Dr. Suparyanto, M.Kes
2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian
Lanjut usia adalah suatu proses dimana
bertambahnya usia individu yang ditandai
dengan penurunan fungsi organ tubuh dan terjadi akibat proses penuaan. Lanjut
usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Lanjut usia
atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri
atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Deybi, 2013).
Proses penuaan adalah sutu proses alami
yang tidak dapat di hindari, berjalan terus menerus dan berkesinambungan,
menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga
akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan. Menjadi tua
ditandai dengan adanya kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala
kemunduran fisik, anatara lain : kulit mulai mengendur, timbulnya keriput,
rambut berubah, gigi menjadi ompong, pendengaran dan penglihatan berkurang, mudah lelah,
gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi
penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul. Kemunduran lain yang terjadi
adalah kemampuan-kemampuan kognitif seperti suka lupa, kemunduran
orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal atau
ide baru. Menua bukan suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya
tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Memang harus diakui adanya berbagai
penyakit yang sering menyerang kaum lanjut usia (Deybi, 2013).
2.1.2 Klasifikasi Lansia
Lansia dibagi
menjadi lima klasifikasi, yaitu:
1.
Pralansia
Seseorang yang
berusia anatar 45-59 tahun.
2.
Lansia
Seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih.
3.
Lansia resiko tinggi
Seseorang yang
berusia 60 tahun atau lebih / seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih dengan
masalah kesehatan.
4.
Lansia potensial
Lansia yang
masih mampu melakukan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
5.
Lansia tidak potensial
Lansia tidak
berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain
(Agustina, 2010).
2.1.3 Faktor-faktor
yang mempengaruhi ketuaan
Menurut Agustina (2010) faktor-faktor yang
mempengaruhi ketuaan meliputi:
1.
Hereditas atau keturunan
2.
Nutrisi (makanan)
3.
Status kesehatan
4.
Pengalaman hidup
5.
Lingkungan
6.
Stres (Deybi, 2010).
2.1.4 Karakteristik
Menurut Agustina
(2010), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.
Berusia lebih dari 60 tahun
2.
Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari
rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual,
serta dari kondisi adaptif hingga mal adaptif.
3.
Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
2.1.5 Perubahan akibat
proses menua
Dengan semakin
bertambahnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomi dan fungsional
atas organ-organnya makin besar. Penurunan anatomik dan fungsi organ tersebut
tidak dikaitkan dengan umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya.
Seseorang dengan usia 55 tahun sudah mengalami penurunan anatomik dan
fungsional yang nyata akibat “umur biologik” nya yang sudah lanjut sebagai
akibat tidak baiknya faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan dan kurangnya
aktivitas (Agustina, 2010).
2.1.6 Penyakit yang
sering dihadapi oleh lanjut usia
1. Masalah fisik sehari-hari yang sering
ditemukan pada lanjut usia, yaitu: mudah jatuh, mudah lelah, kekacauan mental
akut, nyeri dada, sesak nafas pada waktu melakukan kerja fisik, jantung
berdebar debar (palpitasi), pembengkakan kaki.
2. Penyakit yang sering ditemukan pada lanjut
usia
Menurut Deybi (2013) mengemukakan empat penyakit yang
sangat erat hubungannya dengan prose menua, yakni:
a. Gangguan sirkulasi darah, seperti:
hipertensi, kelainan pembuluh darah, gangguan pembuluh darah (di otak, koroner,
dan ginjal).
b. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes
mellitus, klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.
c. Gangguan pada persendiaan, seperti:
osteoarthritis, gout arthritis,ataupun penyakit kolagen lainnya.
d. Berbagai macam neoplasma (Deybi, 2013).
2.2 KALSIUM
2.2.1
Pengertian
Kalsium (Ca) merupakan mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh. Kira kira 2% dari seluruh bobot
manusia dewasa terdiri dari kalsium. Lebih dari 99% kalsium ada di dalam tulang
dan gigi. Sebagian kecil sisanya membentuk ikatan dengan senyawa lain dan
sebagian kecil lainnya berada dalam darah. Kadar
kalsium dalam darah sekitar 10 mg/100 ml dengan rentangan 9-11 mg/ 100 ml.
Nilai kadar ini harus dipertahankan agar berfungsi dengan baik. Hormon paratiroid mengatur kestabilan kadar kalsium
ini dengan mekanisme umpan balik. Pembentukan tulang dilakukan dengan
osteoblas. Sebaliknya, mobilisasi kalsium dilakukan dengan bantuan osteoklas
yang merombak tulang dan melepaskan kalsium untuk dimasukan ke darah agar kadar
kalsium darah tetap stabil (Gafuri, 2012).
Kalsium juga merupakan zat yang
dibutuhkan sejak bayi hingga usia tua. Jumlah kebutuhan kalsium dapat dibedakan
berdasar jenis kelamin dan usia. kebutuhan kalsium yag dibutuhkan orang
Indonesia rata-rata adalah 500-800 mg perhari. Pada usia lanjut dan wanita
menopause dianjurkan asupan kalsium per hari adalah 1.000 mg. Kalsium mempunyai
peran vital pada tulang sehingga dapat mencegah timbulnya osteoporosis. Namun
kalsium yang berada di luar tulang pun mempunyai peran yang besar, antara lain
mendukung kegiatan enzim, hormon, syaraf dan darah.
2.2.2
Manfaat
Berikut
beberapa manfaat kalsium bagi tubuh :
1. Mengaktifkan
syaraf.
2. Melancarkan peredaran darah.
3. Melenturkan otot.
4. Menormalkan tekanan darah.
5. Menyeimbangkan keasaman/kebasaan darah.
6. Menjaga keseimbangan cairan tubuh.
7. Mencegah Osteoporosis (keropos tulang).
8.
Mencegah
penyakit jantung.
9.
Menurunkan
resiko kanker usus.
10. Mengatasi kram, sakit pinggang, wasir, dan reumatik.
11. Mengatasi keluhan saat haid dan menopause.
12. Meminimalkan penyusutan tulang selama hamil dan
menyusui.
13. Membantu mineralisasi gigi dan mencegah pendarahan
akar gigi.
14. Mengatasi Kaki tangan kering dan pecah-pecah.
15. Memulihkan gairah seks yang menurun/melemah.
16. Mengatasi kencing manis (mengaktifkan pankreas)
(Aroni, 2012).
2.2.3
Sumber kalsium
Sumber kalsium adalah susu dan makanan yang diolah
dengan bahan utama susu. Sedangkan bahan makanan lain yang juga
banyak mengandung kalsium adalah sereal, kacang-kacangan, tahu, tempe dan ikan
yang dimakan dengan tulangnya. Sayuran hijau seperti bayam, sawi, daun melinjo,
katuk, selada air dan daun singkong juga mengandung dalam jumlah yang cukup
banyak. Sedangkan sumber
kalsium itu sendiri terbagi dua, yaitu hewani dan nabati. Bahan makanan hewani
yang mengandung kalsium antara lain adalah Ikan, Udang,susu, kuning telur, dan
daging sapi. Sayangnya, jika dikonsumsi berlebihan bahan hewani ini, terutama
daging sapi, bisa menghambat penyerapan kalsium, karena kadar proteinnya
tinggi. Kandungan proteinnya yang tinggi akan meningkatkan keasaman (pH) darah.
Untuk menjaga agar keasaman darah tetap normal, tubuh terpaksa menarik deposit
kalsium (yang bersifat basa) dari tulang, sehingga kepadatan tulang berkurang.
Karena itu, sekalipun kaya kalsium, makanan hewani harus dikonsumsi secukupnya
saja. Jika berlebihan, justru dapat menggerogoti tabungan kalsium dan
mempermudah terjadinya keropos tulang. Bahan makanan yang mengandung kalsium
nabati bisa diperoleh dari sayuran daun hijau seperti sawi, bayam, brokoli, daun pepaya, daun singkong, daun labu. Selain itu
biji-bijian (kenari, wijen, almond) dan kacang-kacangan serta hasil olahannya
(kedelai, kacang merah, kacang polo, tempe, tahu) (Aroni, 2012).
Setelah umur 20
tahun, tubuh manusia akan mulai mengalami kekurangan kalsium sebanyak 1% per
tahun. Dan setelah umur 50 tahun, jumlah kandungan kalsium dalam tubuh akan
menyusut sebanyak 30%. Kehilangan akan mencapai 50% ketika mencapai umur 70
tahun dan seterusnya mengalami masalah kekurangan kalsium. Gejala awal
kekurangan kalsium adalah seperti lesu, banyak keringat, gelisah, sesak napas, menurunnyadaya tahan
tubuh, kurang nafsu makan, sembelit, berak-berak, insomnia, kram (Aroni, 2012).
Kalsium
dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh, transmisi syaraf, pengaturan detak jantung, kontraksi otot, membantu
pembentukan energi, membantu proses pembuahan (kehamilan), mempercepat pembekuan
darah, mengaktifkan sistem pertahanan tubuh (Toyo, 2013).
2.2.4
Kebutuhan kalsium
Kebutuhan Kalsium Manusia
1. Bayi < 6 bulan = 400mg/hari
2. Bayi 6 bulan – 3 tahun = 600mg/hari
3. Usia 3 – 10 tahun = 800mg/ hari
4. Usia 10 – 13 tahun = 1000 mg/hari
5. Usia 13 – 16 tahun = 1200 mg/hari
6. Pekerja Keras = 1000mg/hari
7. Ibu hamil dan menyusui = 1200mg/hari
8. Manula dan wanita menopause = 1200mg/hari (Toyo, 2013).
2.2.5 Metabolisme
kalsium dalam tubuh manusia
Yang mengatur kadar kalsium dalam darah adalah hormon
paratiroid, tirokalsitonin dari kelenjar tiroid dan vitamin D. Hormon
paratiroid dan vitamin D meningkatkan kalsium darah dengan cara sebagai berikut
:
1.
Vitamin D merangsang absorpsi kalsium oleh saluran cerna
2.
Vitamin D dan hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium dari
tulang ke dalam darah.
