju.
Di
samping kedua lingkaran perangkap kemisikinan ini, Meier dan Baldwin
mengemukakan satu lingkaran perangkap kemiskinan lain. Lingkaran kemiskinan ini
timbul dari hubungan saling mempengaruhi antara keadaan masyarakat yang masih
terbelakang dan tradisional dengan kekayaan alam yang belum dikembangkan. Untuk
mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki, harus ada tenaga kerja yang
mempunyai keahlian untuk memimpin dan melaksanakan berbagai macam kegiatan
ekonomi.
Gambar 2.1
Hubungan Tiga Perangkap Kemiskinan
Pada
gambar di atas teori lingkaran perangkap kemiskinan menjelaskan bahwa:
- Adanya ketidakmampuan mengerahkan
tabungan yang cukup.
- Kurangnya rangsangan melakukan penanaman
modal.
- Rendahnya taraf pendidikan, pengetahuan,
dan kemahiran masyarakat, merupakan tiga faktor utama yang menghambat
terciptanya pembentukan modal dan perkembangan ekonomi.
REFERENSI:
Bapeda Pemkab Jombang, 2012, Penyusunan Indeks
Pembangunan Manusia Kabupaten Jombang