PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Selasa, 06 Juli 2010

DIABETES MELITUS (KENCING MANIS)

Dr. Suparyanto, M.Kes

DIABETES MELITUS (KENCING MANIS)

Pengertian diabetes melitus
  • Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai oleh ketiadaan absolut insulin atau insensitivitas sel terhadap insulin.
  • Berdasarkan definisi, glukosa darah puasa harus lebih besar dari pada 140 mg/100 ml pada dua kali pemeriksaan terpisah agar diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan.
  • Diabetes adalah kata Yunani yang berarti mengalirkan /mengalihkan (siphon). Mellitus adalah kata latin untuk madu, atau gula. Diabetes melitus adalah penyakit dimana seseorang mengeluarkan/mengalirkan sejumlah besar urin yang terasa manis (Elizabeth J. C, 2001).

Etiologi
  • Etiologi diabetes melitus dibagi menjadi 2 yaitu: diabetes melitus tipe I dan diabetes melitus tipe II (Brunner & Suddarth, 2002)

Diabetes melitus tipe I
  • Diabetes melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel .

Faktor-faktor genetik
  • Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu.
  • HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya. 95% pasien berkulit putih (Caucasian) dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4).
  • Risiko terjadinya diabetes tipe I meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).

Faktor-faktor imunologi
  • Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon auto imun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I.
  • Riset dilakukan untuk mengevaluasi efek preparat imuno supresif terhadap perkembangan penyakit pada pasien diabetes tipe I yang baru terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan antibodi yang terdeteksi tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin dengan dosis kecil terhadap fungsi sel .

Faktor-faktor lingkungan
  • Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel.
  • Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam etiologi diabetes tipe I merupakan pokok perhatian riset yang terus berlanjut.
  • Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe I merupakan hal yang secara umum dapat diterima.

Diabetes melitus tipe II
  • Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui.
  • Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II.

Faktor-faktor ini adalah:
  • Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun)
  • Obesitas
  • Riwayat keluarga
  • Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya dan tipe II dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika)

Gejala
  • Gejala klasik penyakit diabetes melitus, dikenal dengan istilah trio-P, yaitu meliputi poliuria, polidipsi, dan polifagia (Endang l, 2001).

Poliuria
  • Merupakan gejala umum pada penderita diabetes melitus. Banyaknya kencing disebabkan kadar gula dalam darah berlebihan, sehingga merangsang tubuh untuk berusaha mengeluarkannya melalui ginjal bersama air seni. Gejala banyak kencing ini terutama menonjol pada waktu malam hari, yaitu saat kadar gula dalam darah relatif tinggi.

Polidipsi
  • Merupakan akibat reaksi tubuh dari banyak kencing tersebut. Untuk menghindari tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), maka secara otomatis akan timbul rasa haus/kering yang menyebabkan timbulnya keinginan untuk terus minum selama kadar gula darah belum terkontrol dengan baik (gula darah dalam keadaan normal).

Polifagia
  • Polifagia disebabkan oleh berkurangnya cadangan glukosa dalam tubuh meskipun kadar glukosa dalam darah tinggi. Sehingga dengan demikian, tubuh berusaha untuk memperoleh tambahan glukosa dari makanan yang dikonsumsi.

Gejala-gejala yang biasa tampak pada penderita diabetes melitus adalah sebagai berikut (Endang l, 2001):
  • Adanya perasaan haus yang terus-menerus.
  • Sering BAK dalam jumlah yang banyak.
  • Timbulnya rasa letih yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
  • Timbulnya rasa gatal dan peradangan kulit yang menahun.

Pada penderita yang kronis, akan timbul beberapa gejala lain, yaitu sebagai berikut (Endang l, 2001):
  • Terjadinya penurunan berat badan.
  • Timbulnya rasa kesemutan atau rasa nyeri pada tangan atau kaki.
  • Timbulnya luka gangren pada kaki.
  • Hilangnya kesadaran diri (koma).

Patofisiologi diabetes melitus
  • Pada manusia bahan bakar itu berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak. Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian lambung dan selanjutnya usus.
  • Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah menjadi bahan dasar makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan disedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar.
  • Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses yang rumitm yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme.

  • Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel di pankreas.
  • Pada diabetes tipe I insulin tidak ada, hal ini disebabkan oleh karena pada jenis diabetes ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan oleh adanya peradangan pada sel-insulitis. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel ) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta (Boedisantoso Ranakusuma. et.al., 1999).

  • Pada diabetes tipe II jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
  • Reseptor insulin ini dapat di ibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan terdiri dari jumlah lubang kunci yang kurang, sehingga menkipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, Sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat.
  • Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada diabetes tipe I. Perbedaannya adalah diabetes tipe II disamping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin (Boedisantoso Ranakusuma. et.al., 1999).

Penatalaksanaan
  • Penatalaksanaan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik.
  • Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien (Brunner&Suddarth, 2002)

Diet
  • Prinsip umum diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini:
  1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral)
  2. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
  3. Memenuhi kebutuhan energi
  4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis
  5. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat

  • Bagi pasien yang memerlukan insulin untuk membantu mengendalikan kadar glukosa darah, upaya mempertahankan konsistensi jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi pada jam - jam makan yang berbeda merupakan hal penting. Disamping itu, konsistensi interval waktu diantara jam makan dengan mengkonsumsi camilan (jika diperlukan), akan membantu mencegah reaksi hipoglikemia dan pengendalian keseluruhan kadar glukosa darah.

  • Bagi semua penderita diabetes, perencanaan makan harus mempertimbangkan pula kegemaran pasien terhadap makanan tertentu, gaya hidup, jam-jam makan yang biasa diikutinya dan latar belakang etnik serta budayanya. Bagi pasien yang mendapatkan terapi insulin intensif, penentuan jam makan dan banyaknya makanan mungkin lebih fleksibel dengan cara mengatur perubahan kebiasaan makan serta latihan.

Latihan
  • Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pongambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin.

  • Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan dengan cara melawan tahanan (resistance training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan demikian menambah laju metabolisme laju istirahat (resting metabolic rate). Semua efek ini sangat bermanfaat pada diabetes karena dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran tubuh.

  • Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida. Semua manfaat ini sangat penting bagi penyandang diabetes mengingat adanya peningkatan risiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler pada diabetes.
  • Meskipun demikian, penderita diabetes dengan kadar glukosa darah lebih dari 250mg/dl (14mmol/L) dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urin memperlihatkan hasil negative dan kadar glukosa darah telah mendekati normal.

  • Latihan dengan kadar glukosa darah tinggi akan meningkatkan sekresi glukagon, growth hormone dan katekolamin. Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.

Pemantauan
  • Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG: self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal.

  • Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang memungkinkan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Berbagai metode kini tersedia untuk melakukan pemantauan mandiri kadar glukosa darah.

  • Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan setetes darah dari ujung jari tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus, dan kemudian darah tersebut dibiarkan pada strip selama periode waktu tertentu (biasanya antara 45 dan 60 detik sesuai ketentuan pabrik). Untuk beberapa produk, darah diapus dari strip (dengan menggunakan kapas atau kertas tissue sesuai ketentuan pabrik).

  • Bantalan pereaksi pada strip akan berubah warnanya dan kemudian dapat dicocokkan dengan peta warna pada kemasan produk atau disisipkan ke dalam alat pengukur yang memperlihatkan angka digital kadar glukosa darah.

Terapi Insulin dan Obat Hiperglikemia
  • Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, hormon insulin disekresikan oleh sel-sel pulau Langerhans. Hormon ini berkerja untuk menurunkan kadar glukosa darah postprandial dengan mempermudah pengambilan serta penggunaan glukosa oleh sel-sel otot, lemak dan hati. Selama periode puasa, insulin menghambat pemecahan simpanan glukosa, protein dan lemak.

  • Pada diabetes tipe I, tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin. Dengan demikian, insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Di samping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet atau dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya.

  • Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali perhari (atau bahkan lebih sering lagi) untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa darah dalam darah, maka pemantauan kadar glukosa darah yang akurat sangat penting. Pemantauan kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin. Agen diabetik oral mungkin berkhasiat bagi pasien diabetes tipe II yang tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan latihan. Meskipun demikian, obat ini tidak dapat digunakan pada kehamilan.

Di Amerika obat anti diabetik digolongkan menjadi:
Sulfonilurea
  • Golongan sulfonilurea bekerja terutama dengan merangsang langsung pankreas untuk mensekresikan insulin. Dengan demikian, pankreas yang masih berfungsi merupakan syarat utama agar obat-obat ini bekerja efektif. Golongan sulfonilurea tidak dapat digunakan pada pasien diabetes tipe I dan pasien diabetes yang cenderung mengalami ketoasidosis. Kerja penting lainnya dari preparat ini, yang tidak berakibat langsung pada pankreas, adalah memperbaiki kerja insulin ditingkat seluler. Sulfonilurea juga dapat menurunkan secara langsung produksi glukosa oleh hati.

Biguanid
  • Kelompok obat antidiabetik oral yang lain adalah biguanid. Metformin (Glucophage), yang merupakan biguanid yang disetujui pemakaiannya di Amerika menimbulkan efek antidiabetik dengan memfasilitasi kerja insulin pada tempat reseptor perifer. Oleh karena itu, obat ini hanya digunakan jika masih terdapat insulin. Biguanid tidak memberikan efek pada sel-sel beta pankreas.

Pendidikan Kesehatan
  • Diabetes melitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan-mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet, aktivitas fisik dan stress fisik serta emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor.
  • Pasien bukan hanya harus belajar ketrampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Penghargaan pasien tentang pentingnya pengetahuan dan ketrampilan yang harus dimiliki oleh penderita diabetes dapat membantu perawat dalam melakukan pendidikan dan penyuluhan.

Komplikasi diabetes
  • Komplikasi diabetes dibagi menjadi dua yaitu (Brunner & Suddarth, 2002):

Komplikasi akut diabetes
  • Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang penting dan berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, dan sindrom HHNK (juga disebut koma hiperglikemik hiperosmolar nonketotik atau HONK: hiperosmoler nonketotik)

Hipoglikemia
  • Hipoglikemia terjadi kalau kadar glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7 hingga 3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian ini bisa dijumpai sebelum makan, khususnya jika waktu makan tertunda atau bila pasien lupa makan camilan.

  • Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: gejala adrenergik dan gejala sistem saraf pusat. Pada hipoglikemia ringan ketika kadar glukosa darah menurun, sistem saraf simpatik akan teransang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah menyebabkan gejala seperti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan rasa lapar.

  • Pada hipoglikemia sedang penurunan kadar glukosa darah menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi pada sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, patirasa, di daerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi, perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda dan perasaan ingin pingsan. Kombinasi semua gejala ini (disamping adrenergik) dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.

  • Pada hipoglikemia berat fungsi sistem saraf pusat mengalami gangguan yang sangat berat sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia yang dideritanya. Gejala dapat mencakup perilaku yang mengalami disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan kesadaran.

  • Gejala hipoglikemia dapat terjadi mendadak dan tanpa terduga sebelumnya. Kombinasi semua gejala tersebut dapat bervariasi antara pasien yang satu dan lainnya. Sampai derajat tertentu gejala ini dapat berhubungan dengan tingkat penurunan kadar glukosa darah yang sebenarnya atau dengan kecepatan penurunan kadar tersebut.

  • Faktor lain yang berperan dalam menimbulkan perubahan gejala hipoglikemia adalah penurunan respon hormonal (adrenergik) terhadap hipoglikemia. Keadaan ini terjadi pada pasien yang telah menderita diabetes selama bertahun-tahun.
  • Penanganan hipoglikemia berat bagi pasien yang tidak sadarkan diri, tidak mampu menelan atau menolak terapi, preparat glukagon 1 mg dapat disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Glukagon adalah hormon yang diproduksi oleh sel-sel alfa pankreas yang menstimulasi hati untuk melepas glukosa (melalui pemecahan glikogen).

Ketoasidosis diabetik
  • Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis, yaitu: dehidrasi, kehilangan elektrolit, asidosis.

  • Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang pula. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium).

  • Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 liter air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode 24 jam.

  • Terapi yang diberikan bagi penderita ketoasidosis diabetik diarahkan pada perbaikan tiga permasalahan utama: dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis. Untuk dehidrasi, rehidrasi merupakan tindakan yang paling penting untuk mempertahankan perfusi jaringan. Disamping itu, penggantian cairan akan menggalakkan ekskresi glukosa yang berlebihan melalui ginjal. Pasien mungkin memerlukan 6 hingga 10 liter cairan infuse untuk menggantikan kehilangan cairan yang disebabkan oleh poliuria, hiperventilasi, diare, dan muntah.

  • Untuk kehilangan elektrolit, masalah elektrolit utama selama terapi ketoasidosis adalah kalium. Meskipun konsentrasi kalium plasma pada awalnya rendah, normal atau tinggi namun simpanan kalium tubuh dapat berkurang secara signifikan. Selanjutnya kadar kalium akan menurun selama proses penanganan diabetes ketoasidosis sehingga perlu dilakukan pamantauan kalium yang sering.

  • Untuk asidosis, akumulasi badan keton (asam) merupakan akibat pemecahan lemak. Asidosis yang terjadi pada diabetik ketoasisdosis dapat diatasi melalui pemberian insulin. Insulin menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam.

Sindrom hiperglikemik hiperosmolar nonketotik
  • Sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketosis (HHNK) merupakan keadaan yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran (sense of awareness). Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi ketosis ringan. Kelainan dasar biokimia pada sindrom ini berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari ruang intrasel kedalam ruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi akan menjumpai keadaan hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.

  • Penatalaksanaan sindrom HHNK serupa dengan terapi DKA, yaitu: cairan, elektrolit, dan insulin. Karena peningkatan usia yang khas pada penderita sindrom HHNK, maka pemantauan ketat terhadap status volume dan elektrolit diperlukan untuk mencegah gagal jantung kongestif serta disritmia jantung.

Komplikasi kronis (jangka panjang) diabetes
  • Angka kematian yang berkaitan dengan ketoasidosis dan infeksi pada pasien-pasien diabetes tampak terus menurun, tetapi kematian akibat komplikasi kardiovaskuler dan renal mengalami kenaikan yang mengkhawatirkan. Komplikasi jangka panjang atau komplikasi kronis diabetes semakin tampak pada penderita diabetes yang berumur panjang. Komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem organ tubuh.

Katagori komplikasi kronis diabetes yang lazim digunakan adalah:

  • Komplikasi makrovaskuler
  • Komplikasi makrovaskuler dibagi menjadi:
  • Penyakit arteri koroner
  • Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah arteri koroner menyebabkan peningkatan insidens infark miokard pada penderita diabetes. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit arteri koroner menyebabkan 50% hingga 60% dari semua kematian pada pasien-pasien diabetes.


Penyakit serebrovaskuler
  • Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau pembentukan emboli ditempat lain dalam sistem pembuluh darah yang kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas dan stroke.

Penyakit vaskuler perifer
  • Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insidens penyakit osklusif arteri perifer pada pasien diabetes. Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstremitas bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insidens gangren dan amputasi pada pasien-pasien diabetes.

Komplikasi mikrovaskuler
  • Komplikasi mikrovaskuler dibagi menjadi:

Retinopati diabetik
  • Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Ada tiga stadium utama retinopati: retinopati nonproliferatif (background retinopathy), praproliferatif dan retinopati proliferatif. Sebagian besar pasien diabetes mengalami retinopati nonproliferatif dengan derajat tertentu dalam waktu 5 hingga 15 tahun setelah diagnosis diabetes ditegakkan.

Komplikasi oftalmologi yang lain
  • Retinopati diabetik bukan merupakan satu-satunya komplikasi diabetes yang dapat mengganggu penglihatan. Katarak, hipoglikemia dan hiperglikemia, neuropati dan glaucoma dapat pula mengganggu penglihatan.

Nefropati
  • Penyakit diabetes turut menyebabkan kurang lebih 25% dari pasien-pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang memerlukan dialysis atau tranplantasi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Penyandang diabetes memiliki risiko sebesar 20% hingga 40% untuk menderita penyakit renal.

Neuropati diabetes
  • Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada lokasi sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia penderita dan lamanya penyakit tersebut. Angka prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien-pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Kenaikan kadar glukosa darah selama bertahun-tahun telah membawa implikasi pada etiologi neuropati.
  • Patogenesis neuropati dalam diabetes dapat dikaitkan dengan mekanisme vaskuler atau metabolik atau keduanya, meskipun perannya yang berhubungan mekanisme ini masih belum berhasil ditentukan. Penebalan membran basalis kapiler dan penutupan kapiler dapat dijumpai. Disamping itu mungkin terdapat demielinisasi saraf yang diperkirakan berhubungan dengan hiperglikemia. Hantaran saraf akan terganggu apabila terdapat kelainan pada selubung myelin.

Diet Diabetes Melitus

Pengertian diet
  • Diet adalah makanan dan minuman yang jumlahnya diperhitungkan untuk tujuan tertentu (Hendra T. L, 2003).

Tujuan pelaksanaan diet diabetes melitus.
Tujuan umum pelaksanaan diet diabetes melitus menurut Sjaifoellah Noer tahun 1999 adalah:
  1. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal.
  2. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.
  3. Mencegah komplikasi akut dan kronik.
  4. Meningkatkan kualitas hidup.

Persyaratan umum diet diabetes melitus
  • Meskipun susunan bermacam-macam diet diabetes berbeda-beda sesuasi dengan kondisi diabetesnya, tetapi setiap diet tetap diusahakan untuk memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Askandar T.2006):
  1. Memperbaiki kesehatan umum penderita.
  2. Menyesuaikan berat badan penderita ke berat badan normal
  3. Menormalkan pertumbuhan diabetes melitus anak atau diabetes melitus dewasa muda (masa pertumbuhan).
  4. Mempertahankan glukosa darah sekitar normal.
  5. Menekan atau menunda timbulnya angiopati diabetik.
  6. Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita misalnya diabetisi yang hamil, diabetes melitus dengan penyakit hati, TB, dan lain-lain.
  7. Menarik dan mudah diterima penderita diabetes melitus.

Prinsip pelaksanaan diet diabetes mellitus
  • Menurut Askandar Tjokroprawiro tahun 2006 dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari hendaknya diikuti pedoman “3J” (jumlah, jadwal, jenis), artinya:
  • J1 : Jumlah kalori yang diberikan harus habis.
  • J2 : Jadwal diet harus diikuti sesuai dengan intervalnya, yaitu tiga jam.
  • J3 :Jenis makanan manis harus dihindari. Termasuk pantangan buah golongan A.

Cara-cara pemberian diet diabetes melitus
  • Mengukur BBR (berat badan relatif)
  • Penentuan gizi penderita dilaksanakan dengan menghitung Percentage of Relative Body Weight (RBW) atau BBR (berat badan relatif) dengan rumus (Askandar Tjokroprawiro, 2006):



Keterangan:
  • BBR: Berat badan relatif
  • BB (berat badan): Berat badan (kilogram)
  • TB (tinggi badan): Tinggi badan (centimeter)
  • Kriteria:
  1. Under nutrition : BBR <80% 
  2. Kurus (underweight) : BBR <90% 
  3. Normal (ideal) : BBR 90-100% 
  4. Gemuk (overweight) : BBR >110%
  5. Obesitas : BBR>120%

Penentuan kalori diet diabetes melitus
  • Dalam praktek, pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk diabetasi yang bekerja biasa (Askandar Tjokroprawiro, 2006):
  1. Kurus : Berat badan X 40-60 kalori sehari
  2. Normal : Berat badan X 30 kalori sehari
  3. Gemuk : Berat badan X 20 kalori sehari
  4. Obesitas : Berat badan X 10-15 kalori sehari

Macam-macam diet diabetes melitus
  • Menurut Askandar Tjokroprawiro tahun 2006 ada berbagai macam diet-B, yaitu:

Diet-B
  • Komposisi: 68% karbohidrat, 12% protein, 20% lemak
  • Indikasi:
  1. Tidak tahan lapar dengan dietnya
  2. Mampu atau kaya, tetapi kadar kolesterol dalam darahnya tinggi.
  3. Mempunyai komplikasi penyempitan pembuluh darah.
  4. Telah menderita diabetes melitus lebih dari 15 tahun, penderita diabetes melitus yang lama ini biasanya mengidap angiopati diabetik.