3.
Vitamin D dan hormon paratiroid menunjang reabsorpsi kalsium di dalam
ginjal.
Ion kalsium secara aktif diabsorbsi ke dalam darah
terutama dari duodenum dan jumlah absorbsi ion kalsium dikontrol sangat tepat
untuk memenuhi kebutuhan harian tubuh akan kalsium. Faktor penting yang
mengontrol absorbsi kalsium adalah PTH (Paratiroid Hormone) yang disekresikan
oleh kelenjar paratiroid dan vitamin D (Savita, 2011).
A. Peran vitamin D
dalam absorbsi kalsium
Vitamin D dapat meningkatkan absorpsi
kalsium dalam usus. Dalam hal ini vitamin D yang digunakan adalah dalam bentuk
aktif yaitu 1,25-dihidroksikolekalsiferol. 1,25 dihidroksikolekalsiferol
berfungsi untuk meningkatkan absorpsi kalsium oleh usus dengan cara meningkatkan
pembentukan protein pengikat kalsium di sel epitel usus. Protein pengikat
kalsium ini berfungsi di brush border untuk mengangkut kalsium ke dalam
sitoplasma sel dan selanjutnya kalsium bergerak melalui membran basolateral sel
dengan cara difusi terfasilitasi.
Langkah pertama dalam aktivasi vitamin D
adalah mengubah vitamin D menjadi 25 hidroksikalsiferol dan proses in terjadi
di hati. Selanjutnya 25 hidroksikalsiferol akan diubah lagi menjadi bentuk
aktif dari vitamin D yaitu 1,25 hidroksikalsiferol. Proses ini terjadi di
tubulus proksimal ginjal dan juga mendapat bantuan langsung dari PTH.
1,25 hidroksikalsiferol berfungsi sebaga
suatu jenis hormon yang berfungsi untuk meningkatkan absorbsi kalsium oleh
usus. 1,25 hidroksikalsiferol meningkatkan produksi protein pengikat kalsium di
sel epitel usus. Protein ini berfungsi di brush border sel-sel tersebut
untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel dan selanjutnya kalsium
bergerak melalu membran basolateral sel dengan cara difusi terfasilitasi. Protein
ini akan tetap berada di dalam sel selama beberapa minggu setelah 1,25
hidroksikalsiferol dibuang dari tubuh, sehingga memiliki efek yang
berkepanjangan terhadap absorbsi kalsium. Efek lain yang ditimbulkan adalah
pembentukakn ATPase terstimulasi kalsium di brush border sel epitel dan
pembentukan suatu alkalin forfatase di sel epitel (Savita, 2011).
B. Peran hormon paratiroid dalam absorbsi kalsium
Paratiroid Hormon (PTH) menyediakan
mekanisme yang kuat untuk mengatur konsentrasi kalsium lewat pengaturan
reabsorbsi usus, ekskresi ginjal dan pertukaran ion-ion antara CES dan tulang.
Naiknya konsentrasi kalsium terutama kerana dua hal, yaitu efek PTH yang
meningkatkan absorbsi kalsium dan fosfast dari tulang dan efek yang cepat dari
PTH dalam mengurangi ekskresi kalsium oleh ginjal. PTH mempunyai dua efek pada
tulang dalam menimbulkan absorpsi kalsium dan phospat.
Efek tersebut antara lain:
1.
Fase cepat absorpsi kalsium
PTH dapat menyebabkan pemindahan garam-garam tulang
dari dua tempat dalam tulang, yaitu :
a. Dari matriks tulang disekitar osteosit
yang terletak dalam tulangnya sendiri
b. Disekitar osteoblas yang terletak
disepanjang permukaan tulang.
Osteoblas dan osteosit membentuk suatu sistem sel yang
saling berhubungan satu sama lain, yang menyebar diseluruh permukaan tulang
kecuali sebagian permukaan kecil yang berdekatan dengan osteoklas. Diantara
membran osteositik dan tulang ada sedikit cairan tulang. Membran osteositik
nantinya akan memompa ion kalsium dari cairan tulang ke cairan ekstrasel,
menciptakan suatu konsentrasi ion kalsium di dalam cairan tubuh hanya 1/3 dari
konsentrasi kalsium di dalam CES. Bila pompa osteositik sangat aktif, maka
konsentrasi kalsium dalam cairan tulang menjadi sangat aktif, sehingga
konsentrasi kalsium di dalam cairan tulang menjadi rendah dan kalsium fosfat
yang nantinya akan diabsorbsi dari tulang ke CES. Efek ini disebut osteolisis.
Bila pompa menjaditidak aktif, konsentrasi ion kalsium dalam cairan tulang naik
lebih tinggi dan garam-garam kalsium fosfat ditimbun lagi di dalam matriks
tulang (Savita, 2011).
Letak peran PTH dalam proses ini adalah pertama,
membran sel osteoblas dan osteosit memiliki protein reseptor untuk mengikat
PTH. PTH nantinya akan mengaktrifkan pompa kalsium dengan kuat sehinga
menyebabkan perpindahan garam-garam kalsium fosfat dengan cepat dari cristal
tulang amorf yang terletak dekat dengan sel. PTH diyakni merangsang pompa ini
dengan meningkatkan permeabilitas kalsium pada sisi cairan tulang dari membran
osteositik, sehingga mempermudah difusi ion kalsium ke dalam membran sel cairan
tulang. Selanjutnya pompa kalsium di sisi lain dari membran sel memindahkan ion
kalsium yang tersisa ke dalam CES (Savita, 2011).
2.
Fase lambat absorpsi kalsium
Pada fase ini, yang berperan adalah Osteoklas.
Walaupun pada dasarnya osteoklas tidak memiliki membran reseptor untuk PTH.
Aktifasi sistem osteoklastik terjadi dalam dua tahap, yaitu:
a. Aktifasi yang berlangsung dengan segera
dar osteoklas yang sudah terbentuk
b. Pembentukan osteoklas baru
Kelebihan PTH selama beberapa hari biasanya
menyebabkan sistem osteoklastik berkembang dengan baik. Setelah kelebihan PTH selama berbulan-bulan menyebabkan kelemahan tulang
dan menimbulkan rangsangan sekunder pada osteoblas untuk memperbaiki kelemahan
tulang.
Salah satu pengatur absorbsi dan sekresi kalsium pada
tulang adalah PTH. Bila konsentrasi kalsium CES turun dibawah normal, kelenjar
paratiroid langsung dirangsang untuk meningkatkan produksi PTH. Hormon ini
nantinya bekerja langsung pada tulang untuk meningkatkan resorbsi kalsium dari tulang
sehingga sejumlah besar kalsium dilepaskan dari tulang ke CES untuk
mempertahankan keseimbangan kalsium. Bila konsentrasi ion klasium pada CES
menurun, maka sekresi PTH akan diturunkan pula dan hampir tidak akan terjadi
resorbsi. Dan produksi kalsium yang berlebihan tadi nantinya akan dideposit ke
tulang dalam rangka pembentukan tulang yang baru.
Tulang sebernarnya tidak mempunyai persediaan kalsium
yang banyak. Dalam jangka panjang, asupan kalsium ini harus diimbangi dengan
ekskresi kalsium oleh traktus gastrointestinal dan ginjal. Pengaturan absorbsi
kalsium ini adalah PTH. Jadi PTH mengatur konsentrasi kalsium melalui 3 efek :
a. Dengan merangsang resorbsi tulang
b. Dengan merangsang aktifitas vitamin D,
yang nantinya akan meningkatkan reabsorbsi kalsium pada gastrointestinal
c. Dengan meningkatkan secara langsung
reabsorbsi kalsium oleh tubulus ginjal (Savita, 2011).
C. Peran kalsitonin dalam absorbsi kalsium
Kalsitonin adalah hormon peptida yang
disekresikan oleh kelenjar tiroid yang kerjanya berlawanan dengan PTH, yaitu
menurunkan konsentrasi kalsium plasma. Adapun kerja kalsitonin di dalam tubuh
adalah sebagai berikut kalsitonin mamberikan efek pengurangan kerja absorpsi
osteoklas dan mungkin efek osteolitik dari membran osteositik di seluruh
tulang, sehingga dapat menggeser keseimbangan penimbunan kalsium sesuai dengan
cepatnya pertukaran garam-garam kalsium. Dan kalsitonin memberikan efek
penurunan pembentukan osteoklas yang baru (Savita, 2011).
2.2.6 Kalsium
lebih banyak dibutuhkan oleh kaum wanita daripada pria dengan alasan sebagai
berikut :
1. Menghindari ancaman osteoporosis, saat menopouse
wanita akan kehilangan sejumlah besar hormon estrogen yang bisa mengakibatkan
penyakit osteoporosis.
2. Membantu pembentukan tulang dan gigi, 99 persen
kalsium dalam tubuh tersimpan dalam tulang dan gigi.
3. Membantu pembekuan darah, tanpa kalsium darah tidak
bisa membeku bila terjadi luka.
4. Menghindari sindrom pramenstruasi, pada siklus haid
ketiga gejala PMS bisa dikurangi hingga 48 persen pada wanita yang menelan
kalsium.
5. Mengurangi resiko gejala batu ginjal, kalsium memiliki
efek protektif yang mencegah penyerapan oksalat yang bisa membentuk batu di
ginjal.
6. Melindungi bayi dalam kandungan, wanita yang diberi
suplemen kalsium selama masa kehamilan akan memiliki anak-anak yang cukup
terlindungi dari resiko hipertensi (Aroni, 2012).
2.2.7 Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kadar kalsium dalam darah yaitu :
1. Konsentrasi
absolut Kalsium (Ca) dan Fosfor (P) serta perbandingan Ca : P
didalam bahan pangan. Konsumsi yang rendah dari
salah satu mineral diatas dalam jangka lama dapat menyebabkan menurunnya
konsentrasi dalam darah. Perbandingan Ca : P dalam diet 1 : 2 sampai 2 : 1
menghasilkan penyerapan yang optimum.
2. Pencernaan
lemak dan jumlah lemak di dalam diet
Jika
asam lemak yang dihasilkan dari hidrolisis lemak tidak dapat diserap, maka asam
lemak tersebut akan berikatan dengan Ca dan terbuang sebagai feses.
3. Asam
fitat dan oksalat
Oksalat
dapat mengendapkan Ca di dalam usus dan membentuk kalsium oksalat yang tidak
larut. Selain itu banyak kalsium yang tidak terserap karena berikatan dengan
fitat, dan membentuk fitin.
4. Tingkat
keasaman
Tingkat
pH usus halus mempengaruhi penyerapan kalsium. Keasaman pada lambung
meningkatkan kelarutan garam kalsium di usus halus dan meningkatkan absorpsinya.
5. Protein
didalam diet
Garam
kalsium lebih banyak larut dalam larutan asam amino daripada air. Penyerapan
kalsium meningkat dengan meningkatnya konsumsi protein.
6. Vitamin
D
Kekurangan
vitamin D menyebabkan metabolisme kalsium dan fosfor yang tidak normal dan
terhambatnya pembentukan tulang.
7. Hormon
seks (Gufari, 2012).
2.2.8 Gangguan-gangguan
yang berhubungan dengan kekurangan kalsium dalam tubuh :
1.
Osteoporosis
Pengeroposan
massa tulang umumnya terjadi seiring bertambahnya usia. Penelitian menunjukkan
bahwa pada usia 25 tahun, tubuh akan mulai mengalami kekurangan kalsium
sebanyak 1 persen per tahun. Memasuki usia 50 tahun, jumlah kalsium akan
berkurang sebanyak 30 persen dan pada usia 70 tahun kehilangan kalsium akan
mencapai 50 persen.
2.
Kram otot
Kekurangan
kalsium dapat memicu kontraksi otot yang tidak stabil sehingga mengakibatkan
kram otot. Salah satu kejadian yang sering ditemukan adalah pada wanita hamil.
Selain dipicu aliran darah balik yang tidak lancar akibat tekanan dari rahim
yang bertambah berat, kram pada wanita hamil juga dipicu oleh kekurangan
kalsium.
3.
Palpitasi
Kendati
dapat diakibatkan oleh banyak hal, Kartika mengatakan, palpitasi atau jantung
berdebar bisa juga dialami akibat kekurangan kalsium. Hal ini berhubungan
dengan fungsi kalsium sebagai salah satu penjaga irama jantung.
4.
Hipertensi
Sebuah
penelitian baru menunjukkan, orang yang mengalami hipertensi kebanyakan juga
mengalami kekurangan kalsium dalam tubuhnya. Hal ini mungkin berhubungan dengan
terganggunya penyerapan kalsium akibat konsumsi makanan tinggi garam, tetapi
bisa juga lantaran fungsi kalsium sendiri adalah untuk mengontrol tekanan
darah.
5.
Rickets
Rickets
merupakan pembengkokan tulang akibat kurangnya asupan kalsium pada tulang yang
masih bertumbuh, yakni pada masa kanak-kanak.
6.
Penurunan kognitif
Sering
lupa atau tidak mampu berkonsentrasi mengerjakan tugas merupakan gejala dari
penurunan kognitif. Kekurangan kalsium bisa berperan dalam hal ini. Nanny
mengatakan, kalsium merupakan mineral penting yang berperan dalam transmisi
impuls saraf.
7.
Depresi
Penelitian
menemukan keterkaitan depresi dengan kekurangan kalsium. Rata-rata pasien
depresi kekurangan kalsium dalam tubuhnya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
menurunnya fungsi tubuh menyerap kalsium lantaran depresi yang dialami
(Kartika, 2013).
2.2.9Kalsium dalam
Tulang
Sekitar 50% kalsium total dalam plasma (5
mEq/L) berada dalam bentuk terionisasi (bentuk yang memiliki aktivitas biologis
pada membran sel). Sisanya sekitar 40% terikat dengan protein plasma dan 10%
lainnya dalam ikatan kompleks dalam bentuk non-ionisasi dengan anion-anion
sepeerti pada fosfat dan sitrat. Konsentrasi ion Kalsium pada CES normalnya
sekitar 2,4 mEq/L. Bila konsetrasi ion kalsium turun melewati batas normal
(hipokalsemia), maka akan timbul rangsangan pada sel-sel saraf dan otot yang
meningkat dengan nyata dan pada beberapa keadaan yang ekstrem dapat menyebabkan
tetani hipokalsemik yang ditandai dengan kekekuan otot. Sedangkan pada keadaan
dimana konsentrasi ion Kalsium melebihi nilai normalnya (hiperkalsemia), yang
menekan ambang rangsang pada neuromuskular yang berakibat aritmia jantung
(Savita, 2011).
Perubahan konsentrasi ion hidrogen plasma
dapat mempengaruhi derajat ikatan kalsium terhadap protein plasma. Pada pasien
asidosis, lebih sedikit kalsium yang berkaitan dengan protein plasma. Sedangkan
pada pasien alkalosis, jumlah ion kalsium yang terikat dengan protein plasma
lebih besar. Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif,
proteksi alat-alat didalam tubuh, pembentuk tubuh, metabolisme kalsium dan
mineral dan organ hemopoetik. Hampir semua kalsium dalam tubuh (99%) disimpan
di dalam tulang dan sisanya pada cairan ekstrasel dan 0,1% dalam cairan
intrasel. Oleh karena itu, tulang berperan sebagai penampung yang besar untuk
menyipan kalsium dan sebagai sumber kalsium bila kalsium pada ciran
ekstraselular menurun. Bone turnover merupakan mekanisme fisiologik yang sangat
penting untuk memperbaiki tulang yang rusak atau mengganti untuk tulang yang
tua dengan tulang yang baru. Tulang secara kontinu dibentuk oleh osteoblas dan
diabsorbsi ketika osteoklas menjadi aktif. Dan tulang juga diabsorbsi secara
kontinu dengan adanya osteoklas yang merupakan sel fagositik besar yang bernti
banyak dan suatu turunan monosit yang dibentuk di sum-sum tulang (Savita,
2011).
Tahap awal produksi tulang adalah sekresi
molekul kolagen (monomer kolagen) dan substansia dasar oleh osteoblast. Monomer
kolagen ini akan berpolimerasi dengan cepat untuk membentuk serat kolagen
(osteoid). Selama osteoid dibentuk, sejumlah osteoblas terperangkap dalam
osteoid dan menjadi inaktif. Pada tahap ini, osteoblas disebut osteosit. Dalam
waktu beberapa hari setelah osteoid dibentuk, garam kalsium mulai mengalami
presiptasi pada permukaan serat kolagen. Presipitat mulai terjadi di sepanjang
serat kolagen dan nantinya akan menjadi produk akhir yang berupa kristal
hidroksapatit. Garam kalsium awal yang akan ditimbun bukan berupa kristal
hidroksiapatit namun senyawa amorf (non-kristalin). Kemudian melalui proses substitusi
dan penambahan atom atau reabsorpsi dan represipitasi, garam-garam ini kemudian
akan diubah menjadi kristal hidroksiapatit selama berminggu-minggu (Savita,
2011).
Beberapa persen senyawa tersebut tetap berada dalam
bentuk amorf. Karena garam amorf dapat diabsorpsi dengan mudah ketika sejumlah
kalsium tambahan dibutuhkan dalam cairan ekstrasel kalsium yang berupa garam
amorf ini dapat mengalami pertukaran, yang akan menjadi suatu penyangga yang
cepat yang akan menjaga agar konsentrasi ion kalsium dalam plasma tidak terlalu
naik atau turun terlalu rendah pada keadaan transien dengan kelebihan atau
kekurangan ketersediaan kalsium (Savita, 2011).
2.3
Osteoporosis
2.3.1 Pengertian
Osteoporosis adalah
suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya
perubahan mikro arsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya kekuatan
tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga tulang mudah patah. Definisi
lain, osteoporosis adalah kondisi yang menunjukkan tulang menjadi tipis, rapuh,
keropos, dan mudah patah akibat berkurangnya massa tulang yang terjadi dalam
waktu yang lama. Secara statistik, osteoporosis didefinisikan sebagai keadaan
Densitas Mineral Tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan menurut umur atau
standar deviasi berada di bawah nilai rata-rata rujukan pada usia dewasa muda.
Sebelum terjadi osteoporosis, seseorang terlebih dahulu mengalami proses
osteopenia, yaitu suatu kondisi hilangnya sejumlah massa tulang akibat berbagai
keadaan. Penyakit ini dijuluki sebagai Silent Epidemic Disease, karena menyerang tanpa adanya
tanda-tanda khusus, sampai pasien mengalami patah tulang. Osteoporosis dibagi
menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya, yakni osteoporosis primer yaitu
osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah), dan
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh berbagai kondisi klinis atau penyakit,
seperti infeksi tulang, tumor tulang, pemakaian obat-obatan tertentu dan
immobilitas yang lama (Kemenkes, 2008).
Proses terjadinya osteoporosis sudah di mulai
sejak usia 40 tahun dan pada wanita proses ini akan semakin cepat pada masa
menopause. Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita,
termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea).
Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena
osteoporosis. Penyakit osteoporosis yang kerap disebut penyakit keropos tulang
ini ternyata menyerang wanita sejak masih muda. Tidak dapat dipungkiri penyakit
osteoporosis pada wanita ini dipengaruhi oleh hormon estrogen. Namun, karena
gejala baru muncul setelah usia 50 tahun, penyakit osteoporosis tidak mudah
dideteksi secara dini. Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang
wanita, pria tetap memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti
pada wanita, penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen.
Bedanya, laki-laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang
lebih lambat. Jumlah usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan naik 414 persen
dalam kurun waktu 1990-2025, sedangkan perempuan menopause yang tahun 2000
diperhitungkan 15,5 juta akan naik menjadi 24 juta pada tahun 2015. Dapat
dibayangkan betapa besar jumlah penduduk yang dapat terancam penyakit
osteoporosis (Agus, 2011).
2.3.2 Prevalensi seputar penyakit
osteporosis
Beberapa
prevalensi seputar penyakit osteoporosis yang dapat meningkatkan kesadaran akan
ancaman osteoporosis berdasar Studi di Indonesia:
1. Prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk
wanita sebanyak 18-36%, sedangkan pria 20-27%, untuk umur di atas 70 tahun
untuk wanita 53,6%, pria 38%.
2. Lebih dari 50% keretakan osteoporosis pinggang di seluruh dunia
kemungkinan terjadi di Asia pada 2050.
3. Mereka yang terserang rata-rata berusia di atas 50 tahun.
4. Satu dari tiga perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia
terserang osteoporosis atau keretakan tulang.
5. Dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko terkena penyakit
osteoporosis (Agus, 2011).
2.3.3 Penyebab osteoporosis
Penyebab osteoporosis dipengaruhi oleh berbagai faktor dan pada individu bersifat
multifaktoral seperti gaya hidup tidak sehat, kurang gerak atau tidak berolah
raga serta pengetahuan mencegah osteoporosis yang kurang akibat kurangnya
akibat aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari mulai anak-anak sampai dewasa,
serta kurangnya asupan kalsium, maka kepadatan tulang menjadi rendah sampai
terjadinya osteoporosis. Persoalan osteoporosis pada lansia erat sekali
hubungannya dengan kemunduran produksi beberapa hormon pengendali remodeling
tulang, seperti Kalsitonim dan hormon seks. Dengan bertambahnya usia, produksi
beberapa hormon tersebut akan merosot, hanya saja penurunan produksi beberapa
osteoblast, sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan tulang, akan mengendur
aktivitasnya setelah seseorang menginjak usia ke 50 disusul tahun terakhir
adalah testosteron pada kurun waktu usia 48-52 tahun. Persoalan besar akan
muncul juga jika terjadi gangguan dalam keseimbangan kedua proses itu, seperti
yang terjadi pada osteoporosis (Agus, 2011).
Dalam osteoporosis proses demineralisasi lebih cepat dan lebih tinggi
dibandingkan dengan proses meneralisasi. Resikonya terjadilah pengeroposan
tulang. Tulang akan kehilangan masa dalam jumlah besar sehingga kekuatannya pun
merosot drastis. Kondisi ini tentu tidak bisa diabaikan begitu saja penurunan
sepersepuluh kepadatan tulang saja menimbulkan resiko patah tulang 2 – 3 kali
lebih sering, jika kondisi ini dibiarkan resiko terjadi patah tulang sulit
dihindari. Proses tidak seimbang bisa muncul secara alamiah seperti akibat pengaruh
usia lanjut, menopause, gangguan hormonal, dan tidak aktif tubuh (Agus, 2011).
2.3.4 Klasifikasi osteoporosis
Berikut ini beberapa klasifikasi osteoporosis:
1.
Osteoporosis postmenopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang
pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75
tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua
wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal,
wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada
wanita kulit hitam.
2.
Osteoporosis senilis
Kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan
hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa
keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada
usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita. Wanita
seringkali menderita osteoporosis senilis dan postmenopausal.
3.
Osteoporosis sekunder
Di alami kurang dari 5% penderita
osteoporosis, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya
kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan
osteoporosis.
4.
Osteoporosis juvenil idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya
tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki
kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal dan tidak
memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang (Agus, 2011).
2.3.5 Faktor Resiko Osteoporosis
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35
tahun. Selain itu, wanita pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia
45 tahun.
2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru
menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat
dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses
penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.
3. Ras atau suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan
asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium
wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa
dan menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik
memiliki risiko yang signifikan meskipun rendah.
4. Keturunan penderita osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka
berhati-hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang
tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam
garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang sama.
5. Gaya hidup kurang baik
a. Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan hormon parathyroid, penyebab pelepasan
kalsium dari dalam darah.
b. Minuman berkafein dan beralkohol
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan
tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan
Dr. Karen Rafferty dari creighton
University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang menemukan hubungan
antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air
seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal
dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin
yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
c. Malas Olahraga
Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses
osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa
tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu
tulang untuk membentuk massa.
d. Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis.
Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya
mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat
kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga
susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan.
Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi,
penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah
sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin
jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung. Saat masih
berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses
pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek rokok
pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut
sudah berhenti.
6. Kurang Kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang
akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang
(Agus, 2011).
7. Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan
pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit
osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa
tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses osteoblas. Selain itu, obat
heparin dan anti kejang juga menyebabkan penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke
dokter sebelum mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak
merugikan tulang (Agus, 2011).
8. Kurus dan Mungil
Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan
misal kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan
oleh bobot yang berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan
terangsang untuk membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah
pinggul dan panggul. Jika bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang
terbentuk sempurna (Agus, 2011).
2.3.6 Gejala Osteoporosis
Penyakit osteoporosis sering disebut sebagai silent
disease karena proses kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama
pada penderita osteoporosis senilis) dan berlangsung secara progresif selama
bertahun-tahun tanpa kita sadari dan tanpa disertai adanya gejala. Gejala dan tanda
yang perlu dicurigai adanya osteoporosis ialah:
1. Nyeri pinggang bawah pada wanita pasca-menopause atau
pada pria dan wanita usia lanjut.
2. Terjadinya patah tulang (fraktur) akibat suatu benturan
ringan, yang pada keadaan normal benturan seringan itu
tidak berakibat apa-apa. Tulang yang sering fraktur
ialah tulang belakang bagian pinggang dan leher tulang paha.
3. Tinggi badan makin lama makin bertambah pendek, disertai tulang
belakang makin lama makin bungkuk (Kifosis).
4. Nyeri pada
tulang dan otot akibat perubahan postur tubuh.
5. Gigi-gigi keropos, goyah dan tanggal.
Jika kepadatan tulang sangat berkurang
sehingga tulang menjadi hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan
bentuk. Hancurnya tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang
belakang yang rapuh bisa mengalami hancur secara spontan atau karena cedera
ringan. Biasanya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu
dari punggung, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan.
Jika disentuh, daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit
ini akan menghilang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan
(Agus, 2011).
Jika beberapa tulang belakang hancur, maka
akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulang belakang (punuk Dowager),
yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang
seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan atau karena jatuh. Salah satu
patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Hal yang juga sering
terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan
pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada
penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlahan.
2.3.7 Pencegahan Osteporosis
Pencegahan osteoporosis harus dilakukan sejak
dini sampai usia dewasa muda agar mencapai kondisi puncak massa tulang yakni peak
bone mass dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya
mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi
dengan unsur kaya serat, rendah lemak dan kaya kalsium (1000-1200 mg kalsium
per hari), berolahraga secara teratur, tidak merokok dan tidak mengkonsumsi
alkohol (Utomo, 2012).
2.3.8 Tujuan pengobatan
Meningkatkan kepadatan tulang. Semua wanita,
terutama yang menderita osteoporosis, harus mengkonsumsi kalsium dalam jumlah
yang mencukupi. Wanita pasca menopause yang menderita osteoporosis juga bisa
mendapatkan estrogen (biasanya bersama dengan progesteron) atau alendronat,
yang bisa memperlambat atau menghentikan penyakitnya. Bifosfonat juga digunakan
untuk mengobati osteoporosis (Agus, 2013).
Pria yang menderita osteoporosis biasanya
mendapatkan kalsium dan tambahan vitamin D, terutama jika hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa tubuhnya tidak menyerap kalsium dalam jumlah yang mencukupi.
Jika kadar testosteronnya rendah, bisa diberikan testosteron. Patah tulang
karena osteoporosis harus diobati. Patah tulang panggul biasanya diatasi dengan
tindakan pembedahan. Patah tulang pergelangan biasanya digips atau diperbaiki
dengan pembedahan. Pada kolaps tulang belakang disertai nyeri punggung yang
hebat, diberikan obat pereda nyeri, dipasang supportive back brace
dan dilakukan terapi fisik. Penanganan yang dapat di lakukan pada klien
osteoporosis meliputi :
1. Diet
2. Pemberian kalsium dosis tinggi
3. Pemberian vitamin D dosis tinggi
4. Pemasangan penyangga tulang belakang (spina brace) untuk
mengurangi nyeri punggung.
5. Pencegahan dengan menghindari faktor resiko osteoporosis (misalnya Rokok,
mengurangi konsumsi alkohol, berhati-hati dalam aktifitas fisik).
6. Penanganan terhadap deformitas serta fraktur yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina 2010 : Skripsi Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan
Praktik Senam Lansia Di Panti Sosial
Tresna Werda (PSTW) Budi Mulia Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,
diakses pada Januari 2014, http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/1009/1/ERMAYANI%20AGUSTINA-FKIK.PDF.
Budiarto, E 2001, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Kedokteran
EGC, Jakarta.
Hidayat, A, A 2009, Metode Penelitian
Kebidanan Dan Teknik analisis Data, Edisi 1, Jakarta.
Kemenkes RI No.
1142/MENKES/SK/XII/2008 Tentang Pedoman
Pengendalian Osteoporosis Menteri
Kesehatan Indonesia, diakses pada Januari
2014, http://mulyanipharmaco.files.wordpress.com/2013/08/kmk-no-1142-ttg-pedoman-pengendalian-osteoporosis.pdf.
Kemenkes, 2012, Kemenkes RI Ajak Masyarakat Lakukan
Pencegahan Osteoporosis.
Marchelina, M, S,
Deybi 2013, PROPOSAL STIKes Hubungan
Perilaku Hidup Sehat Dengan
Kekambuhan Penyakit Rematik Pada Lanjut Usia Manado, diakses pada Januari 2014, http://www.academia.edu/4646931/PROPOSAL.
Nursalam,
2011 Konsep Dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian
Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Saryono,
2011. Buku Metodologi Penelitian
Kesehatan, Mitra Cendekia Press, Jogjakarta.
Utomo, M 2010, KTI Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kepadatan Tulang Pada Wanita Postmenopause Universitas Muhammadiyah Semarang,
http:jurnal.unimus.ac.id.1, diakses pada Januari 2014.