Dr. Suparyanto, M.Kes
CACING ASCARIS LUMBRICOIDES
2.1. Kecacingan
Penyakit
kecacingan adalah salah satu penyakit tertinggi yang terjadi di Indonesia.
Penyebab parasit berukuran mikro yang mengambil makanan hewan dari usus yang
berisi banyak nutrisi. Cacing memasuki tubuh dalam fase larva merupakan penyakit
endemis dan kronis yang bisa
meningkat tajam saat musim hujan dan banjir. Larva cacing biasanya menyebar ke
berbagai tempat untuk menginvasi tubuh manusia. Cacing memasuki tubuh melalui
mulut dengan dua cara, saat makan makanan yang tidak dicuci dan dimasak setelah
terkontaminasi lalat yang membawa larva cacing, serta melalui pori-pori ketika
seorang anak tidak memakai alas kaki ketika berjalan di tanah. Dengan cara ini
larva masuk ke aliran darah dan mencapai tempat yang memungkinkan
perkembangannya seperti di usus, paru-paru, hati dan sebagainya. Pembangunan
mereka membutuhkan waktu 1-3 minggu di tubuh manusia. Tahap berikutnya dari
kondisi gizi pasien biasanya menurun sehingga kesehatan mereka terganggu. Jika
dibiarkan anak menjadi pucat kulitnya, tubuh lebih ramping dan perut membuncit
karena kekurangan protein. Dalam kondisi yang sangat berat, cacingan bisa
menyebabkan radang paru-paru ditandai dengan batuk dan kesulitan bernafas,
obstruksi pada usus, gangguan hati, kaki gajah, dan perforasi usus. Dalam situasi ini obat cacing tidak lagi membantu
secara optimal. Cacing usus yang ditemukan di banyak daerah dimana kebersihan
dalam kondisi standart (Mahardian, 2013).
2.2.
Ascaris
lumbricoides
Ascaris
lumbricoides
yang secara umum dikenal sebagai cacing gelang. Penyebarannya di seluruh dunia (kosmopolit) dan lebih sering dijumpai
pada anak usia 5-10 tahun. Di Indonesia infeksi cacing ini lebih dari 60 %. Dan
manusia merupakan satu–satunya hospes dari Ascaris
lumbricoides (Soedarto 2011, h. 180).
2.2.1.
Anatomi
dan Morfologi
Cacing nematode ini adalah cacing yang
berukuran besar berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan
berukuran panjang antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina panjang badanya
antara 22-35 cm. Kutikula yang halus bergaris-garis tipis menutupi seluruh
permukaan badan cacing. Ascaris
lumbricoides mempunyai mulut dengan tiga buah bibir, yang terletak sebuah
di bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral. (Soedarto, 2011,
h:181)
Selain ukurannya lebih kecil dari pada
cacing betina, cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, dengan
ekor melengkung kearah ventral. Di bagian posterior ini terdapat 2 buah
spikulum yang ukuran panjangnya sekitar 2 mm, sedangkan di bagian ujung
posterior cacing terdapat juga banyak papil-papil yang berukuran kecil. Bentuk
tubuh cacing betina membulat (conical) dengan
ukuran badan yang lebih besar dan lebih panjang dari pada cacing jantan dan
bagian ekor yang lurus, tidak melengkung. (Soedarto, 2011, h:181)
Telur Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang
sudah dibuahi (fertilized eggs) dan
telur yang belum di buahi (unfertilized
eggs). Fertilized eggs berbentuk
lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron, mempunyai kulit telur yang tak
berwarna. Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang
permukaannya bergerigi (mamillation),
dan berwarna coklat karena menyerap zat empedu. Sedangkan di bagian dalam kulit
telur terdapat selubung vetelin yang tipis, tetapi kuat sehingga telur cacing Ascaris dapat bertahan sampai satu tahun
di dalam tanah. Fertilized eggs
mengandung sel telur (ovum) yang
tidak bersegmen, sedangkan di kedua kutub telur terdapat rongga udara yang
tampak sebagai daerah yang terang berbentuk bulan sabit. (Soedarto, 2011,
h:181-182)
Unfertilized
eggs (telur
yang tidak dibuahi) dapat ditemukan jika di dalam usus penderita hanya terdapat
cacing betina saja. Telur yang tak dibuahi ini bentuknya lebih lonjong dan
lebih panjang dari ukuran Fertilized eggs
dengan ukuran sekitar 80x55 mikron, telur ini tidak mempunyai rongga udara
dikedua kutupnya. Dalam tinja penderita kadang-kadang ditemukan telur Ascaris yang telah hilang lapisan
albuminnya, sehingga sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Terdapatnya
telur yang berukuran besar menunjukkan cirri khas telur cacing Ascaris. (Soedarto, 2011, h:182)
Gambar
2.1 Telur Ascaris lumbricoides
Gambar
2.2 Cacing Ascaris lumbricoides
2.2.2.
Siklus
Hidup
Keluar
bersama tinja penderita, telur cacing yang telah dibuahi jika jatuh di tanah
yang lembab dan suhu yang optimal telur akan berkembang menjadi telur infektif,
yang mengandung larva cacing. Pada manusia infektif terjadi dengan masuknya
telur cacing yang infektif bersama makanan atau minuman yang tercemar tanah
yang mengandung tinja penderita ascariasis.
Di dalam usus halus dan memasuki vena porta hati. Dengan aliran darah vena,
larva beredar menuju jantung, paru-paru, lalu menembus dinding kapiler masuk
kedalam alvenol. Masa migrasi larva ini berlangsung sekitar 15 hari lamanya. (Soedarto,
2011, h:183)
Sesudah
itu larva cacing merambat ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk
ke faring, usofagus, lalu turun ke lambung dan akhirnya sampai ke usus halus.
Selanjutnya larva berganti kulit dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Migrasi
larva dalam darah yang mencapai organ paru tersebut disebut ‘’lung migration’’. Dua bulan semenjak
masuknya telur cacing infektif melalui mulut, cacing betina mulai mampu
bertelur. Seekor cacing Ascaris
lumbricoides dewasa mampu bertelur dengan jumlah populasi telurnya dapat
mencapai 200.000 butir per hari. (Soedarto, 2011, h:183)
Gambar 2.3 Siklus
hidup Ascaris lumbricoides
2.2.3.
Perubahan
Patologi
Akibat beradanya cacing dewasa di
dalam usus dan beradanya larva cacing di dalam darah, akan terjadi perubahan
patologis pada jaringan dan organ penderita.
Larva cacing yang berada di paru-paru
dapat menimbulkan pneumonia pada penderita dengan gejala klinis berupa demam,
batuk, sesak dan dahak yang berdarah. Selain itu penderita juga mengalami
urtikaria disertai terjadinya eosinofil sampai 20 persen pada gambaran darah
tepi. Terjadinya pneumonia yang disertai dengan gejala alergi ini di sebut
sebagai Sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia. (Soedarto, 2011,
h:184)
Jika terjadi infeksi askariasis yang
berat (hiperinfeksi), terutama pada
anak-anak dapat terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga
penderita akan mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi.
Cacing Ascaris juga dapat
mengeluarkancairan toksik yang dapat menimbulkan gejala klinis mirip demam
tifoid di sertai tanda-tanda alergi misalnya ultikaria, edema pada wajah,
konjungtivitas dan iritasi pernafasan atas. (Soedarto, 2011, h:184)
Sejumlah besar cacing Ascaris dewasa yang terdapat di dalam
lumen usus juga dapat menimbulkan berbagai akibat mekanis, yaitu terjadinya
sumbatan atau obstruksi usus intususepsi.cacing dewasa juga dapat menimbulkan
perforasi ulkus yang ada di usus. Pada penderita yang mengalami demam tinggi, Ascaris lumbricoides dewasa dapat
melakukan migrasi ke organ-organ di luar usus (Ascaris ektopik), misalnya ke lambung, usofagus, mulut, hidung,
rima glottis atau bronkus, sehingga menyumbat pernafasan penderita. Selain itu
juga dapat juga terjadi sumbatan saluran empedu, apendisitis, abses hati, dan
pancreatitis akut. (Soedarto, 2011, h:184)
2.2.4.
Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis pasti
askariasis harus dilakukan pemeriksaan maksoskopis terhadap tinja atau muntahan
penderita untuk menemukan cacing dewasa. Pada pemeriksaan makroskopis atau
tinja penderita dapat ditemukan telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja
atau cairan empedu penderita. (Soedarto, 2011, h:184)
Adanya cacing Ascaris pada organ atau usus dipastikan jika dilakukan pemeriksaan
radiografi dengan barium. Unuk membantu menegakkan diagnosis askariasis,
pemeriksaan darah tepi akan menunjukkan terjadinya eosinofilia pada awal
infeksi, sedangkan scrath test pada
kulit akan menunjukkan hasil positif. (Soedarto, 2011, h:185)
2.2.5.
Dampak Kecacingan pada Anak
Kecacinga jarang sekali menyebabkan
kematian secara langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Infeksi cacing tambang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) mengakibatkan anemia
definisi besi, sedangkan Trichuris
trichiura menimbulkan morbiditas yang tinggi. (Jalaludin,
2009)
Berbagai penelitian membuktikan bahwa
sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya
parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan
nutrient lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari
kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan
dapat menyebabkan kekurangan kalori protei
dan diduga dapat menyebabkan defisiensi vitamin A. (Jalaludin, 2009)
Gejala kecacingan jika penderita yang
ditumpangi cacing sudah kekurangan gizi terjadi karena sebagian makanan dimakan
oleh cacing, tanda-tandanya : berat badan turun, wajah pucat, kulit dan rambut
kering, keadaan tubuh lemah, lesu dan mudah sakit, selera makan berkurang,
kulit telapak tangaan tidak merah, kurang darah dan mungkin jantung
berdebar-debar, sesak nafas dan sering pusing. (Jalaludin,
2009)
2.2.6.
Transmisi
Telur Cacing ke Tubuh Manusia
Pencemaran
tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur cacing Ascaris lumbricoides dari tanah kepada
manusia melalui tangan dan kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut
melalui makanan. (Jalaludin, 2009)
Selain
melalui tangan, transmisi telur cacing ini uga dapat melalui makanan dan
minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat.
Telur cacing yang ada ditanah/debu akan sampai pada makanan tersebut jika
diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya
menghinggap tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing
tersebut. (Jalaludin, 2009)
2.2.7.
Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi
Kecacingan
Secara
Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan infeksi kecacingan
sudah dilalukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan kebijakan
terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada pelita
V dan IV program pemberantasa penyakit kecacingan meningkat karena periode ini
lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak. (Jalaludin, 2009)
Pencegahan
dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah dengan memutuskan
rantai penularan, yang lain dilakukan dengan pengobatan masal, perbaikan
sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta pendidikan kesehatan. (Jalaludin, 2009)
Hal-hal
yang perlu dibiasakan agar tercegah dari penyakit kecacingan adalah
sebagaiberikut :
a.
Biasakan
mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan sabun dan bersihkan
bagian kuku yang kotor.
b.
Biasakan
menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
c.
Tidak
membiasakan menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.
d.
Tidak
membiasakan bayi atau anak bermain-main ditanah.
e.
Tidak
membuang kotoran dikebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang kotoran
dijamban.
f.
Biasakan
membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban
g.
Biasakan
tidak jajan panganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.
h.
Di
wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke
puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.
i.
Segera
mengobati cacing sampai tuntas.
j.
Penyakit
cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan diri
dan lingkunga yang tidak baik.
k.
Biasakan
makan daging yang benar-benar dan bukan yang mentah atau setengah matang.
l.
Biasakan
berjalan kaki kemana-mana memakai alas kaki.
m.
Obat
cacing hanya diberikan kepada orang yang bener-bener mengidap penyakit
kecacingan.
n.
Biasakan
makan lalap yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir
(Jalaludin, 2009)
Penanggulangan infeksi cacing usus
tidak mudah karena keterkaitan masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya
bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan rantai penularan. Upaya untuk
mengatasi masalah tersebut dapat dillakukan melalui kegiatan terpadu yang
mencakup pengobatan masal, penyuluhan kesehatan, peningkatan status gizi,
perbaikan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan serta partisipasi
masyarakaat. (Jalaludin, 2009)
Kunci pemberantasan cacingan adalah
memperbaiki higine dan sanitasi lingkungan. Misalnya tidak menyiram jalanan
dengan air got. Sebaiknya, bilas sayuran mentah dengan air mengalir atau
menyelupkannya beberapa detik dengan air mendidih. Juga tidak jajan disembarang
tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan sebelum
makan, bukan hanya sesudah makan, rantai penularan cacing bias diputus. Pada
saat bersamaan, anak-anak menderita cacingan harus segera diobati. Namun, meski
semua anak sudah minum obat cacing tak berarti masalah cacingan akan selesai saat
itu juga. Pemberantasan cacing juga gotong royong yang butuh waktu
bertahun-tahun. Negara maju seperti Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah
para cacing usus ini. Setelah kalah oeh Sekutu saat perang dunia II, Jepang
jatuh menjadi Negara miskin. Karena
miskin, karena miskin mereka menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk
pertanian. Akibatnya penularan cacing menjadi tak terkendali sampai menyerang
80% penduduk. Butuh waktu 10 tahun untuk menurukan angka kecacingan hingga
dibawah 10%. Pada kasus kecacingan ringan dan sedang, gejalanya sulit dikenali.
Untuk memastikan, anak-anak harus diperiksa tinjanya dengan mikroskop. Jika
terbukti mengandung telur cacing, ia harus segera diobati. (Jalaludin, 2009)
2.2.8.
Pengobatan
Berbagai
obat cacing yang efektif untuk mengobati askariasis dan hanya menimbulkan
sedikit efek samping adalah Mebendazol,
pirantel pamoat, albendazol dan levamisol. Obat-obat cacing ini di berikan
dengan takaran sebagai berikut :
·
Mebendazol, 500 mg dosis tunggal
·
Pirantel, dosis tunggal 10 mg/kg
berat badan (base) maksimum 1.0 g.
·
Levamisol, 120 mg dosis tunggal
(dewasa), 2,5 mg/kg berat badan dosis tunggal (anak)
Selain itu piperasin dan obat cacing lainnya masih dapat digunakan untuk
mengobati penderita askariasis. (Soedarto, 2011, h:185)
DAFTAR PUSTAKA
Desy R,
Ridarty, Sahat J, Susanti B. 2012. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Kecacingan pada Anak 8-9 Tahun di SD Neg
023971. Binjai.
Dinkes
Jombang. 2012. Data Kecacingan. Dinkes
Jombang
Jalaludin.
2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan,
Personal Hygiene dan Karakteristik Anak Terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid
Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. Universitas
Sumatra Utara. Medan.
Kundaian F,
Umboh J M L, Kepel B J. 2011. Hubungan
Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infeksi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di
Desa Taling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Universitas Sam
Ratulangi. Manado.
Lestari S. 2011. Materi
Instrumentasi. D3 Analis Kesehatan STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mahardian C
A. 2013. Pemeriksaan Telur Cacing pada
Kotoran Kuku Siswa Sekolah Dasar. STIKes Insan Cendikia Medika. Jombang.
Mustofa P,
Palandeng H, Lampus B S. 2013. Hubungan
Antara Perilaku Tentang Pencegahan Penyakit Kecacingan dengan Infeksi Cacing
pada Siswa SD di Kelurahan Bengkol Kecamatan Mapanget Kota Manado. Universitas
Sam Ratulangi. Manado.
Nasir A,
Muhith A & Idieputri. 2011. Buku Ajar
Metodologi Penelitian Kesehatan: Konsep Pembuatan Karya Tulis dan Thesis untuk
Mahasiswa Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.
Notoatmodjo,
Soekoidjo. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan. Reneka Cipta. Jakarta.
Nurjanah A,
Rakhmawati W, Nurlita N. 2012. Personal
Hygiene Siswa Sekolah Dasar Negri Jatinaor. Universitas Podjadjaran.
Bandung.
Rahayu S E.
2006. Keberadaan Telur Cacing Parasit
pada Siswa SD Sekitar Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Terpadau Kota
Malang dan Hubungan dengan Kepadatan Telur Cacing pada Air Limbah Perumahan di
IPAL Terpadu. Malang
Soedarto.
2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
CV Sagung Seto. Jakarta.
Syaifudin.
2009. Anatomi Tubuh Manusia. Salemba
Medika. Jakarta