PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Selasa, 06 Juli 2010

KONSEP DEFEKASI (BUANG AIR BESAR)

Dr. Suparyanto, M.Kes

KONSEP DEFEKASI (BUANG AIR BESAR)

Buang Air Besar
  • Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).

Fisiologi Buang Air Besar
  • Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).

Proses Buang Air Besar
  • Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.

  • Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon.
  • Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi (Guyton, 1997).

Pengertian konstipasi
  • Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).

  • Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).

  • Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).

Penyebab konstipasi
  • Kurang gerak.
  • Kurang minum.
  • Kurang serat.
  • Sering menunda buang air besar.
  • Kebiasaan menggunakan obat pencahar.
  • Efek samping obat-obatan tertentu (antasid dan opiat) sampai adanya gangguan seperti usus terbelit.

Patofisiologi konstipasi
  • Defekasi menjadi sulit manakala frekuensi pergerakan usus berkurang, yang akhirnya akan memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, maka konsistensinya akan semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah dikeluarkan (Arisman, 2004).

  • Rasa takut akan nyeri sewaktu berdefekasi juga dapat menjadi stimulus psikologis bagi seseorang untuk menahan buang air besar dan dapat menyebabkan konstipasi. Rangsangan simpatis atau saluran gastrointestinal menurunkan motilitas dan dapat memperlambat defekasi. Aktivitas simpatis meningkat pada individu yang mengalami stress lama. Obat-obatan tertentu misalnya antasid dan opiat juga dapat menyebabkan konstipasi (Corwin, 2000).

Cara mengurangi resiko konstipasi
  • Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari,
  • seperti sayuran dan buah-buahan.
  • Menganjurkan untuk minum paling sedikit delapan gelas cairan (air, jus, teh, kopi) setiap hari untuk melembutkan feses.
  • Menganjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin, karena bisa menyebabkan ketergantungan (Moore, 1997).

Pemeriksaan
  • Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
  • Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran nadi.
  • Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.
  • Pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.
  • Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor resiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.
  • Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan koloskopi (Nri, 2004).

Terapi
  • Terapi diberikan sesuai penyebabnya dan pada lansia pengobatannya harus hati-hati. Untuk pengobatan biasanya dimulai fase 1 yaitu perubahan kebiasaan hidup meliputi latihan buang air besar secara teratur, dikombinasi olahraga, dan diet banyak cairan minimum 1500 cc/hari air/jus buah, makanan berserat sehari 20-30 gram.
  • Jika belum membaik, maka terapi memasuki fase 2, yaitu penggunaan obat-obatan laksatif atau supositoria dan enema serta terapi lainnya.
  • Jika fase 2 tidak efektif, maka perlu pemeriksaan radiologis, bahkan pada konstipasi tertentu perlu dilakukan tindakan operasi (Arief, 2008).

Patofisiologi hubungan serat dengan konstipasi
  • Diet berserat tinggi mempertahankan kelembaban tinja dengan cara menarik air secara osmotis ke dalam tinja dan dengan merangsang peristaltik kolon melalui peregangan. Dengan demikian, orang yang makan makanan rendah serat atau makanan yang sangat dimurnikan beresiko lebih besar mengalami konstipasi (Corwin, 2000).

Fisiologi pencernaan
Mengunyah
  • Pada umumnya otot-otot pengunyah dipersarafi oleh cabang motorik dari saraf ranial kelima, dan proses mengunyah dikontrol oleh nukleus dalam batang otak. Perangsangan formasio retikularis dekat pusat batang otak untuk pengecapan dan menimbulkan pergerakan mengunyah yang ritmis secara kontinu. Demikian pula, perangsangan area di hipotalamus, amigdala, dan bahkan di korteks serebri dekat area sensoris untuk pengecapan dan penghidu sering kali dapat menimbulkan gerakan mengunyah.

Menelan
  • Tahap volunter, bila makanan sudah siap untuk ditelan secara sadar makanan ditekan atau digulung kearah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap palatum.
  • Tahap faringeal, sewaktu bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring, bolus merangsang daerah reseptor menelan di seluruh pintu faring, khususnya pada tiang-tiang tonsil, dan impuls-impuls berjalan ke batang otak untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis.
  • Tahap esopageal, esopagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus dari fungsi tersebut. Normalnya esopagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esopagus selama tahap faringeal dan penelanan. Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah masuk esopagus ke dalam lambung, maka terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan esopagus oleh makanan yang tertahan, dan terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke dalam lambung (Guyton, 1997).

DAFTAR PUSTAKA

  1. Alimul, Azis. (2003). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika
  2. Almatsier, Sunita (2004). Penuntut Diet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
  3. Arief, Irfan (2008). Serat si Pencegah Konstipasi. http://id.wikipedia.org. Diakses: Tanggal 26 Oktober 2008. Jam 11.00 WIB
  4. Arikunto, Suharsimi (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.Asdi Mahasatya
  5. Arisman (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC
  6. Beck, Mary (2000). Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica
  7. Bustan (2000). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA
  8. Corwin, Elizabeth (2000). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
  9. Dianawuri (2009). Arti Defekasi. http://dianawuri.multiply.com/journal. Diakses: Tanggal 22 Januari 2009. Jam 12.49 WIB
  10. Guyton, Arthur C. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
  11. Hartono, Andri (1999). Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. Jakarta: EGC
  12. Hutapea, Ronald (2005). Sehat&Ceria di Usia Senja. Jakarta: PT. Asdi Makasatya
  13. Irianto, Djoko P. (2007). Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Yogyakarta: ANDI
  14. Mansjoer, Arief (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
  15. Minarno, Eko B. (2008). Gizi dan Kesehatan Persfektif Al-Quran dan Sains. Yogyakarta: SUKSES Offset
  16. Moore, Mary C. (1997). Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi. Jakarta: Hipokrates
  17. Nri (2004). Mengatasi Konstipasi pada Usia Lanjut. http://www.republika.co.id. Diakses: Tanggal 18 Desember 2008. Jam 10.00 WIB
  18. Wahjudi (2000). Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC
  19. Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
  20. Oenzil, Fadil (1995). Ilmu Gizi, Pencernaan, Penyerapan dan Detoksikasi Zat Gizi. Jakarta: Hipokrates
  21. Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia
  22. Sediaoetama, Achmad D (2000). Buku Ilmu Gizi bagi Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: DIAN RAKYAT
  23. Siregar, Cholina T. (2008). Nutrisi. http://id.wikipedia.org. Diakses: Tanggal 22 Desember 2008. Jam 10.00 WIB
  24. Stolte, Karen M. (2003). Diagnosa Keperawatan Sejahtera. Jakarta: EGC
  25. Tanty (2007). Serat Pangan. http://halalijournal.com. Diakses: Tanggal 20 Oktober 2008. Jam 08.00 WIB
  26. Uri (2008). Apa Itu Nutrisi. http://vershescha.blogstik.com. Diakses: Tanggal 22 Desember 2008. Jam 10.30 WIB
  27. Tianshi (2008). Gaya Hidup Sehat Sejahtera. Yogyakarta: Amadeus
  28. Wilkinson, Judith M. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar