PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Sabtu, 23 Oktober 2010

KINERJA / JOB PERFORMANCE 2

Dr. Suparyanto, M.Kes

KINERJA 2

Penjelasan lebih rinci masing-masing variabel yang mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut:

Umur
  • Robbins (2003) menyatakan bahwa kinerja akan merosot dengan bertambahnya usia. Pekerja tua dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru, namun begitu pekerja tua punya pengalaman, etos kerja yang kuat dan komitmen terhadap mutu. Umur berbanding terbalik terhadap kemangkiran, di mana pekerja yang tua lebih kecil kemungkinan untuk berhenti bekerja. Umur juga berpengaruh terhadap produktivitas, di mana makin tua pekerja makin merosot produktivitasnya, karena ketrampilan, kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun dengan berjalannya waktu. Berdasarkan kajian diatas berarti dapat dikatakan bahwa semakin tua umur tenaga kesehatan semakin berkurang kinerjanya.
  • Suprihanto (2003) menyatakan semakin tua individu makin kecil kemungkinannya baginya untuk berhenti/keluar dari pekerjaaannya. Hal ini tidak menherankan karena semakin tua seseorang, maka semakin sedikit alternative kesempatan kerja. Selain itu semakin tua seseorang individu, berati masa jabatan mereka juga sudah panjang, dimana hal ini cenderung memberikan mereka kompensasi yang relatif baik berupa gaji yang relatif tinggi, paket wisata/cuti yang menarik, maupun paket pensiun yang baik.
  • Banyak orang percaya bahwa produktivitas akan menurun seiring dengan bertambahnya usia karena melemahnya kekuatan yang dimiliki oleh seorang individu. Namun beberapa penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara usia dan kinerja karyawan (Suprihanto, 2003).

Jenis Kelamin
  • Robbins (2003) menyatakan bahwa wanita lebih mematuhi wewenang sedang pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Tidak ada perbedaan berarti dalam produktivitas pekerjaan antara pria dan wanita, dan tidak ada bukti yang menunjukan jenis kelamin karyawan mempengaruhi kepuasan kerja.
  • Gibson (1996) menyatakan tidak ada data pendukung yang menyatakan bahwa pria atau wanita adalah pekerja yang lebih baik, dalam hal absensi wanita lebih besar, karena wanita mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Pada masyarakat yang menekankan perbedaan jenis kelamin dan memperlakukan mereka sangat berbeda, ada beberapa perbedaan dalam bidang-bidang tertentu seperti agresivitas dan perilaku sosial.

Pendidikan
  • Notoatmojo (2003) mendefinisikan pendidikan sebagai segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yaitu: (1) input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat), dan pendidik (pelaku pendidikan); (2) proses (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain); (3) output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku).
  • Pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan di dalam bidang kesehatan. Hasil (output) yang diharapkan dari suatu pendidikan kesehatan adalah perilaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif.
  • Menurut Drucker (1994) dalam Ilyas (2001) tenaga professional adalah sumberdaya terbaik suatu organisasi sehingga evaluasi kinerja mereka menjadi salah satu variabel yang penting bagi efektivitas organisasi.
  • Suprihanto (2003) mengatakan bahwa keahlian adalah kompensasi yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu tugas, umpamanya keahlian dalam mengarsipkan surat-surat dan dokumen. Keahlian yang berhubungan dengan fisik meliputi koordinasi tubuh, stamina, kelenturan tubuh.
  • Untuk mencocokan antara kemampuan dan keahlian seseorang dengan persyaratan pekerjaan seringkali dipergunakan metode analisis pekerjaan (job analysis) karena setiap pekerjaan memerlukan kemampuan yang berbeda untuk melaksanakannya.

Pengetahuan
  • Supriyanto (2002) mendefinisikan pengetahuan sebagai hasil (output) dari ilmu. Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu obyek tertentu termasuk didalamnya adalah ilmu seni dan agama. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung memperkaya kehidupan kita.
  • Pengetahuan dikumpulkan dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapai manusia dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah alias ilmu dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai masalah atau persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. 
  • Jadi fungsi pengetahuan (axiology) dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Menerangkan gejala alam
  2. Meramalkan kejadian
  3. Mengontrol keadaan alam

Persepsi
  • Desiderato (1976) dalam Rakhmat (2004) mendefinisikan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi. Hubungan sensasi dan stimuli sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, espektasi, motivasi dan memori.
  • Wofman (1973) mendefinisikan sensasi sebagai pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera.
  • Suprihanto (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses di mana Individu memberi arti terhadap lingkungan. Sesuatu yang sama dilihat dengan cara yang berbeda maka akan dihasilkan arti yang berbeda.
  • Gibson (1996) mendefinisikan persepsi sebagai proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Persepsi membantu individu dalam memilih, mengatur, menyimpan dan menginterpre-tasikan rangsangan menjadi dunia yang utuh dan berarti.
  • Robins (2003) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan kesan indera mereka agar memberikan makna bagi lingkungan mereka. Perilaku individu didasarkan pada persepsinya mengenai apa realitas itu, bukan mengenai realitas itu sendiri.
  • Persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: subyek (perceiver), obyek/target dan konteks/situasi.
a. Subyek (perceiver)
  • Intepretasi terhadap suatu fenomena sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi subyek. Karakteristik yang dipengaruhi persepsi seseorang antara lain adalah sikap, motivasi, minat pengalaman masa lampau dan pengharapan. Persepsi individu cenderung sesuai dengan karakteristik pribadinya.
b. Obyek/target
  • Persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh karakteristik obyek. Karakteristik obyek antara lain ditunjukan oleh gerakan, suara, bentuk, warna, ukuran dan penampakan/penampilan. Seseorang yang mendengar suara dengan nada tinggi mungkin memiliki persepsi bahwa si pemilik suara sedang marah (padahal belum tentu demikian).
c. Konteks/situasi
  • Suasana dimana proses persepsi berlangsung juga mempengaruhi persepsi seseorang. Perbedaan suasana antara lain ditunjukan oleh perbedaan waktu, work-setting dan social-setting.

Sikap
  • Robbins (2003) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai obyek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Dalam organisasi, sikap itu penting karena mereka mempengaruhi perilaku.
  • Gibson (1996) menyatakan bahwa sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari, dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang terhadap orang, obyek-obyek, dan keadaan. Sikap adalah determinan perilaku, sebab sikap berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
  • Gibson (1996) lebih lanjut mengatakan bahwa afeksi, kognisi, dan perilaku menentukan sikap dan bahwa sikap, sebaliknya menentukan afeksi, kognisi dan perilaku. Afeksi, emosi atau perasaan, komponen dari sikap dipelajari dari orang tua, guru, anggota kelompok sebaya. Komponen kognisi dari sebuah sikap terdiri dari persepsi, pendapat, dan kepercayaan seseorang. Ini mengacu pada proses berpikir, dengan penekanan khusus pada rasionalitas dan logika. Komponen perilaku dari sebuah sikap mengacu pada kepada kecenderungan seseorang untuk bertindak terhadap seseorang atau sesuatu dengan cara tertentu misalnya ramah, hangat, agresif, tidak ramah atau apatis.
  • Suprihanto (2003) menyatakan bahwa sikap adalah pernyataan yang bersifat evaluatif atau menunjukan rasa suka atau tidak suka seseorang kepada suatu obyek atau kejadian. Sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh kriteria penilaiannya, sementara kriteria tersebut terbentuk melalui suatu proses interaksi sosial.

REFERENSI
  1. Algifari, 2000, Analisis Regresi, Teori, Kasus, dan Solusi, edisi 2, Jogjakarta: BPFE, hlm 61—82.
  2. Arifin, A., 2001, Koordinasi Pemrograman sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  3. As’ad, M., 2003, Psikologi Industri, Yogyakarta: Liberty, hlm 45—64.
  4. Azwar, A., 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi ke 3, Jakarta: Bina Rupa Aksara, hlm 287—321.
  5. Brata, N., W., 2004, Upaya Peningkatan Cakupan Penderita Tuberkulosis Melalui Analisis Faktor petugas Puskesmas dan Masyrakat di Kabupaten Tabanan, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  6. Brotowidjojo, M., 1988, Penulisan Karangan Ilmiah, Jakarta CV. Akademika Pressindo, hlm 166—170.
  7. Caiola, N., Sullivan, R.L., 2000, Performance Improvement: Developing a Strategy for Reproductive Health Services, http://www.jhpiego.org/, senin 17 Januari 2005, pukul: 08:15 WIB
  8. Dep.Kes., R.I, 1999, Pedoman Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke 4, Jakarta: Ditjen PPM-PLP, hlm 1—40.
  9. Dep.Kes., R.I, 2000, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-5, Jakarta: Ditjen PPM-PLP, hlm 1—31.
  10. Dep.Kes., R.I, 1990, Pedoman Puskesmas, jilid 3, Jakarta: Dep. Kes. R.I., hlm 31—38.
  11. Dep.Kes., R.I, 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Jakarta: Dep. Kes. RI., hlm 17—21.
  12. Dep.Kes., R.I, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 128/MENKES/SK/II/2004, Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat , Jakarta: Dep. Kes. RI., hlm 5—12.
  13. Dep.Kes., R.I, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Dep. Kes. R.I., hlm 21—23.
  14. Dessler, G., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Prenhallindo, hlm 1—40.
  15. Fridawaty, 2002, Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan di RS Haji Surabaya, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
  16. Gibson, J.L., J.M. Ivancevich, J.H. Donnelly, Jr., 1996, Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Bina Rupa Aksara, hlm 119—275 .
  17. Gomes, F.C., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset, hlm 134—196.
  18. Gunaya, I N.D., 2004, Analisis Faktor Dominan Perawat yang Mempengaruhi Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Negara, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  19. Hague, P., 1995, Merancang Kuesioner, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, hlm 115—144.
  20. Hanafi, M., 1997, Manajemen, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, hlm 337—356.
  21. Handoko, H., 1996, Manajemen, edisi 2, Yogyakarta: BPFE, hlm 251—270.
  22. Ilyas, Y., 2001, Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, hlm 66—150.
  23. Kopelman, R.E., 1998, Managing Productivity in Organization a Practical-people Oriented Prespective, New York: MC. Graw Hill Book Company, pp 3—18.
  24. Mathis, R.L., J.H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku 1, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, hlm 75—114.
  25. Mathis, R.L., J.H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku 2, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, hlm 89—91.
  26. McCaffery, J., M. Heerey, K. P. Bose (2003), Refining Performance Improvement Tools and Methods: lessons and Challenges, www.ispi.org.
  27. Nimran, U., 1997, Perilaku Organisasi, Surabaya: CV. Citra Media,. Hlm 9—19.
  28. Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm 36—54.
  29. Pujiharti, Y., 2002, Analisis Faktor Organisasi Yang Berpengaruh Terhadap Motivasi dan Kinerja Bidan Petugas KIA Puskesmas Kota Malang. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
  30. Purnomo, W., 2002, Statistika & Statistika Manajemen, Surabaya: Universitas Airlangga Program Pascasarjana Program Studi S2 Administrasi Kebijakan Kesehatan.
  31. Rakhmat, J., 2004, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm 79—98.
  32. Robbins, S., 2003, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks, hlm 45—80.
  33. Santoso, S., 2003, SPSS versi 10 Mengolah Data Statistik secara Profesional, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hlm 285—377.
  34. Satyawan, D., S., 2003, Kinerja Bidan Di Desa Dalam Pertolongan Persalinan di Pedesaan (Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Bidan di desa Dalam Pertolongan Persalinan di Kabupaten Malang), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  35. Siagian, S.P., 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, hlm 252—294.
  36. Singarimbun, M., 1995, Metode Penelitian Survei, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, hlm 122—146.
  37. Sudjana, 2003, Tehnik Analisis Regresi dan Korelasi bagi para Peneliti, Bandung: Tarsito, hlm 145—167.
  38. Suprihanto, J., TH.A.M.Harsiwi, P.Hadi, 2003, Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, hlm 21—54.
  39. Supriyanto, 2003, Metodologi Riset, Surabaya: Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, hlm 93—96.
  40. Thoha, M., 2003, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Cetakan ke 14, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 203—253.
  41. Umar, H., 2003, Evaluasi Kinerja Perusahaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 99—106.
  42. Umar, H., 2001, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 126—138.
  43. Usmara, A., L.Dwiantara, 2004, Strategi Organisasi, Jogjakarta: Amara Books, hlm 131—142.
  44. WHO, 2001, Tuberculosis Control an Annotated Bibliography, New Delhi: World health Organization South-East Asia Regional Office, pp 5—8.
  45. Winarto, Y.T., Totok S., Ezra M.c., 2004, Karya Tulis Ilmiah Sosial, Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 175—193.
  46. Wulandari, W., 2004, Kinerja Perawat Pada Unit BP Puskesmas di Kabupaten Lumajang, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  47. Zainuddin, M., 2003, Metode Penelitian, Surabaya: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, hlm 58—72.
  48. Zainun, B., 1989, Manajemen dan Motivasi, Jakarta: Balai Aksara, hlm 49—64.

Kamis, 21 Oktober 2010

KINERJA / JOB PERFORMANCE

Dr. Suparyanto, M.Kes

KINERJA / JOB PERFORMANCE

Pengertian Kinerja
  • Ilyas (2001) mendefinisikan kinerja sebagai penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi. Menurut As’ad (2003) kinerja (job performance) adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Menurut Darokah dalam Ilyas (2001) kinerja adalah suatu catatan keluaran hasil pada suatu fungsi jabatan kerja oleh seluruh aktivitas kerja dalam periode waktu tertentu. Kopelman (1998) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kinerja ( Performance=P) adalah hasil interaksi antara motivasi (M) dan kemampuan (Ability = A), yang dalam teori atribusi dirumuskan dengan P = f (M x A).
Teori Kinerja
  • Heider (1958) dalam As’ad (2003) mengemukakan teori atribusi atau Expectancy Theory bahwa kinerja merupakan hasil interaksi antara motivasi dan ability, yang dirumuskan dengan formula sebagai berikut: P(Performance) merupakan fungsi M(Motivation) dan A(Ability) yang dapat ditulis sebagai rumus: P = f (M x A). Konsep diatas juga didukung oleh Maier (1965), Lawler dan Porter (1967) dan Vroom (1964). Berdasarkan teori diatas maka seseorang tenaga kesehatan yang rendah dalam salah satu komponennya maka kinerjanya akan rendah pula, dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tenaga kesehatan yang kinerjanya rendah, maka hal tersebut dapat merupakan hasil dari motivasinya yang rendah atau kemampuannya yang kurang atau kedua-duanya yaitu motivasi dan kemampuannya yang rendah.
  • Vroom (1964) dalam As’ad (2003) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya motivasi seserang ditentukan oleh interaksi perkalian dari tiga komponen, yaitu Valence (nilai-nilai), Instrumentality (alat) dan Expectancy (harapan) jadi M = f (V x I x E).
  • Muchlas (1997) dalam Wulandari (2004) menjelaskan bahwa meskipun seseorang mempunyai kemampuan dan kemauan, tapi mungkin saja ada penghalang yang bisa menghambat prestasinya. Jadi seseorang yang menunjukan kinerja yang tidak baik, maka harus dilihat lingkungan luarnya apakah sudah cukup membantu, seperti apakah memiliki kelengkapan peralatan dan bahan, kondisi kerja yang favorable, teman kerja yang membantu, peraturan yang mendukung dan prosedur kerja dengan alokasi waktu yang cukup. Jika semua tidak ada maka jangan diharapkan muncul suatu prestasi kerja yang minimal sekalipun.

Pengukuran Kinerja
  • As’ad (2003) mengatakan bahwa untuk mengukur job performance, masalah yang paling penting adalah menetapkan kriterianya. Menurut Jessup & Jessup (1975) dalam As’ad (2003), yang pertama diperlukan dalam hal ini adalah ukuran mengenai sukses, dan bagian-bagian mana yang dianggap penting sekali dalam suatu pekerjaan. Usaha untuk menentukan ukuran tentang sukses ini amatlah sulit, karena seringkali pekerjaan itu begitu komplek sehingga sulit ada ukuran output yang pasti. Hal seperti ini terutama terdapat pada jabatan-jabatan yang bersifat administratif.
  • Bellows (1961) dalam As’ad (2003) menyebutkan bahwa syarat kriteria kinerja yang baik ialah apabila lebih reliabel, realistis, representatif dan bisa predictable. Sedangkan Maier (1965) dalam As’ad (2003) mengatakan bahwa yang umum dianggap sebagai kriteria kinerja antara lain ialah: kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Dikatakan selanjutnya bahwa dimensi mana yang penting adalah berbeda antara pekerjaan yang satu dengan lainnya.
  • Jika kriteria kinerja pekerjaan sudah ditetapkan, maka langkah berikutnya dalam mengukur performance adalah mengumpulkan informasi yang berhubung-an dengan hal-hal tersebut dari seseorang selama periode tertentu. Dengan membandingkan hasil ini terhadap standart yang dibuat untuk periode waktu yang bersangkutan, akan didapatkan level of performance seseorang.

Faktor yang mempengaruhi Kinerja.
  • Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi (determinan) kinerja personel, dilakukan pengkajian terhadap beberapa teori kinerja. Gibsons (1996) menyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Ketiga kelompok variabel tersebut mempengaruhi perilaku kerja yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja personel. Perilaku yang berpengaruh terhadap kinerja adalah yang berkaitan dengan tugas-tugas pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mencapai sasaran suatu jabatan atau tugas.
  • Variabel individu menurut Gibson (1996) dikelompokan pada sub variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Sub variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu. Variabel demografis, mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. Variabel psikologis terdiri dari sub variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson, banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel psikologis seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur. Gibson (1996) juga menyatakan sukar dicapai kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut, karena seorang individu masuk dan bergabung dalam organi-sasi kerja pada usia, etnis, latar belakang, budaya dan ketrampilan yang berbeda satu dengan lainnya. Varibel organisasi, menurut Gibson (1996) mempunyai efek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan dalam sub-variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan disain pekerjaan.
  • Kopelman (1998) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: karakteristik individu, karakteristik organisasi dan karakteristik pekerjaan, lebih lanjut Kopelman menjelaskan bahwa kinerja selain dipengaruhi oleh faktor diatas juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Kopelman karakteristik individu terdiri dari: kemampuan, pengetahuan, ketrampilan, motivasi, norma, dan nilai, sedang karakteristik individu yang lain seperti kepribadian, umur dan jenis kelamin, tingkat pendidikan, suku bangsa, keadaan sosial ekonomi, pengalaman terhadap keadaan yang lalu, akan menentukan perilaku kerja dan produktivitas kerja, baik individu maupun organisasi. Karakteristik organisasi terdiri dari: sistem imbalan, seleksi dan pelatihan, struktur organisasi, visi dan misi organisasi serta kepemimpinan; sedangkan karakteristik pekerjaan terdiri dari: deskripsi pekerjaan, disain pekerjaan dan jadwal kerja.
  • Ilyas (2001) lebih lanjut menjelaskan bahwa teori yang dikembangkan oleh Gibson dan Kopelman berdasarkan penelitian dan pengalaman yang mereka temukan pada sampel dan komunitas masyarakat negara maju seperti Amerika Serikat. Pada teori yang mereka sampaikan tidak tampak peran variabel supervisi dan kontrol dalam hubungannya dengan kinerja. Hal ini dimungkinkan kedua variabel tersebut tidak berperan secara bermakna bagi masyarakat maju seperti Amerika Serikat, artinya budaya kerja pekerja Amerika sudah dalam kondisi tidak membutuhkan kontrol dan supervisi yang ketat dari organisasi dan atasan mereka, tingkat kinerja mereka sudah pada tingkatan yang optimum. Dengan kata lain setiap pekerja melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya dengan pengawasan yang melekat pada setiap pekerja telah berjalan dengan baik. Pada negara berkembang seperti Indonesia, variabel supervisi dan kontrol masih sangat penting pengaruhnya dengan kinerja individu. Menurut penelitian Ilyas (2001) dengan topik: Determinan Kinerja Dokter PTT, ditemukan bahwa supervisi atasan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kinerja dokter PTT.
  • Hall TL dan Meija (1987) dalam Ilyas (2001) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: faktor internal individu yang terdiri dari: (1) karakteristik individu seperti umur, pendapatan, status perkawinan, pengalaman kerja dan masa kerja. (2). Sikap terhadap tugas yang terdiri persepsi, pengetahuan, motivasi, tanggung-jawab dan kebutuhan terhadap imbalan, sedang faktor eksternal meliputi sosial ekonomi, demografi, geografi, lingkungan kerja, aseptabilitas, aksesabilitas, beban kerja dan organisasi yang terdiri pembinaan, pengawasan, koordinasi, dan fasilitas.

REFERENSI
  1. Algifari, 2000, Analisis Regresi, Teori, Kasus, dan Solusi, edisi 2, Jogjakarta: BPFE, hlm 61—82.
  2. Arifin, A., 2001, Koordinasi Pemrograman sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas, Desertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  3. As’ad, M., 2003, Psikologi Industri, Yogyakarta: Liberty, hlm 45—64.
  4. Azwar, A., 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, edisi ke 3, Jakarta: Bina Rupa Aksara, hlm 287—321.
  5. Brata, N., W., 2004, Upaya Peningkatan Cakupan Penderita Tuberkulosis Melalui Analisis Faktor petugas Puskesmas dan Masyrakat di Kabupaten Tabanan, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  6. Brotowidjojo, M., 1988, Penulisan Karangan Ilmiah, Jakarta CV. Akademika Pressindo, hlm 166—170.
  7. Caiola, N., Sullivan, R.L., 2000, Performance Improvement: Developing a Strategy for Reproductive Health Services, http://www.jhpiego.org/, senin 17 Januari 2005, pukul: 08:15 WIB
  8. Dep.Kes., R.I, 1999, Pedoman Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke 4, Jakarta: Ditjen PPM-PLP, hlm 1—40.
  9. Dep.Kes., R.I, 2000, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis, cetakan ke-5, Jakarta: Ditjen PPM-PLP, hlm 1—31.
  10. Dep.Kes., R.I, 1990, Pedoman Puskesmas, jilid 3, Jakarta: Dep. Kes. R.I., hlm 31—38.
  11. Dep.Kes., R.I, 2003, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Jakarta: Dep. Kes. RI., hlm 17—21.
  12. Dep.Kes., R.I, 2004, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 128/MENKES/SK/II/2004, Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat , Jakarta: Dep. Kes. RI., hlm 5—12.
  13. Dep.Kes., R.I, 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta: Dep. Kes. R.I., hlm 21—23.
  14. Dessler, G., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Prenhallindo, hlm 1—40.
  15. Fridawaty, 2002, Analisis Faktor Dominan yang Mempengaruhi Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan di RS Haji Surabaya, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
  16. Gibson, J.L., J.M. Ivancevich, J.H. Donnelly, Jr., 1996, Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Bina Rupa Aksara, hlm 119—275 .
  17. Gomes, F.C., 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: Andi Offset, hlm 134—196.
  18. Gunaya, I N.D., 2004, Analisis Faktor Dominan Perawat yang Mempengaruhi Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Negara, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  19. Hague, P., 1995, Merancang Kuesioner, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, hlm 115—144.
  20. Hanafi, M., 1997, Manajemen, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, hlm 337—356.
  21. Handoko, H., 1996, Manajemen, edisi 2, Yogyakarta: BPFE, hlm 251—270.
  22. Ilyas, Y., 2001, Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian, Jakarta: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, hlm 66—150.
  23. Kopelman, R.E., 1998, Managing Productivity in Organization a Practical-people Oriented Prespective, New York: MC. Graw Hill Book Company, pp 3—18.
  24. Mathis, R.L., J.H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku 1, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, hlm 75—114.
  25. Mathis, R.L., J.H. Jackson, 2001, Manajemen Sumber Daya Manusia, Buku 2, Jakarta: PT. Salemba Emban Patria, hlm 89—91.
  26. McCaffery, J., M. Heerey, K. P. Bose (2003), Refining Performance Improvement Tools and Methods: lessons and Challenges, www.ispi.org.
  27. Nimran, U., 1997, Perilaku Organisasi, Surabaya: CV. Citra Media,. Hlm 9—19.
  28. Notoatmodjo, S., 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm 36—54.
  29. Pujiharti, Y., 2002, Analisis Faktor Organisasi Yang Berpengaruh Terhadap Motivasi dan Kinerja Bidan Petugas KIA Puskesmas Kota Malang. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
  30. Purnomo, W., 2002, Statistika & Statistika Manajemen, Surabaya: Universitas Airlangga Program Pascasarjana Program Studi S2 Administrasi Kebijakan Kesehatan.
  31. Rakhmat, J., 2004, Psikologi Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hlm 79—98.
  32. Robbins, S., 2003, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Indeks, hlm 45—80.
  33. Santoso, S., 2003, SPSS versi 10 Mengolah Data Statistik secara Profesional, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, hlm 285—377.
  34. Satyawan, D., S., 2003, Kinerja Bidan Di Desa Dalam Pertolongan Persalinan di Pedesaan (Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Bidan di desa Dalam Pertolongan Persalinan di Kabupaten Malang), Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  35. Siagian, S.P., 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, hlm 252—294.
  36. Singarimbun, M., 1995, Metode Penelitian Survei, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, hlm 122—146.
  37. Sudjana, 2003, Tehnik Analisis Regresi dan Korelasi bagi para Peneliti, Bandung: Tarsito, hlm 145—167.
  38. Suprihanto, J., TH.A.M.Harsiwi, P.Hadi, 2003, Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara, hlm 21—54.
  39. Supriyanto, 2003, Metodologi Riset, Surabaya: Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, hlm 93—96.
  40. Thoha, M., 2003, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Cetakan ke 14, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 203—253.
  41. Umar, H., 2003, Evaluasi Kinerja Perusahaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 99—106.
  42. Umar, H., 2001, Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm 126—138.
  43. Usmara, A., L.Dwiantara, 2004, Strategi Organisasi, Jogjakarta: Amara Books, hlm 131—142.
  44. WHO, 2001, Tuberculosis Control an Annotated Bibliography, New Delhi: World health Organization South-East Asia Regional Office, pp 5—8.
  45. Winarto, Y.T., Totok S., Ezra M.c., 2004, Karya Tulis Ilmiah Sosial, Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm 175—193.
  46. Wulandari, W., 2004, Kinerja Perawat Pada Unit BP Puskesmas di Kabupaten Lumajang, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
  47. Zainuddin, M., 2003, Metode Penelitian, Surabaya: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, hlm 58—72.
  48. Zainun, B., 1989, Manajemen dan Motivasi, Jakarta: Balai Aksara, hlm 49—64.

Selasa, 19 Oktober 2010

PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL

Dr. Suparyanto, M.Kes



PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL

MACAM GAGAL GINJAL
Gagal Ginjal Akut (GGA):
  • Sering berkaitan dengan penyakit kritis
  • Berjalan cepat dalam hitungan hari – minggu
  • Biasanya reversibel bila penderita dapat bertahan dengan penyakit kritisnya
Gagal Ginjal Kronik (GGK):
  • Dimulai dengan kerusakan yang progresif pada nefron dalam waktu lama dan ireversibel

GAGAL GINJAL AKUT (GGA)

GGA = ARF (Acute Renal Failure) dengan gejala:
  • Penurunan GFR yang cepat (dalam beberapa hari),
  • Azotemia dan
  • Gangguan homeostasis elektrolit, cairan dan asam basa
Penyebab GGA:
  1. Prarenal
  2. Intrinsik
  3. Pascarenal

GGA PRARENAL (PENURUNAN PERFUSI GINJAL)
  • Deplesi CES absolut (perdarahan, diuresis berat, diare berat, luka bakar)
  • Penurunan volume sirkulasi yang efektif
  • Penurunan curah jantung (infark, aritmia, decom)
  • Vasodilatasi perifer (sepsis, anafilaksis, anestesi)
  • Hipoalbumin (sirosis, sindrom nefrotik)
  • Perubahan hemodinamik ginjal primer (aspirin, kaptopril, alfa adrenergik)
  • Obstruksi vaskuler ginjal bilateral (stenosis, trombosis, emboli)

GGA PASCA RENAL (OBSTRUKSI SALURAN KEMIH)
  • Obstruksi uretra
  • Obstruksi saluran kemih (hipertropi prostat, karsinoma)
  • Obstruksi ureter (batu)
  • Kandung kemih neurogenik

GGA INTRINSIK
  • Nekrosis Tubular Akut (ATN)
  • Pasca iskemik: syok, sepsis, bedah jantung terbuka
  • Nefrotoksik endogen: hemoglobin, mioglobin, multiple mieloma, asam urat
  • Nefrotoksik eksogen: antibiotik (aminoglikoside, amfoterisin B), logam berat (merkuri, arsen), pelarut (metanol, etilen glikol, karbon tetraklorida)
  • Penyakit vaskular/glomerular: infeksi, alergi, maligna

GEJALA KLINIS GAGAL GINJAL
  1. Stadium oligurik
  2. Stadium diuretik
  3. Stadium penyembuhan

STADIUM OLIGURIK GGA
  • Lamanya 7 – 10 hari
  • Oliguria terus menerus (akibat syok, penurunan vol plasma)
  • Hipervolemia
  • Hiperkalemia
  • Asidosis metabolik ( [HCO3-]↓ )
  • Sindrom uremik

STADIUM DIURETIK GGA
  • Selama 2 – 3 minggu
  • Diuresis, tetapi fungsi tubular tetap terganggu
  • Efek → hipokalemia, hiponatremia, dehidrasi

STADIUM PENYEMBUHAN GGA
  • Dapat terjadi selama 1 tahun
  • Kadar BUN dan kreatine kembali normal

SINDROMA UREMIA
  • Sindrom uremia adalah kumpulan tanda dan gejala pada insufisiensi ginjal progresif dan GFR menurun hingga < 10 ml/menit (<10% dari normal) dan puncaknya pada ESRD (end stage renal disease)
  • Pada titik ini nefron yang masih utuh, tetapi tidak mampu lagi mengkompensasi dan mempertahankan fungsi ginjal normal

MANIFESTASI KLINIS SINDROM UREMIA
  • Pengaturan fungsi regulasi dan ekskresi yang kacau: ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit, asam basa, retensi nitrogen, metabolisme lain, gangguan hormonal
  • Abnormalitas sistem tubuh multiple

AZETOMIA
  • Azetomia: adanya zat nitrogen dalam darah, diindikasikan dengan tingginya kadar kreatini serum dan BUN diatas nilai normal
  • Merupakan tanda awal ESRD atau sindrome uremia

EFEK SINDROMA UREMIA
  • Asidosis metabolik: ginjal tidak mampu mengsekresi asam (H+)
  • Hiperkalemia: kegagalan mengsekresi K, dan kegagalan pertukaran cairan CIS ke CES akibat asidosis
  • Gangguan ekskresi Na → hipertensi
  • Hiperuresimia → artritis gout
  • Anemia → akibat penurunan eritropoitin
  • Gangguan perdarahan → akibat gangguan agregasi trombosit
  • Perikarditis uremia → akibat toksin uremia
  • Pneumonitis uremik → akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler alveolar
  • Kulit: seperti lilin, akibat uremia dan anemia, pruritus akibat deposit Ca
  • Saluran cerna: mual, muntah, anoreksia, penurunan BB

GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)
  • Stadium 1: menurunya cadangan ginjal, asimtomatik, GFR menurun hingga 25%N
  • Stadium 2: insufisiensi ginjal: poliuria dan nokturia, GFR 10% - 25% N, kadar kreatin dan BUN meningkat diatas N
  • Stadium 3: ESRD atau sindrom uremik, GFR <5 – 10ml/mnt, kadar kreatinin dan BUN meningkat tajam, terjadi kelainan biokimia dan gejala kompleks