Diet-B1
  • Komposisi: 60% karbohidrat, 20% Protein, 20% Lemak
  • Indikasi:
  1. Mampu atau mempunyai kebiasaan makan tinggi protein, tetapi kadar lemak darahnya normal.
  2. Kurus atau BBR <;90%. Masih muda (perlu pertumbuhan). Mengalami patah tulang. Menderita TB paru Dalam keadaan pasca bedah Menderita penyakit Graves atau Morbus Basedowi, yaitu: penyakit gondok dengan kadar hormon gondok yang tinggi Menderita tumor ganas, antara lain: kanker payudara, kanker rahim atau kanker lainnya Deit-B2 (Diit-B2 pra-Hemodialisa umum) Komposisi: 74% karbohidrat, 6% Protein, 20% lemak. Indikasi: Diberikan kepada penderita Nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik sedang, yang belum menjalani cuci darah (HD/HemoDialisis) Diit-B3 (Diit-B3 pra-Hemodialisa khusus) Komposisi: 72% karbohidrat, 8% Protein, 20% lemak. Indikasi: Diberikan kepada penderita Nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik khusus seperti, kehilangan protein dalam urine >3gram/hari (protein rebus urine +4) atau keadaan sakit berat (infeksi berat/operasi) yang menjalani cuci darah (HD/HemoDialisis).

Diet Be
  • Diet-Be atau Diet-bebas hanya diberikan kepada diabetasi dengan Nefropati Diabetik Tipe Be: Stadium akhir (Stadium IV). Pada Stadium IV ini biasanya faal ginjal sudah sangat jelek. Sehingga memerlukan terapi cuci darah. Pada saat ini diberikan makanan yang tinggi protein (1gr/kg berat badan/hari). Penderita ini boleh minum glukosa dan rasa manis lain (misalnya es krim dll). Oleh karena itu, disebut pula diet es krim, tetapi harus diberikan suntikan insulin. Aturan makan tetap tiga kali makanan utama dan tiga kali makanan kecil, interval tiga jam dengan kalori lebih dari 2000 kalori/hari.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Arikunto, S. (2000). Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
  2. Baughman, Diane C. et.al. (2000). Kepewatan Madikal Bedah. EGC. Jakarta.
  3. Brunner&Suddarth. (2002). Keperawatan Medikal - Bedah. EGC. Jakarta.
  4. Clark J, Marry (2003). Community Health Nursing. EGC. Jakarta.
  5. Corwin, Elizabeth J. (2001). Patofisiologi. EGC. Jakarta.
  6. Friedman, Marilyn M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. EGC. Jakarta.
  7. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnk Analis Data. Salemba Medika. Jakarta.
  8. Lanywati, Endang. (2001). Diabetes Melitus Penyakit Kencing Manis. Kanisius. Yogyakarta.
  9. Mansjoer, Arif. et.al.(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI. Jakarta.
  10. Niven, Neil. (2002). Psikologi Kesehatan. EGC. Jakarta.
  11. Noer, Sjaifoellah. et.al. (1999). Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta.
  12. Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta.
  13. Notoatmodjo, Soekidjo (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
  14. Nursalam (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
  15. Patrick Davey. (2002). At a Glance Medicine. Erlangga. Surabaya.
  16. Ranakusuma, Boedisantoso. Et.al. (1999). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. CV Aksara Buana. Jakarta.
  17. Suprajitno (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga. EGC. Jakarta.
  18. Askandar T. (2006). Hidup Sehat dan Bahagia bersama Diabetes Melitus. PT Gramedia Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar