PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Sabtu, 13 Agustus 2011

SKABIES / KUDIS / GUDIK

Dr. Suparyanto, M.Kes

SKABIES / KUDIS / GUDIK

a). Definisi
  • Skabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Penyakit ini disebut juga the itch, seven year itch, Norwegian itch, gudikan, gatal agogo, budukan atau penyakit ampera (Harahap, 2008).
b). Etiologi
  • Skabies disebabkan oleh tungau kecil berkaki delapan, dan didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang menderita penyakit ini. Tungau skabies (Sarcoptes scabiei) ini berbentuk oval, dengan ukuran 0,4 x 0,3 mm pada jantan dan 0,2 x 0,15 pada betina (Brown dkk, 2002).
c). Faktor Risiko
  • Semua kelompok umur bisa terkena skabies. Penularan dapat terjadi melalui kontak fisik yang erat seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual, serta dapat juga melalui pakaian dalam, handuk, sprei, dan tempat tidur (Brown dkk, 2002).
  • Beberapa fakor yang dapat membantu penyebaranya adalah kemiskinan, higiene yang jelek, seksual promiskuitas, diagnosis yang salah, demografi, ekologi dan derajat sensitasi individual (Harahap, 2008).
d). Patogenesis
  • Infestasi dimulai saat tungau betina yang telah dibuahi tiba di permukaan kulit. Dalam waktu satu jam, tungau tersebut akan mulai menggali terowongan. Setelah tiga puluh hari, terowongan yang awalnya hanya beberapa millimeter bertambah panjang menjadi beberapa centimeter. Meskipun begitu, terowongan ini hanya terdapat di stratum korneum dan tidak akan menembus lapisan kulit di bawah epidermis. Terowongan ini dibuat untuk menyimpan telur- telur tungau, kadang- kadang juga ditemukan skibala di dalamnya. Tungau dan produk- produknya inilah yang berperan sebagai iritan yang akan merangsang sistem imun tubuh untuk mengerahkan komponen- komponennya (Habif, 2003).
  • Dalam beberapa hari pertama, antibodi dan sel sistem imun spesifik lainnya belum memberikan respon. Namun, terjadi perlawanan dari tubuh oleh sistem imun non spesifik yang disebut inflamasi. Tanda dari terjadinya inflamasi ini antara lain timbulnya kemerahan pada kulit, panas, nyeri dan bengkak. Hal ini disebabkan karena peningkatan persediaan darah ke tempat inflamasi yang terjadi atas pengaruh amin vasoaktif seperti histamine, triptamin dan mediator lainnya yang berasal dari sel mastosit. Mediator- mediator inflamasi itu juga menyebabkan rasa gatal di kulit. Molekul- molekul seperti prostaglandin dan kinin juga ikut meningkatkan permeabilitas dan mengalirkan plasma dan protein plasma melintasi endotel yang menimbulkan kemerahan dan panas (Baratawidjaja, 2007).
  • Faktor kemotaktik yang diproduksi seperti C5a, histamine, leukotrien akan menarik fagosit. Peningkatan permeabilitas vaskuler memudahkan neutrofil dan monosit memasuki jaringan tersebut. Neutrofil datang terlebih dahulu untuk menghancurkan/ menyingkirkan antigen. Meskipun biasanya berhasil, tetapi beberapa sel akan mati dan mengeluarkan isinya yang juga akan merusak jaringan sehingga menimbulkan proses inflamasi. Sel mononuklear datang untuk menyingkirkan debris dan merangsang penyembuhan (Baratawidjaja, 2007).
  • Bila proses inflamasi yang diperankan oleh pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi infestasi tungau dan produknya tersebut, maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen (Kresno, 2007).
  • Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th, kemudian akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3b yang merupakan hasil aktivasi komplemen. Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen (Kresno, 2007).
  • Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi akan mencapai kadar protektif yang berlangsung dalam waktu cukup lama. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari (Kresno, 2007).

e). Gambaran Klinik
  • Gejala utama skabies adalah gatal, yang secara khas terjadi di malam hari. Terdapat dua tipe utama lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan ruam. Terowongan terutama ditemukan pada tangan dan kaki, khususnya bagian samping jari tangan dan kaki, sela- sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki. Masing- masing terowongan panjangnya beberapa millimeter hingga beberapa centimeter, biasanya berliku- liku dan ada vesikel pada salah satu ujung yang berdekatan dengan tungau yang sedang menggali terowongan, seringkali disertai eritema ringan (Brown dkk, 2002).
  • Terowongan bisa juga ditemukan pada genetalia pria, biasanya tertutupi oleh papula yang meradang, dan papula tersebut jika ditemukan pada penis dan skrotum adalah patognomonis untuk skabies. Sehingga bila pada seorang pria diduga menderita skabies, hendaknya genetalianya selalu diperiksa (Brown dkk, 2002).
  • Ruam skabies berupa erupsi papula kecil yang meradang, yang terutama terdapat di sekitar aksila, umbilikus dan paha. Ruam ini merupakan suatu reaksi alergi tubuh terhadap tungau (Brown dkk, 2002).
  • Selain itu juga dapat terjadi lesi sekunder akibat garukan maupun infeksi sekunder seperti eksema, pustula, eritema, nodul dan eksoriasi (Habif, 2003).

f). Diagnosis
  • Menurut Handoko, 2007, diagnosis ditegakkan jika terdapat setidaknya dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu:
  1. Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
  2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok.
  3. Adanya terowongan pada tempat- tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu- abuan, berbentuk lurus atau berkelok, rata- rata panjang 1cm, dan pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Tempat predileksinya adalah tempat- tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti jari- jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, umbilikus, genetalia pria dan perut bagian bawah.
  4. Menemukan tungau. Untuk menemukan tungau atau terowongan, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
a. Kerokan kulit
  • Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak mineral/ KOH, kemudian dikerok dengan scalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan lensa mantap, lalu diperiksa di bawah mikroskop.
b. Mengambil tungau dengan jarum
  • Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.
c. Epidermal shave biopsy
  • Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan scalpel no. 15 sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi.
d. Burrow ink test
  • Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama dua menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig- zag.
e. Swab kulit
  • Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat. Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop.
f. Uji tetrasiklin
  • Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukkan fluoresesnsi (Sungkar, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdillah A., Mansyur M., Maria A., Munandar A., Wibowo A.A. 2007. Pendekatan kedoktran keluarga pada penatalaksanaan scabies. Majalah Kedokteran Indonesia. 57: 63-67.
  2. Admin. 2009. Asrama Santri. http://assalaam.or.id/fasilitas/asrama-santri/302-asrama-santri.html. [21 April 2010]
  3. Boediardja S. 2003. Skabies pada Bayi dan Anak. Editor: Boediardja S, Sugito T, Kurniati D, Elandari. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  4. Bratawidjaja, K.G. 2007. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 260-262.
  5. Brown R.G., Burns T. 2002. Lecture Notes Dermatology. Edisi ke- 8. Jakarta: Penerbit Erlangga. pp: 42-47
  6. Bruckner D.A., Garcia L.S. 2007. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Dalam: Padmasutra L. (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 335
  7. Budiarto E. 2008. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 38-49.
  8. Chosidow O. 2006. Scabies. The New England Journal of Medicine. 354: 1718- 27.
  9. Darwanto., Prianto J., Tjahaya P.U. 2000. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. p: 154.
  10. Dorland .2006. Kamus Kedokteran Dorland. . 29th ed.. Philadelphia : W. B. Saunders Company Inc Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
  11. Fernawan, N.S. 2008. Perbedaan Angka Kejadian Skabies di Kamar Padat dan Kamar tidak Padat di Pondok Pesantren As Salaam Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
  12. Flinders D., Schweinitz P.D. 2004. Pediculosis and scabies. American Family Physcian. 69: 349- 50.
  13. Gandahusada S., Ilahude H.D., Pribadi W. (ED). 2000. Parasitologi Kedokteran. Jaakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 264-266.
  14. Granholm J.M. 2005. Scabies prevention and control manual. Michigan Department of Community Health. pp: 29-33.
  15. Habif T.H. 2003. Clinical Dermatology. China: Mosby. pp: 497-505.
  16. Handoko R.P. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 122- 125.
  17. Harahap M. 2008. Penyakit Kulit. Jakarta: Gramedia. p: 100.
  18. Irianto K. 2009. Panduan Praktikum Parasitologi Dasar. Bandung: Yrama Widia. pp: 130-132.
  19. Johnston, Graham. 2005. Scabies: diagnosis and treatment. British Medical Journal. 331:619- 662.
  20. Kresno, S.B. 2007. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. p: 182.
  21. Ma’rufi I., Keman S., Notobroto H.B. 2005. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap prevalensi penyakit scabies studi pada santri di pondok pesantren kabbupaten lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2: 11-18.
  22. Mansjoer A., Savitri R., Setiowulan W., Triyanti K., Wardhani W.I. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. p: 110
  23. McCroskey A.L. 2009. Scabies. Emedicine. 24: 5-6.
  24. Murti, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  25. Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip- Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. p: 146
  26. Price S.A., Stawiski M.A. 2003. Penyakit Lyme dan Infestasi. Dalam: Hartanto H., Maharani D.A., Susi N., Wulansari P. (ed). Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p: 1466.
  27. Sastroasmoro S., Sofyan I. 2004. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa Aksara. pp: 66-70.
  28. Shimizu H. 2007. Shimizu’s Textbook of Dermatology. Hokkaido: Hokkaido Press University. pp: 500-502.
  29. Siregar R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 164-65.
  30. Sudirman T. 2006. Skabies: masalah diagnosis dan pengobatannya. Majalah Kedokteran Damianus. 5: 177.
  31. Sugiyono. 2003. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. pp: 56- 69.
  32. Sungkar S. 2000. Skabies. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.
  33. Tabri F. 2003. Skabies pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Kurniati DD, editor. Infeksi kulit pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp: 62-79
  34. Taufiqurohman, M A. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. The Community Of Self Help Group Forum.
  35. Wolff K. 2003. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. United States: The McGraw-Hill Companies. pp: 869-876.


    1 komentar:

    1. Luuuar biasa, sy bangga punya teman yang pinternya pari purna...., tulisannya sangat berbobot walau masih resume. sy tidak bisa bayangkan kalau berupa buku ajar, semakin mantap, sy tunggu buku ajarnya Pak dokter. Oh ya karnen sdh terbit yang 2011 lho.....

      BalasHapus