PENYEBAB UTAMA ESRD (END STAGE RENAL DISEASES)
  • Diabetes
  • Hipertensi
  • Glomerulonefritis (GN)
  • Penyakit Ginjal Polikistik (PKD)

PENATALAKSANAAN GGK

Konservatif:
  • Penentuan dan pengobatan penyebab
  • Pengoptimalan dan maintanance keseimbangan garam dan air
  • Koreksi obstruksi saluran kemih
  • Deteksi awal dan pengobatan infeksi
  • Pengendalian hipertensi
  • Diet rendah protein, tinggi kalori
  • Deteksi dan pengobatan komplikasi

Terapi penggantian Ginjal
  • Hemodialisis (membran semipermiabel ada pada mesin)
  • Dialisis peritoneal (membran semipermiabel menggunakan peritoneum)
  • Transplantasi ginjal

PH URINE
  • Urine asam → asidosis metabolik, respiratorik dan pireksia (demam) serta diet banyak protein hewani
  • Urine basa → infeksi saluran kemih (pengurai urea), diet banyak sayur
  • Batu dalam urine asam: kalsium oksalat, asam urat, sistin
  • Batu dalam urine basa: kalsium fosfat, Mg-Amonium fosfat (batu triple fosfat/ struvit)


REFERENSI
  • Price, Wilson (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC, edisi 6




PATOFISIOLOGI GINJAL

Dr. Suparyanto, M.Kes

PATOFISIOLOGI GINJAL

FUNGSI GINJAL
  • Organ vital yang mempertahankan kestabilan lingkungan interna tubuh (ECF)
  • Ginjal mengatur keseimbangan: cairan tubuh, elektrolit, asam basa dengan cara filtrasi darah
  • Reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit
  • Mengekresikan kelebihan air, elektrolit, asam basa sebagai urine

  • Ginjal juga berfungsi mengekskresi sisa metabolisme (urea, kreatinine dan asam urat), metabolit (hormon) dan zat kimia asing (obat)
Ginjal mensekresi (fungsi endokrin):
  1. Renin (penting untuk pengaturan tekanan darah)
  2. 1,25 dihidroksi vit D3 (penting untuk mengatur kalsium)
  3. Eritropoietin (penting untuk sintesis eritrosit)

MEKANISME RENIN – ANGIOTENSIN – ALDOSTERON
  • Mekanisme yang bertanggung jawab dalam mempertahankan tekanan darah dan perfusi jaringan dengan mengatur homeostasis ion Na
  • Hipotensi dan hipovolemia → hipoperfusi ginjal → tekanan perfusi ↓ dalam arteriole aferen dan ↓ hantaran NaCl ke makula densa → keduanya menyebabkan sekresi renin dari sel JG (Juksta Glomerulus atau sel Granular) pada dinding arteriole aferen

  • Renin di sirkulasi menyebabkan pecahnya Angiotensinogen substrat (dihasilkan hati) →Angiotensin 1
  • Angiotensin 1 → diubah menjadi Angiotensin 2 oleh ACE (Angiotensin Converted Enzim) yang dihasilkan Paru dan Ginjal
  • Angiotensin 2 → punya 2 efek:
  1. Vasokontriksi arteriole dan
  2. Pe↑ reabsorbsi air dan ion Na → tekanan darah naik

BAGAN MEKANISME RENIN ANGIOTENSIN ALDOSTERON



MEKANISME ADH
  • Mekanisme ADH berperan penting dalam regulasi metabolisme air dan mempertahankan osmolalitas darah normal → dengan merangsang rasa haus dan mengatur ekskresi air melalui ginjal dan osmolalitas urine
  • Volume ECF↓ dan pe↑ osmoraritas ECF → merangsang sekresi ADH (hipofisis posterior)

  • ADH → aliran darah ke medulla ginjal↓ → hipertonisitas interstitial medulla↑ → kemampuan memekatkan urine↑ → urine↓
  • ADH → permeabilitas duktus koligen thd air ↑ → konsentrasi urine ↑ → urine↓

RENAL BLOOD FLOW
  • RBF atau aliran darah ginjal adalah 1000 – 1200 ml/menit atau 20 – 25% dari curah jantung
  • RPF atau aliran plasma ginjal sekitar 660 ml/menit
  • GFR (Glomerulus Filtration Rate) → indek fungsi ginjal = 125 ml/menit pada pria dan 115 ml/menit (wanita)
  • GFR akan menurun 1ml/menit/tahun setelah umur 30 tahun

PROSEDUR DIAGNOSTIK PENYAKIT GINJAL

Metode Biokimia:
  • Pemeriksaan Kimia Urine
  • Laju Filtrasi glomerulus
  • Tes Fungsi Tubulus

Metode Morfologik:
  • Pemeriksaan Mikroskopik Urine
  • Pemeriksaan Bakteriologik Urine
  • Pemeriksaan radiologi
  • Biopsi Ginjal

PROTEINURIA
  • Ekskresi protein normal dalam urine kurang dari 150 mg/hari → jika lebih Patologis
Penyebab Proteinuria:
  • Fungsional
  • Aliran keluar (prarenal)
  • Glomerulus
  • Tubulus

  • Proteinuria fungsional (sementara) → terdapat pada kasus ginjal normal, akibat ekskresi protein berlebihan pd kasus: demam, latihan berat, akibat posisi berdiri (proteinuria ortostatik)
  • Proteinuria prarenal: akibat ekskresi protein BM rendah (produksi protein berlebih) → pada kasus Multiple Mieloma → dimana jumlah protein yg difiltrasi melebihi kemampuan reabsorbsi tubulus

  • Proteinuria menetap → terdapat pada penyakit sistemik dan ginjal
  • Proteinuria glomelural adalah peningkatan permeabilitas glomelural akibat hilangnya jumlah atau ukuran sawar glomerulus (lapisan glomerulus: endotel, membran basal dan epitel) → yang dapat lolos protein dgn BM rendah

  • Penyakit tubulointerstisial dapat mengganggu absorpsi protein tubular yang mengakibatkan proteinuria (pielonefritis kronik, asidosis tubulus ginjal, sindrom Fanconi, Nekrosis Tubulus Akut (ATN))
  • Sindrom neprotik → hilangnya protein sebanyak 3,5 g/hr atau lebih dalam urine

HEMATURIA
  • Hematuria → adanya darah dalam urine
  • Hematuria sering merupakan tanda adanya penyakit ginjal (glumerulonefritis) atau penyakit saluran kemih bagian bawah (infeksi, batu, trauma dan neoplasma)

BATU GINJAL
  • Jenis batu ginjal tersering: kalsium oksalat, kalsium fosfat atau campuran
  • Yang merangsang pembentukan batu: statis urine, infeksi atau pemakaian kateter menetap
  • Batu asam urat terbentuk dalam urine asam dan uropati obstruktif akibat kristalisasi asam urat
  • Pencegahan pembentukan batu: minum air yang banyak

BERAT JENIS URINE
  • Pengukuran berat jenis urine → dipergunakan untuk memperkirakan osmolalitas urine
  • BJ 1,010 → berhub dengan osmolilitas darah normal
  • BJ urine min yang diencerkan: 1,001
  • BJ urine max yg pekat: 1,040
  • Pada gagal ginjal progresif → pertama, ginjal kehilangan kemampuan untuk memekatkan urine → lalu kehilangan kemampuan mengencerkan urine → BJ urine bertahan 1,010 pd saat gagal ginjal stadium akhir

GFR
  • GFR → indeks fungsi ginjal yang terpenting dan diukur secara klinis dengan uji bersihan creatinin
  • Kadar kreatinin serum (normal: 0,7 – 1,5 mg/dl) dan BUN (normal: 10 – 20 mg/dl) berbanding terbalik dengan GFR dan dapat digunakan untuk penilaian krisis gagal dan insufisiensi ginjal
  • BUN (Blood Urea Nitrogen) kurang akurat dibanding kreatinin → karena asupan protein dalam diet dan keadaan katabolisme dapat mempengaruhi BUN

TEST FUNGSI TUBULUS
  • Fungsi tubulus adalah: reabsorbsi selektif dari cairan tubulus dan sekresi kedalam lumen tubulus
Test fungsi tubulus proksimal:
  • Tes ekskresi fenolsulfonftalein
  • Para Amino Hipurat (PAH)
Tes fungsi tubulus distal:
  • Tes pemekatan, pengenceran, pengasaman dan konservasi Na

SEDIMEN URINE
  • Unsur abnormal urine: eritrosit, leukosit, bakteri, silinder (protein yang terbentuk dalam tubulus dan duktus koligen)
  • Silinder diberi nama berdasarkan elemen seluler yg melekat (eritrosit, leukosit, bakteri, sel tubulus)
  • Silinder punya nilai diagnostik yg tinggi karena berasal dari ginjal
  • Silinder granular yg lebar → gagal ginjal
  • Bakteriuria → >105 CFU/ml (Coloni Form Unit)

USG
  • USG → memberikan info tentang ukuran dan anatomi ginjal, termasuk kista dan dilatasi kalix
  • USG Doppler → menilai aliran dalam arteri dan vena ginjal
  • CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Image) → menggambarkan sistem ginjal

RADIOGRAFI
  • Radiografi polos → ukuran ginjal dan batu radioopak
  • Kontras IV (IVP) → garis bentuk ginjal dan saluran kemih
  • Sistouretrogram tanpa kontras →dx reflux vesikuloureteral
  • Angiografi ginjal →kontras radioopak lewat kateter a. Femoralis

BIOPSI
  • Diagnosis histologi → membutuhkan biopsi ginjal
  • Biopsi perkutaneus dilakukan dengan jarum pemotong melalui punggung dengan bantuan ultrasonik

REFERENSI
  • Price, Wilson (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC, edisi 6

PATOFISIOLOGI DARAH 2

Dr. Suparyanto, M.Kes

PATOFISIOLOGI DARAH 2

LEUKOSIT
  • Fungsi utama leukosit pertahanan melawan infeksi
  • Macam leukosit: granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil), agranulosit (limfosit dan monosit)
  • Leukositosis: jumlah lekosit lebih dari normal (>10.000/mm3)
  • Leukopenia: jumlah leukosit kurang dari normal (<5.000/mm3) 

GANGGUAN LEUKOSIT

LEUKEMIA
  • Leukemia → penyakit neoplastik sumsum tulang (proliferasi lekopetik) 
  • Tanda: diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoitik (sel limfoblast) di sumsum tulang 
Klasifikasi berdasarkan FAB (French-American-British)
  • Leukemia Limfoblastik akut (banyak pada anak) 
  • Leukemia Mieloblastik akut (banyak pada dewasa) 

ETIOLOGI LEUKEMIA
  • Penyebab dasar tidak diketahui 
  • Jarang familial (meningkat pada saudara kandung) 
  • Radiasi 
  • Zat kimia (benzen, arsen, pestisida, kloramfenikol, fenilbutazon, agen antineoplastik) 

LEUKEMIA AKUT
  • Proliferasi sistem lekopetik → 
  • Mendesak sistem eritropetik →anemia 
  • Mendesak trombopetik → trombopeni 
  • Gejala:lemah, demam, anoreksia, nyeri pada sendi 
  • Tanda: pucat, purpura, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati 
Gejala klinis:
  • Penurunan sel hematopoitik (granulosit dan trombosit) Infeksi (selulitis, pneumonia, infeksi oral, abses perirektal, septikemia) dan perdarahan 
  • Menggigil, demam, takikardi, takipnea Pengobatan: kemoterapi, transplantasi sumsum tulang 
  • Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronik (LMK) → 15% pada dewasa Gangguan mieloproliferatif (mieloblast) sumsum tulang
  • Kromosom Philadelphia (Ph) → merupakan contoh perubahan sitogenetik pada 85% pasien leukemia mieloid kronik, leukemia limfoid atau mielositik akut 

LEUKEMIA KRONIK
  • Gejala: hipermetabolik: kelelahan, penurunan BB, tidak tahan panas, splenomegali, anemia, takikardia, pucat, nafas pendek 
  • Pengobatan: kemoterapi, transplatasi sumsum tulang

LIMFOMA
  • Limfoma → keganasan sistem limfatik 
  • Penyebab: tidak diketahui, imunodefisiensi, terpapar herbisida, pestisida, pelarut organik (benzen) 
  • Berdasarkan histopatologi mikroskopik dan kelenjar limfe yang terserang dibedakan: limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin 

STADIUM LIMFOMA HODGKIN
  1. Stadium 1: mengenai satu regio kelenjar limfe 
  2. Stadium 2: mengenai dua atau lebih kelenjar limfe berdekatan atau 2 kel limfe berjauhan 
  3. Stadium 3: mengenai diatas dan dibawah diafragma, tetapi masih terbatas pada kel limfe 
  4. Stadium 4: keterlibatan difus organ ekstralimfatik (sumsum tulang, hati)

LIMFOMA HODGKIN
  • Penyebab: belum diketahui
  • Gambaran histologis: sel Reed Sternberg yang merupakan sel berinti dua atau lebih nukleoli besar (ciri khas limfoma Hodgkin)
  • Gejala: pembesaran kel limfe (servikal dan supraclavikular) teraba seperti karet, tidak nyeri tekan, batuk kering, nafas pendek, demam, keringat malam, anoreksia, kakeksia, kelelahan Pengobatan: kemoterapi 

LIMFOMA NON HODGKIN
  • 70% → berasal dari sel B
  • Gejala: demam, penurunan BB, keringat malam, limfadenopati difus tanpa sakit, efusi pleura, anoreksi, mual, hematemesis 
  • Pengobatan: kemoterapi 

MULTIPLE MIELOMA
  • Multiple mieloma: neoplastik sel plasma 
  • Manifestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang 
  • Penyebab: tidak diketahui 
  • Gambaran diagnosa: >10% sel plasma di sumsum tulang
  • Sel plasma dalam tulang atau biopsi jaringan lunak
  • Adanya protein mieloma pada imunoelektroforesis urine atau plasma
  • Adanya lesi tulang pada radiogram rangka
  • Hapusan perifer ditemukan sel mieloma
Gejala:
  • Tumor atau asimtomatis, anemia, hiperkalsemia
  • Peningkatan globulin abnormal → gangguan penglihatan, sakit kepala, mengantuk, mudah marah, kebingungan
  • Perdarahan, nyeri tulang (destruksi dan faktur patologis)
  • Pengobatan: kemoterapi


HEMOSTASIS
  • Hemostasis dan koagulasi adalah serangkaian komplek reaksi yang menyebabkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan trombosit dan bekuan fibrin pada tempat cidera
  • Bekuan diikuti oleh resolusi (lisis bekuan) dan regenerasi endotel


FAKTOR PEMBEKUAN
  • I →Fibrinogen
  • II → protrombin
  • III → Tromboplastin
  • IV → kalsium
  • V → Akselerator plasma globulin
  • VII → Akselerator konversi proteombin serum
  • VIII → Globulin anti hemolitik
  • IX → Faktor Christmas
  • X → Faktor Stuart Prower
  • XI → Pendahulu Tromboplastin Plasma
  • XII → Faktor Hageman
  • XIII → Faktor Penstabil Fibrin


  • Faktor pembekuan, kecuali faktor III (tromboplastin jaringan) dan faktor IV (Calsium) → merupakan protein plasma yang berada dalam sirkulasi
  • Tromboplastin jaringan (Faktor III) → dilepas oleh pembuluh darah yang cedera → disebut Faktor Ekstrinsik
  • Faktor Instrinsik → faktor pembekuan yang ada dalam plasma darah


HEMOSTASIS
  • Hemostasis dan koagulasi melindungi individu dari perdarahan masif akibat trauma
  • Pada keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan yang mengancam jiwa atau trombosis yang menyumbat cabang pembuluh darah

  • Pada saat cedera, tiga proses utama yang menyebabkan hemostasis adalah:
  • Vasokonstriksi sementara
  • Reaksi trombosit yang terdiri atas adhesi, reaksi pelepasan, dan agregasi trombosit
  • Aktivasi faktor pembekuan

  • Koagulasi dimulai dalam keadaan homeostatik oleh cedera vaskuler
  • Vasokontriksi merupakan respon segera terhadap cedera, diikuti dengan adhesi trombosit pada kolagen didalam dinding pembuluh darah yang cedera
  • ADP (agregasi adenosin difosfat) dilepas oleh trombosit yang menyebabkan agregasi
  • Trombin merangsang agregasi trombosit
  • Faktor III trombosit juga mempercepat pembekuan plasma


BAGAN FASE KOAGULASI



HEMOSTASIS
  • Setelah pembentukan bekuan, penghentian pembekuan darah lebih lanjut penting untuk menghindari keadaan trombotik yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh pembentukan bekuan sistemik yang berlebihan
  • Antikoagulan yang terdapat secara alami adalah antitrombin III (ko-faktor heparin), protein C dan S

  • Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh trombin yang ada didalam sirkulasi, yang memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin
  • Aktivasi trombin yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, berkurangnya faktor koagulasi, dan fibrinolisis


HEMOFILIA
  • Hemofilia → gangguan koagulasi herediter → berepisode sebagai perdarahan intermiten
  • Hemofilia → akibat mutasi gen faktor VIII (Hemofili A) atau faktor IX (Hemofili B) → kedua gen terletak di kromosom X → gangguan resesif terkait X
  • Pengobatan: meningkatkan faktor VIII atau IX dan mencegah komplikasi


PENYAKIT VON WILLEBRAND
  • Penyakit Von Willebrand → gangguan koagulasi herediter (autosomal resesif)
  • Terjadi penurunan Faktor VIII
  • Pengobatan: meningkatkan faktor VIII


DIC (DISEMINATA INTRAVASKULER COAGULATION)
  • DIC → merupakan sindrom kompleks, dimana plasma darah yang harusnya cair berubah jadi bekuan akibat terbentuknya trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskuler tubuh
  • DIC disebabkan masuknya aktivator koagulasi (tromboplastin) kedalam sirkulasi: solusio plasenta, tumor, luka bakar, cedera remuk
  • Pengobatan: Heparin (antikoagolan)


REFERENSI
  • Price, Wilson (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC, edisi 6

PATOFISIOLOGI DARAH 1

Dr. Suparyanto, M.Kes

PATOFISIOLOGI DARAH 1

DARAH
  • Darah merupakan CES, sebagai medium pertukaran zat antar sel didalam tubuh dan lingkungan interna
  • Darah terdiri komponen sel dan cairan
  • Cairan darah disebut plasma terdiri 91% air dan 9% zat padat
  • Fungsi plasma sebagai medium transport

KOMPONEN PLASMA DARAH
  • Protein: albumin, globulin,
  • Faktor pembekuan: fibrinogen, trombin
  • Enzim, hormon
  • Unsur organik: lemak netral, fosfolipid, kolesterol, glukosa
  • Unsur anorganik: mineral

KOMPONEN SEL DARAH
  1. Eritrosit: transport O2 dan CO2
  2. Leukosit: imunitas (fagositosis)
  3. Trombosit: hemostasis (pembekuan)

HEMATOPOIESIS
  • Hematopoiesis: proses pembentukan dan pematangan sel darah
  • Induk sel darah: sel pluripoten
  • Proeritroblas → calon eritosit
  • Megakarioblast → calon trombosit
  • Monoblas → calon monosit
  • Meiloblas → calon lekosit bergranula (neutrofil, basofil, eosinofil)
  • Limfoblas → calon leukosit B dan T
  • Sel pluripoten → proeritroblas → normoblas basofilik → normoblas polikromatofilik → normoblas ortokromatik → retikulosit →eritrosit
  • Sel pluripoten → megakarioblas → promegakariosit →megakariosit → trombosit
  • Sel pluripoten → promonosit → monosit
  • Sel pluripoten → meioblas → promeilosit → pecah jadi 3 macam sel
  • Promeilosit → meilosit eosinofilik → eosinofil
  • Promeilosit → meilosit neutrofilik → metameilosit neutrofilik →neutrofil batang → neutrofil segmen
  • Promeilosit → meilosit basofilik → basofil
  • Sel pluripoten → limfoblas → prolimfosit → pecah jadi 2 macam sel
  • Prolimfosit → bursa ekuivalen → limfosit B → sel plasma
  • Prolimfosit → timus → limfosit T

PEMERIKSAAN DARAH
Hitung sel darah
  • Eritrosit: 3,6 –5,4 juta /mm3. (polisitemia → diatas normal, anemia → dibawah normal)
  • Leukosit: 5.000 – 10.000 /mm3, (lekositosis → diatas normal, lekositopenia →dibawah normal)
  • Trombosit: 150.000 – 350.000 /mm3 (trombositosis → diatas normal, trombositopenia →dibawah normal)

MORFOLOGI SEL DARAH
  • Anisositosis → menyatakan variasi ukuran sel yang abnormal
  • Poikilositosis → variasi bentuk sel yang abnormal
  • Polikromasia → eritrosit yang memiliki distribusi warna yang berbeda
  • Normokromia → warna normal, mencerminkan kadar Hb yang normal dalam eritrosit
  • Hipokromia → warna pucat, anemia

HEMOGLOBIN
  • Zat warna darah (dalam eritrosit)
  • Jumlah normal laki-laki : 13,5 – 17,5 g/dl, sedang pada wanita : 12 – 16 g/dl
  • Jumlah kurang dari normal: anemia
Macam hemoglobin:
  1. HbA: hemoglobin dewasa normal
  2. HbF: hemoglobin fetal
  3. HbS: hemoglobin sel sabit
  4. Hb: hemoglobin Memphis

PEMERIKSAAN DARAH
  • Hematokrit / volume packed sel: volume darah lengkap yang terdiri dari eritrosit
  • Normositik: ukuran sel normal
  • Mikrositik: ukuran sel kecil
  • Makrositik: ukuran sel besar
  • Hitung retikulosit: mencerminkan aktifitas sumsum tulang
  • Retikulosit: eritrosit imatur
  • Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang: untuk memperkirakan dosis kemoterapi dan terapi radiasi pada penderita keganasan hematologik
  • Analisis sitogenetik perlu untuk diagnosis, pengobatan, respon pengobatan dan potensi remisi (penyembuhan)

ERITROSIT
  • Bentuk lempeng bikonkaf, tidak berinti, dilapisi membran tipis.
  • Jumlah normal eritrosit : 3,6 –5,4 juta /mikro liter.
  • Produksi eritrosit dirangsang oleh hormon glikoprotein, eritropoitin (dibuat ginjal)
  • Umur eritrosit kira-kira 120 hari

GANGGUAN ERITROSIT
  • Anemia: jumlah kurang dari normal
  • Polisitemia: jumlah eritrosit yang terlalu banyak
  • Anemia bukan diagnosa, tetapi cerminan perubahan patofisiologik
  • Gejala anemia: pucat, tachikardi, bising jantung, angina, iskemia miokard, dispnea, kelelahan

MACAM ANEMIA (KLASIFIKASI MORFOLOGIK)
  • Anemia normokromik normositik → warna normal (Hb), bentuk normal
  • Causa: kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis (infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, metastase pd sumsum tulang)
  • Anemia normokromik makrositik → warna normal (Hb), bentuk besar
  • Penyebab : defisiensi vit B12, asam folat, kemoterapi kanker
  • Anemia hipokromik mikrositik: warna kurang (Hb), bentuk kecil
  • Causa: defisiensi besi, sideroblastik (siderosit: eritosit muda pada sumsum tulang), kehilangan darah banyak, thalasemia (gangguan sintesa globin)
  • Peningkatan hilangnya eritrosit
  1. Perdarahan → trauma, ulkus, polip, keganasan, hemoroid, menstruasi
  2. Penghancuran eritrosit (hemolisis) → anemia sel sabit, thalasemia (gangguan sintesis globin), sferositosis (gangguan membran eritrosit), defisiensi enzim (G6PD, piruvatkinase), transfusi, malaria, hipersplenisme, luka bakar, katup jantung buatan
  • Gangguan produksi eritrosit (diseritropoiesis)
  1. Keganasan: metatastik, leukemia, limfoma, meiloma multiple, reaksi obat, zat kimia toksik, radiasi
  2. Penyakit kronis: ginjal, hati, infeksi, defisiensi endokrin, defisiensi vit B12, asam folat, vit C, besi

ANEMIA APLASTIK
  • Anemia aplastik → gangguan pada sel induk di sumsum tulang, produksi sel-nya tidak mencukupi
  • Mengancam jiwa
  • Causa: kongenital, idiopatik, virus
  • Pansitopenia
  • Eritrosit normokromik normositik

Gejala:
  • Anemia: lelah, lemah, nafas pendek
  • Trombositopenia: ekimosis dan petekie (perdarahan dibawah kulit), epistaksis (mimisan), perdarahan saluran cerna, kemih dan kelamin, sistem saraf
  • Lekopenia: kerentanan dan keparahan infeksi (bakteri, virus dan jamur)
Pengobatan:
  • Transplantasi sumsum tulang

ANEMIA DEFISIENSI BESI
  • Morfologis: mikrositik hipokromik
  • Causa: menstruasi, hamil, asupan besi kurang, vegetarian, gangguan absorbsi (gastrektomi), perdarahan (polip, neoplasma, gastritis, varises esofagus, hemoroid)
  • Gejala: anemi, rambut halus dan rapuh, kuku tipis, rata, mudah patah dan berbentuk seperti sendok (koilonikia), atropi papila lidah, stomatitis
  • Pengobatan: asupan besi, menghilangkan causa

ANEMIA MEGALOBLASTIK
  • Morfologis: makrositik normokromik
  • Causa: defisiensi vitamin B12, asam folat, malnutrisi, malabsorbsi, infeksi parasit (cacing), penyakit usus, keganasan
  • Sumber asam folat: daging, hati, sayuran hijau
  • Gejala: anemia, glositis (lidah meradang dan nyeri), diare, anoreksia
  • Pengobatan: asupan asam folat

ANEMIA SEL SABIT
  • Causa: hemoglobinopati (kelainan struktur) → penyakit genetik autosom resesif
  • Anemia hemolitik kongenital
  • Gejala: anemia, infark (penyumbatan),daktilitis (radang tangan, kaki), takikardi, bising, kardiomegali, dekom kordis, stroke, icterus, kolelitiasis
  • Pengobatan: pencegahan dan simtomatis

POLISITEMIA
  • Polisitemia → kelebihan eritrosit
  • Polisitemia primer atau vera adalah gangguan meiloproliferatif → yaitu sel induk pluripoten abnormal
  • Polisitemia skunder terjadi jika volume plasma di dalam sirkulasi berkurang (mengalami hemokonsentrasi) tetapi volume total eritrosit didalam sirkulasi normal

REFERENSI
  • Price, Wilson (2005), Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Jakarta: EGC, edisi 6











Senin, 18 Oktober 2010

USAHA KESEHATAN SEKOLAH (UKS)

Dr. Suparyanto, M.Kes

USAHA KESEHATAN SEKOLAH (UKS)

  • Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah Usaha Kesehatan Masyarakat yang ditujukan kepada masyarakat sekolah, yaitu : anak didik, guru, dan karyawan sekolah lainnya (Indan. 2000).
  • Yang dimaksud dengan sekolah adalah sekolah mulai sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah lanjutan atas (SLA).
  • Prioritas pelaksanaan UKS diberikan kepada SD mengingat SD merupakan dasar dari sekolah-sekolah lanjutannya (Indan. 2000).

Dasar titik tolak mengapa UKS perlu dijalankan
  1. Golongan masyarakat usia sekolah (6-18 tahun) merupakan bagian yang besar dari penduduk Indonesia (kurang lebih 29 %), di perkirakan 50 % dari jumlah tersebut adalah anak-anak sekolah.
  2. Masyarakat sekolah yang terdiri atas murid, guru serta orang tua murid merupakan masyarakat yang paling peka (sensitif) terhadap pengaruh modernisasi dan tersebar merata diseluruh Indonesia.
  3. Anak-anak dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan sehingga masih mudah dibina dan dibimbing.
  4. Pendidikan kesehatan melalui masyarakat sekolah ternyata paling efektif diantara usaha-usaha yang ada untuk mencapai kebiasaan hidup sehat dari masyarakat pada umumnya, karena masyarakat sekolah :
  • Presentasinya tinggi
  • Terorganisir sehingga lebih mudah dicapai
  • Peka terhadap pendidikan dan pembaharuan
  • Dapat menyebabkan modernisasi
  1. Masyarakat sehat yang akan datang adalah merupakan wujud dari sikap kebiasaan hidup sehat serta keadaaan kesehatan yang dimiliki anak-anak masa kini.
  2. Pembinaan kesehatan anak-anak sekolah (jasmani, rohani, dan sosial) merupakan suatu invesment dalam bidang man power dalam Negara dan Bangsa Indonesia.
  3. Undang-undang No. 9 tahun 1960 tentang pokok-pokok kesehatan bab I pasal 3 dan bab II pasal 9 ayat 2 serta undang - undang no. 12 tahun 1954 tentang pendidikan.

Tujuan Upaya Kesehatan Sekolah
  • Umum : mempertinggi nilai kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta rehabilitasi anak-anak sekolah dan lingkungannya sehingga didapatkan anak-anak yang sehat jasmani, rohani, dan sosialnya.
  • Khusus : mencapai keadaan sehat anak-anak sekolah dan lingkungannya sehingga dapat memberikan kesempatan tumbuh dan berkembang secara harmonis serta belajar secara efisien dan optimal.

Kegiatan-kegiatan Usaha kesehatan sekolah
1. Lingkungan kehidupan sekolah yang sehat (Health school living).
  • Bangunan dan perlengkapan sekolah yang sehat.
  • Kebersihan ruangan dan halaman sekolah.
  • Tersedianya kakus dan air yang memenuhi syarat kesehatan.
  • Hubungan yang baik antara guru, murid dan masyarakat/orang tua murid.
2. Pendidikan Kesehatan
  • Pendidikan tentang kesehatan perorangan dan lingkungan.
  • Pendidikan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit menular.
  • Pendidikan tentang makanan sehat dan hidup yang teratur.
  • Pendidikan tentang sikap yang baik dan kebiasaan –kebiasaan yang rapi.
  • Pendidikan tentang pencegahan kecelakaan.

3. Usaha Pemeliharaan kesehatan disekolah
  • Pemeriksaan kesehatan perorangan dan lingkungan secara berkala.
  • Usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (vaksinasi dan sebagainya).
  • Usaha kesehatan gigi sekolah.
  • Mengirimkan anak-anak yang memerlukan perawatan khusus ke pihak yang lebih ahli.
  • PPPK dan pengobatan sederhana.

Undang-undang pokok kesehatan tahun 1960
Bab 1 pasal 3
  • 1. Pertumbuhan anak yang sempurna dalam lingkungan yang sehat adalah penting untuk mencapai generasi yang sehat dan bangsa yang kuat.
  • 2. Pengertian dan kesadaran rakyat tentang pemeliharaan dan perlindungan kesehatan adalah sangat penting untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Bab II pasal 9 ayat 2
  • Pemerintah mewujudkan usaha-usaha khusus untuk keturunan dan pertumbuhan anak yang sempurna, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan sekolah, serta lingkungan masyarakat remaja dan keolahragaan.
Undang-undang pokok pendidikan tahun 1954 no. 12
  • Membentuk manusia sosial yang cakap dan warga negara yang bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Perlengkapan PPPK (P3K)
  • Pertolongan pertama adalah suatu perawatan yang diberikan sementara menunggu bantuan datang atau sebelum dibawa kerumah sakit atau puskesmas. Pertolongan pertama pada dimaksudkan untuk menentramkan dan menyenangkan si korban sebelum ditangani oleh orang yang lebih ahli. Diharapkan dengan keadaan yang lebih tenang dan tenteram dapat mengurangi rasa sakit si korban (Yudiawan. 2002).
  • Perlengkapan P3K dibutuhkan pada saat perjalanan untuk menghindari masalah yang lebih serius jika terjadi kecelakaan. Berikut beberapa perlengkapan P3K :
  1. Plester luka (band aid)
  2. Obat antiseptik (obat merah atau betadine) dan alkohol
  3. Kain pembalut, kapas steril, kasa steril, perban kain, perban plastik, plester.
  4. Bidai atau spalk
  5. Gunting, pisau kecil, peniti
  6. Sabun antiseptik
  7. Snake bite kit untuk mengantisipasi gigitan ular
  8. Obat antimalaria
  9. Obat-obatan yang umum digunakan (obat penghilang rasa sakit, sakit kepala, demam, influenza, batuk, maag, alergi, sakit perut, dan lain-lain).
  10. Krim antisinar matahari (sunscreen)
  11. Krim untuk luka bakar (bioplacenton), serta
  12. Obat-obatan pribadi

Unsur-unsur yang terlibat dalam UKS
  • Menurut Adik Wibowo dkk. (1983 : 27-29) struktur organisasi UKS mengikuti struktur organisasi Departemen Kesehatan RI, sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 125/IV/Kab/B.U/1975 tertanggal 29 April 1975 yaitu :
Tingkat Pusat
  • Sub Direktorat Kesehatan Sekolah dan Olahraga, Direktorat Kesehatan Masyarakat terdiri dari beberapa seksi yaitu : seksi kesehatan anak sekolah dan mahasiswa, seksi kesehatan anak-anak luar biasa, seksi olahraga kesehatan, seksi pengembangan metode. Fungsi dan tanggung jawabnya : membuat program kerja melakukan koordinasi, melakukan bimbingan dan pengawasan pelaksanaan UKS di seluruh Indonesia, mengusahakan bantuan teknis dan materiil, bersama-sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyusun kurikulum tentang kesehatan pada umumnya dan Usaha Kesehatan Sekolah pada khususnya, menyelenggarakan lokakarya, seminar, rapat kerja diskusi penataran dan lain-lain.

Tingkat Provinsi
  • Fungsi dan tanggung jawabnya adalah sebagai koordinator pelaksana UKS di tingkat provinsi yang meliputi : membuat rencana program kerja, membuat bimbingan teknis, melakukan koordinasi dan pengawasan, menerima laporan kegiatan dari tingkat Kabupaten/ kota melaporkan kegiatan ke tingkat pusat, memberi bantuan materi dan keuangan ke daerah tingkat II dan lain-lain usaha yang dianggap perlu.

Tingkat Kota / Kabupaten
  • Penanggung jawabnya adalah UKS pada Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota. Fungsi dan tanggung jawabnya meliputi : membuat rencana kerja harian, melakukan koordinasi kegiatan-kegiatan kesehatan yang ditujukan kepada anak didik dan masyarakat sekolah, melakukan pengawasan pelaksanaan UKS di sekolah, melaporkan kegiatan ditingkat provinsi, menyelenggarakan kursus-kursus kesehatan, kursus UKS bagi guru, murid, dan petugas kesehatan setempat, memupuk kerjasama baik pihak-pihak yang ada hubungannya dengan pelaksanaan UKS.

Usaha Kesehatan Sekolah di tingkat Puskesmas
  • Berdasar ketentuan yang ada maka Usaha Kesehatan Sekolah merupakan salah satu unit dari puskesmas dimana kegiatan-kegiatan kesehatan dilaksanakan di wilayah kerjanya.

Usaha Kesehatan Sekolah di tingkat Sekolah
  • Usaha Kesehatan Sekolah di tingkat sekolah merupakan wilayah kerja dimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Dari tingkat pelaksanaan UKS di sekolah-sekolah hingga tingkat pusat, diperlukan organisasi yang baik. Untuk memperlancar usaha pembinaan dan pengembangan, serta mencegah terjadinya tumpang tindih dari berbagai kegiatan UKS sebaiknya diwujudkan dalam satu wadah atau badan. Kerangka kerjasama pengorganisasian sistem kerja operasional UKS harus dipahami sebaik-baiknya. Sebab, tidak sedikit sekolah atau guru yang beranggapan bahwa UKS merupakan tugas dari petugas kesehatan saja atau sebalikya petugas kesehatan menganggap UKS merupakan tanggung jawab jajaran pendidikan sekolah atau guru semata-mata.
Memperhatikan kenyataan di lapangan, keberhasilan dalam pelaksanaan UKS melibatkan berbagai instansi dari Departemen, instansi, dan badan-badan, seperti :
  1. Departemen Dalam Negeri
  2. Departemen Pendidikan Nasional
  3. Departemen Kesehatan
  4. Departemen Agama
Berbagai instansi dan badan-badan seperti :
  • Dinas Pendidikan Dasar, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum,Peternakan, Pertanian , dan sosial.
  • POGM (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru)
  • Badan-badan/organisasi non pemerintah seperti PMI, Kepramukaan, mungkin juga LSM.
  • Berbagai perusahan swasta yang ada hubungannya dengan usahakesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Struktur UKS di Sekolah Dasar

Bagan struktur organisasi UKS di Sekolah Dasar dapat diketahui tugas dan kewajibannya masing-masing. Antara lain :
  • Pembina berasal dari kata bina yang berarti mengusahakan agar lebih baik atau sempurna. Dengan demikian pembina adalah orang atau subyek yang melakukan usaha agar program yang dibina dapat menjadi lebih baik dan sempurna. Pembina dalam struktur organisasi UKS Sekolah Dasar diatas dijabat oleh kepala sekolah.
  • Ketua adalah orang yang menjadi pimpinan perkumpulan atau lembaga. Dengan demikian ketua bertugas sebagai pemimpin dari UKS. Yang jabatannya masih dibawah pembina. Ketua dalam struktur organisasi UKS Sekolah Dasar diatas dijabat oleh dewan guru.
  • Sekretaris adalah orang yang mengurusi pekerjaan administrasi. Dalam hal ini sekretaris bertugas mengurusi semua hal yang berhubungan dengan kegiatan administrasi dalam organisasi UKS. Sekretaris dalam struktur organisasi UKS Sekolah Dasar diatas dijabat oleh dewan guru.
  • Bendahara adalah orang yang mengurusi keuangan. Dalam hal ini bendahara bertugas semua yang berhubungan dengan kegiatan keuangan dalam organisasi UKS. Bendahara dalam struktur organisasi UKS Sekolah Dasar diatas dijabat oleh dewan guru.
  • Anggota adalah orang atau badan yang menjadi bagian suatu golongan yang berada diluar kepengurusan organisasi. Dalam hal ini anggota menjadi bagian organisasi UKS. (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Anggota dalam struktur organisasi UKS Sekolah Dasar diatas terdiri dari siswa yang terpilih sebagai anggota UKS.
Anggaran (budgeting)
  • Dalam pengelolaan suatu organisasi, terlebih dahulu manajemen menetapkan tujuan dan sasaran, dan kemudian membuat rencana kegiatan untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. Dampak keuangan yang diperkirakan akan terjadi sebagai akibat dari rencana kerja tersebut, kemudian disusun dan dievaluasi melalui proses penyusunan anggaran.
  • Adapun pengertian anggaran menurut Gunawan Adisaputro dan Marwan Asri (1989 : 6), adalah sebagai berikut : “Suatu pendekatan yang formal dan sistematis daripada pelaksanaan tanggung jawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi, dan pengawasan”. Pada dasarnya anggaran yang bermanfaat dan realistis tidak hanya dapat membantu mempererat kerja sama karyawan, memperjelas kebijakan dan merealisasikan rencana saja, tetapi juga dapat menciptakan keselarasan yang lebih baik dalam perusahaan dan keserasian tujuan diantara para manajer dan bawahannya.
  • Lebih jelas lagi Munandar (2001 : 1), mengungkapkan pengertian anggaran adalah sebagai berikut : “Suatu rencana yang disusun secara sistematis yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan, yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu (periode) tertentu yang akan datang.”
  • Dari pengertian anggaran yang telah diutarakan di atas dapatlah diketahui bahwa anggaran merupakan hasil kerja (output) terutama berupa taksiran-taksiran yang akan dilaksanakan di waktu yang akan dating. Karena suatu anggaran merupakan hasil kerja (output), maka anggaran dituangkan dalam suatu naskah tulisan yang disusun secara teratur dan sistematis. Secara lebih terperinci Munandar ( 2001 : 16) menjelaskan proses kegiatan yang tercakup dalam anggaran sebagai berikut :
  1. Pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk menyusun anggaran.
  2. Pengelolaan dan penganalisaan data dan informasi tersebut untuk mengadakan taksiran-takisiran dalam rangka menyusun anggaran.
  3. Menyusun anggaran serta meyajikannya secara teratur dan sistematis
  4. Pengkoordinasian pelaksanaan anggaran.
  5. Pengumpulan data dan informasi untuk keperluan pengawasan kerja.
  6. Pengolahan dan penganalisaan data tersebut untuk mengadakan interpretasi dan memperoleh kesimpulan-kesimpulan dalam rangka mengadakan penilaian terhadap kerja yang telah dilaksanakan.

Berdasarkan definisi-definisi dan pengertian anggaran dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Bahwa anggaran harus bersifat formal, artinya anggaran disusun dengan sengaja dan bersungguh-sungguh dalam bentuk tertulis.
  2. Bahwa anggaran harus bersifat sistematis, artinya anggaran disusun dengan berurutan dan berdasarkan logika.
  3. Bahwa suatu saat manajer dihadapkan pada suatu tanggung jawab untuk mengambil keputusan.
  4. Bahwa keputusan yang diambil oleh manajer tersebut merupakan pelaksanaan fungsi manajer dari segi perencanaan, koordinasi dan pengawasan.

Kegunaan Anggaran
  • Anggaran disusun untuk membantu manajemen dalam kegiatan perencanaan dan pengawasan. Manajemen yang baik tidak ingin menghadapi periode yang akan datang dengan ketidakpastian.Menurut Munandar ( 2001 : 10 ), anggaran mempunyai kegunaan pokok yaitu :
1. Sebagai pedoman kerja
  • Anggaran berfungsi sebagai pedoman kerja dan memberikan arah serta sekaligus memberikan target-target yang harus dicapai oleh perusahaan/organisasi di waktu yang akan datang.
2. Sebagai alat pengkoordinasian kerja
  • Anggaran berfungsi sebagai alat untuk pengkoordinasian kerja agar semua bagian-bagian yang terdapat di dalam perusahaan/organisasi dapat saling menunjang, saling bekerja sama dengan baik, untuk menuju kearah sasaran yang telah ditetapkan.
3. Sebagai alat pengawasan kerja
  • Anggaran berfungsi sebagai tolok ukur, sebagai pembanding untuk menilai (evaluasi) realisasi kegiatan perusahaan. Untuk bisa penaksiran secara lebih akurat, diperlukan sebagai data, informasi dan pengalaman yang merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun anggaran
  • Anggaran adalah suatu hal sangat penting, karena menguraikan tentang biaya-biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, mulai dari persiapan sampai dengan evaluasi.
Biasanya anggaran dikelompokkan menjadi :
  • Anggaran Personalia
  • Anggaran Operasional
  • Anggaran Sarana dan fasilitas
  • Anggaran Penilaian

DAFTAR PUSTAKA

  1. Djatmiko, Yayat Hayati, Prof. Dr. (2008). Perilaku Organisasi. Bandung : Alfa Beta
  2. Entjang, Indan, dr (2000). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti.
  3. Koentjoro, Tjahyono (2007). Regulasi Kesehatan di Indonesia. Jogjakarta : Andi Offset.
  4. Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta.
  5. Yuniar Tanti, Sip. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Agung Media mulia.
  6. Sumarti, A.Ma.Pd.SD.(2008). Usaha Kesehatan Sekolah. 29 April 2010. http://www.usahakesehatansekolah.com.
  7. Moslem Medical Family (M2F). (2009). Usaha Kesehatan Sekolah. 29 April 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kesehatan_Sekolah.
  8. Keputusan Bersama Empat Menteri Tentang UKS. (2009). Tinjauan Usaha Kesehatan Sekolah. 30 April 2010. http://tutorialkuliah.blogspot.com


Sabtu, 16 Oktober 2010

TUBERKULOSIS PARU (TB)

TUBERKULOSIS PARU (TB)

Penyakit Tuberkulosis
  • Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernafasan kedalam paru, kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya (Dep. Kes. R.I, 1999).
  • TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun diluar paru. Sebagian orang yang telah terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi sakit tuberkulosis. Untuk sementara waktu kuman yang ada dalam tubuh bisa berada dalam keadaan dormant (tidur), dan keberadaan kuman dormant tersebut dapat diketahui hanya dengan tes tuberkulin (Dep. Kes. R.I, 1999).
  • Mereka yang menjadi sakit disebut sebagai “penyakit tuberkulosis”, biasanya dalam waktu paling cepat sekitar 3-6 bulan setelah infeksi. Mereka yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai resiko untuk menderita tuberkulosis sepanjang sisa hidup mereka (Dep. Kes. R.I, 1999).
Penemuan Penderita TB
  • Dep. Kes. R.I (1999), menyebutkan bahwa sebagian besar penderita TB adalah penderita TB paru. Penderita TB paru menjadi sangat penting karena tipe inilah yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain.
Gejala umum penderita TB paru adalah sebagai berikut:
  1. Batuk yang terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala ini, harus dianggap sebagai “suspek TB” atau tersangka TB dan segera diperiksa dahaknya di laboratorium.
  2. Mengeluarkan dahak bercampur darah, sesak nafas, dan rasa nyeri pada dada.
  3. Lemah badan, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam tanpa disertai kegiatan dan demam lebih dari sebulan.
  • Bila gejala tersebut diperkuat dengan riwayat kontak dengan seorang penderita TB maka kemungkinan besar dia juga menderita TB. Gejala tersebut diatas dijumpai juga pada penyakit paru selain TB, oleh sebab itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagai “suspek tuberkulosis” atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Dep.Kes.R.I., 1999).
  • Penderita TB sering ditemukan pada penderita yang datang ke unit-unit kesehatan, dengan gejala batuk tiga minggu atau lebih dan pada mereka yang tinggal serumah dengan penderita BTA positif. Cara mendiagnosis dimulai dengan mencermati keluhan dan gejala klinik dari penderita tersebut diatas. Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukan BTA pada pemeriksaan dahak SPS secara mikroskopis langsung (Dep. Kes. R.I, 1999).
  • Dalam program pemberantasan penyakit TB penemuan penderita dilaksanakan secara “passive-promotive case finding” dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung, yang dimaksud dengan passive promotive case finding adalah pemeriksaan dahak hanya dilakukan pada penderita tersangka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Kegiatan ini harus didukung oleh penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh Tokoh Panutan Masyarakat (TOMA). TOMA ini diberi Training of the Trainers (TOT), tentang penyakit TB sederhana seperti tanda atau gejala tersangka TB, sehingga warga yang mempunyai gejala tersebut diatas dengan kemauan sendiri mau memeriksakan keluhannya ke Puskesmas. (Dep. Kes. R.I, 1999).
  • Semua kontak penderita TB positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka TB harus diperiksa spesimen dahaknya dalam waktu dua hari berturut-turut; yaitu sewaktu, pagi, sewaktu yang biasa disingkat SPS. Diagnose TB ditegakan bila 2 dari 3 hasil pemeriksaan sediaan dahak SPS-nya menunjukan adanya kuman BTA.
  • Penemuan penderita TB pada anak merupakan hal yang sulit, sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran radiologis dan uji tuberkulin (Dep. Kes. R.I, 2000).
Pemeriksaan Bakteriologis
  • Dalam program pemberantasan TB, pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan komponen kunci dalam menegakan diagnose penyakit TB. Diagnose pasti TB ialah dengan pemeriksaan kultur atau biakan. Pemeriksaan kultur lebih lama dan mahal. Pemeriksaan yang identik dengan kultur adalah pemeriksaan dahak sebanyak tiga kali (Dep. Kes. R.I, 1999).
  • Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, berbentuk batang mempunyai sifat istimewa yaitu tahan terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol, oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini baru kelihatan dibawah mikroskop bila jumlah kuman paling sedikit ada 5000 batang dalam 1 ml dahak. Dahak yang baik untuk diperiksa adalah dahak mukopurulent, berwarna hijau kekuningan dan jumlahnya 3-5 ml tiap pengambilan (Dep. Kes. R.I, 1999).
  • Tujuan pemeriksaan bakteriologis adalah untuk menegakan diagnosis dan mengevaluasi hasil pengobatan. Untuk mendiagnosis TB kita harus memeriksa tiga spesimen dahak. Ketiga spesimen dahak tersebut sebaiknya sudah dapat dikumpulkan dalam dua hari kunjungan berurutan. Dahak yang dikumpulkan adalah dahak sewaktu, pagi dan sewaktu (SPS).
  • Untuk memperoleh kualitas dahak yang baik, petugas laboratorium harus menjelaskan mengenai pentingnya pemeriksaan dahak, pemeriksaan dahak ulang dan bagaimana cara batuk yang benar serta memeriksa kualitas dan kuantitas dahak tersebut. Dahak yang baik harus berjumlah 3-5 ml, kental, purulen dan bukan ludah. Jika dahak yang terkumpul kurang jumlahnya atau hanya ludah (saliva), maka petugas harus meminta agar penderita batuk lagi sampai jumlah yang diinginkan tercapai.
  • Pelaksanaan pengambilan dahak SPS adalah sebagai berikut: S (sewaktu) pertama: adalah dahak yang dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali ke Puskesmas. Pada saat pulang, suspek TB diberi sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pada hari kedua. P (pagi): adalah dahak yang dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas laboratoriun di Puskesmas. S (sewaktu) kedua: adalah dahak yang dikumpulkan di Puskesmas pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
  • Bila suspek TB sulit mengeluarkan dahak, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: malam hari sebelum tidur, minum satu gelas teh manis atau menelan tablet gliseril guaiyakulat 200 mg; melakukan olah raga ringan (lari-lari kecil) kemudian menarik nafas dalam beberapa kali, bila terasa akan batuk, nafas ditahan selama mungkin lalu disuruh batuk (Dep. Kes. R.I, 1999).
Diagnosis TB
  • Menurut Dep. Kes. R.I (2000) diagnosis TB pada orang dewasa dapat ditegakan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak SPS (sewaktu, pagi, sewaktu) secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga sediaan spesimen SPS dinyatakan BTA (+). Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgent dada atau pemeriksaan ulang dahak SPS. Kalau hasil rontgen mendukung TB, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TB maka pemeriksaan dahak SPS diulang. Hasil pemeriksaan ulang dahak SPS, dinyatakan positif bila satu atau lebih hasil pemeriksaan sediaan dahak dinyatakan BTA (+).

Angka Penemuan Penderita TB BTA Positif
  • Menurut Dep. Kes. R.I (2000) Angka Penemuan Penderita TB BTA Positif, adalah angka yang menunjukan jumlah penderita baru BTA positif yang berhasil ditemukan per 100.000 penduduk wilayah tersebut yang tercakup dalam program Pemberantasan Penyakit TB (P2TB).
  • Jika hasilnya kurang dari perkiraan insidens (angka nasional lebih kurang 100/100.000 penduduk, yaitu separuh dari angka prevalensi) dikatakan target tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya:
  1. Dokter Puskesmas: belum dilatih stretegi baru; sudah dilatih tetapi tidak memahami materi; karena pelatihan yang tidak baik; karena tidak ada pembinaan pada waktu supervisi atau tidak ada post training evaluation.
  2. Petugas BP Puskesmas; belum diberitahu oleh dokter puskesmas tentang gejala tersangka TB yang harus dideteksi; telah diberitahu namun karena tidak mendapat insentif; tidak merujuk tersangka TB ke laboratorium; petugas BP terlalu selektif, jadi tidak semua yang batuk tiga minggu diperiksa dahaknya ke laboratorium.
  3. Penyuluh khusus di daerah yang banyak penderita TB: belum dilakukan penyuluhan sehingga masyarakat belum memanfaatkan puskesmas dengan maksimal; diantara yang berobat TB di puskesmas hanya sedikit yang benar benar sembuh (85%).
  4. Penderita tidak mau datang ke Puskesmas: karena pelayanan tidak baik, misalnya petugas suka marah, penderita tidak boleh bicara atau bertanya, pelayanan lambat, waktu tunggu yang terlalu lama; pelayanan baik, hanya penjelasan kepada penderita yang kurang; contact tracing tidak dilakukan; karena gejala samping (mual, gatal gatal, pusing) yang timbul tidak ditanggulangi; karena penderita TB yang diobati di Puskesmas diantaranya sedikit yang sembuh (kurang dari 85%), sehingga penderita merasa obat program yang diberi secara gratis itu tidak bermutu; atau kurangnya penjelasan atau penyuluhan.
Uraian Tugas Tenaga Kesehatan di BP Puskesmas Dalam Menemukan Suspek TB
  • Menurut Dep. Kes. R.I (2000) uraian tugas Tenaga Kesehatan di BP Puskesmas dalam menemukan suspek TB adalah sebagai berikut:
  1. Memberikan penyuluhan tentang TB kepada masyarakat luas
  2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TB
  3. Menegakan diagnosis TB sesuai protap
  4. Membuat klasifikasi/tipe penderita
  5. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TB yang ditemukan