2.4.1 Penyakit Karena Kadar Hemoglobin Rendah
Kadar hemoglobin
yang rendah atau kurang dari normal disebut anemia. Anemia merupakan salah satu
kelainan darah yang umum terjadi ketika kadar hemoglobin dalam sel darah
merah terlalu rendah. Anemia bukan suatu
penyakit namun suatu tanda dari proses penyakit. Diagnosa anemia dapat
dilakukan dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, penghitungan jumlah sel darah
merah, dan penentuan nilai hematokrit. Anemia dapat terjadi karena perdarahan,
defisiensi besi, penyakit ginjal, kehamilan, gizi buruk, dan thalassemia
(Proverawati 2011, hh. 1-4) (Bakta 2013, h. 12). Kriteria anemia menurut WHO
tahun 1968, sebagai berikut :
Tabel 2.1 : Kriteria Anemia Menurut WHO
Kriteria
|
Kadar hemoglobin
|
|
Laki-laki dewasa
|
<13 dl="" g="" span="">13>
|
|
Wanita dewasa
|
<12 dl="" g="" span="">12>
|
|
Wanita Hamil
|
<11g dl="" span="">11g>
|
|
Anak usia 6-14
tahun
|
<12g dl="" span="">12g>
|
|
Anak umur 6 bulan-6 tahun
|
<11g dl="" span="">11g>
|
Anemia dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis yaitu :
1. Anemia defisiensi vitamin B12
Anemia defisisiensi besi
disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dari asupan makanan.
Vitamin B12 dapat diperoleh
dari mengkonsumsi daging, unggas, kerang, telur, dan susu. Untuk menyerap
vitamin B12 yang cukup, tubuh membutuhkan protein khusus yang
disebut faktor intrinsik. Kombinasi vitamin B12 dan faktor intrinsik
diserap di usus kecil. Pengobatan
dilakukan tergantung penyebab anemia defisiensi besi. Pengobatan awal dapat
dilakukan dengan suntiakan vitamin B12.
Pencegahan anemia defisiensi vitamin B12 dapat dilakukan dengan
dengan diet seimbang vitamin B12 (Proverawati 2011, hh. 39-44).
2. Anemia defisiensi folat
Anemia defisiensi folat disebabkan oleh kekurangan folat.
Folat atau asam folat diperlukan dalam tubuh untuk pembentukan sel darah merah
dan pertumbuhan. Folat dapat diperoleh dari mengkonsumsi sayuran daun hijau dan
hati. Pada anemia defisiensi folat menyebabkan sel darah merah berbentuk besar
sehingga sering disebut anemia megaloblastik. Pengobatan dapat dilakukan dengan
pemberian folat melalui oral atau intravena. Pencegahan dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi makanan tinggi folat (Proverawati 2011, hh. 45-46).
3. Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi disebabkan oleh kekurangan zat
besi. Kekurangan zat besi dapat menurunkan kadar hemoglobin karena besi
merupakan komponen utama dari hemoglobin. Kekurangan zat besi juga menyebabakan
eritrosit yang diproduksi berukuran kecil (mikrositik), dan warna eritrosit
menjadi pucat (hipokrom). Zat besi diperoleh
dari mengkonsumsi makanan dan daur ulang besi dari sel darah merah. Defisiensi
besi dapat terjadi karena kekurangan asupan zat besi dari makanan, gangguan
penyerapan zat besi, dan kehilangan zat besi kerena pendarahan. Pengobatan
dapat dilakukan dengan mengkonsumsi suplemen besi (ferro sulfat). Pencegahan
dapat dilakukan dengan megkonsumsi zat besi yang cukup (Proverawati 2011, hh.
51-55).
4. Anemia penyakit kronis
Anemia penyakit kronis disebabkan oleh adanya penyakit
kronis (jangka panjang) yang mempengaruhi produksi dan umur sel darah merah.
Gangguan ginjal, peradangan, diabetes, TBC, dan HIV dapat menyebabkan anemia penyakit
kronis. Pengobatan dapat dilakukan dengan mengobati penyakit kronis sehingga
anemia dapat teratasi (Proverawati 2011, hh. 63-64).
5. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan oleh kerusakan dini sel darah
merah. Anemia hemolitik dapat terjadi
karena kelainan dalam sel darah merah (faktor intrinsik) dan kelainan di luar
sel darah merah (faktor ekstrinsik). Faktor intinsik pada anemia hemolitik
adalah adanya kelainan pada protein dalam sel darah merah. Faktor ekstrinsik
pada anemia hemlotik adalah sistem imun abnormal, infeksi, dan obat-obatan
tertentu. Pengobatan dilakukan sesuai dengan penyebab anemia hemolitik seperti
pemberian asam folat, zat besi dan kortikosteroid. Dalam keadaan darurat dapat dilakuakn
tranfusi darah untuk mengatasi anemia jenis ini (Proverawati 2011, hh.
69-72).
6. Anemia aplastik idiopatik
Penyebab anemia aplastik idiopatik belum diketahui secara
pasti namun, cidera pada induk sel darah dapat menyebabkan anemia jenis ini.
Cidera induk sel darah menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah, sel darah
putih, dan trombosit. Pada kasus anemia aplastik ringan dapat dilakuakan dengan
tranfusi darah dan tranfusi trombosit. Pada kasus anemia aplastik berat
pengobatan dapat dilakuakan dengan transplatasi sumsum tulang atau transplatasi
sel induk (Proverawati 2011, hh. 81-82).
7. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah ukuran besar sel darah merah
yang melebihi normal. Anemia megaloblastik secara umum dapat disebabkan oleh
kekurangan asam folat atau Vitamin B12. Beberapa kondisi seperti
mengkonsumsi alkohol, leukimia, dan kemoterapi juga dapat menjadi penyebab
anemia jenis ini (Proverawati 2011, hh. 87-88).
8. Anemia pernisiosa
Anemia pernisiosa disebabkan oleh gangguan penyerapan
vitamin B12 dari saluran pencernaan. Gangguan penyerapan terjadi
karena tubuh tidak mampu membuat faktor intrinsik dalam jumlah cukup. Faktor
intrinsik adalah protein yang diproduksi oleh sel pariental dalam usus untuk
mengikat vitamin B12. Kekurangan faktor intrinsik akan membuat
Vitamin B12 dari makanan tidak terserap sehingga sumsum tulang tidak
dapat memproduksi sel darah merah dalam jumlah normal. Pengobatan dapat
dilakuakn dengan suntikan vitamin B12 untuk memperbaiki kekurangan
vitamin B12 (Proverawati 2011, hh. 91-99).
9. Anemia aplastik sekunder
Anemia aplastik sekunder disebabkan oleh cedera pada sel
induk darah. Sel induk darah membelah dan berubah menjadi sel darah merah, sel
darah putih dan trombosit. Jika sel induk darah cedera, terjadi penurunan semua
jenis sel darah. Cedera pada sel induk darah dapat disebabkan oleh kemoterapi,
racun, dan keturunan. Pengobatan dapat dilakuakn dengan tranfusi darah dan
tranfusi trombosit untuk meringankan gejala anemia jenis ini (Proverawati 2011,
hh. 101-107).
10. Anemia sel sabit
Anemia sel sabit merupakan penyakit keturunan. Anemia sel
sabit disebabkan oleh jenis abnormal
hemoglobin, yaitu hemoglobin S. Disebut hemoglobin S karena distorsi
bentuk sel darah merah, terutama jika kadar oksigen rendah. Sel darah merah
terdistorsi berbentuk separti sabit. Bentuk sel darah merah saperti sabit
menyebabkan sel rapuh dan tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah cukup.
Pengobatan dapat dilakuakn dengan memberikan suplemen asam folat untuk menembah
produksi sel darah merah (Proverawati 2011, hh. 111-115).
11. Thalassemia
Thalassemia merupakan kelainan darah yang diturunkan
melalui keluarga. Thalassemia disebabkan oleh kerusakan gen yang memproduksi
protein dalam sintesis hemoglobin. Terdapat dua jenis Thalassemia yaitu
Thalassemia Alfa dan Thalassemia beta. Thalassemia Alfa tejadi karena protein
globin alfa hilang atau bermutasi. Thalassemia Beta terjadi karena protein globin
beta hilang atau bermutasi. Pengobatan dapat dilakuakn dengan tranfusi darah
dan pemberian suplemen folat (Proverawati 2011, hh. 121-125).
2.4.2 Penyakit Karena Kadar Hemoglobin Tinggi
Kadar
hemoglobin yang tinggi atau lebih dari normal disebut polisitemia. Polisitemia
terjadi ketika kadar hemoglobin pada pria atau wanita melebihi 18 g/dl dan
jumlah eritrosit 7-12 juta/uL. Terdapat
2 jenis polisitemia yaitu :
1. Polisitemia primer
Polisitemia primer adalah suatu keganasan pada sel induk
darah dengan karakteristik peningkatan jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit. Polisitemia primer biasanya terjadi pada penderita usia 40-60
tahun. Polisitemia dapat menyebabkan gangguan pada jantung karena beban
sirkulasi yang tinggi. Perjalanan klinis polisitemia primer adalah sebagai
berikut:
a. Fase eritrositik
Adalah fase dimana diperlukan flebotomi untuk
mengendalikan viskositas darah dalam batas normal.
b.
Fase burn-out
Fase dimana kebutuhan flebotomi berkurang karena terjadi
anemia karena terjadi fobrosis ringan di sumsum
tulang namun trobositosis dan
leukositosis tetap terjadi.
c. Fase mielofibrosis
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinik dan perjalanan
klinik menjadi seperti mielofibrosis dan metaplasia mieloid.
d. Fase terminal
Kematian terjadi karena komplikasi perdarahan/trombosis
(35-50%), mielofibrosis (15% penderita)
dan transformasi menjadi leukimia akut. Pengobatan khusus pada penderita
polisitemia dapat dilakukan dengan:
a. Flebotomi
Tujuan dilakukan flebotomi adalah mempertahankan nilai hematokrit pada batas
normal.
b. Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan dengan tujuan sitoreduksi (Handayani
& Andi 2008, hh. 74-80).
2. Polisitemia sekunder
Polisitemia sekunder terjadi karena hipoksia (kekurangan
oksigen) kronis. Hipoksia menyebabkan ginjal mengeluarkan hormon eritropoitin
dalam jumlah banyak yang mampu merangsang eritropoiesis. Tidak terdapat gejala
pada polisitemia sekunder sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk
menegakkan diagnosa. Penatalaksanaan polisitimia sekunder mencakup penanganan
masalah primer. Apabila penyebab tidak dapat dikoreksi, maka perlu dilakukan
flebotomi untuk menggurangi volume dan kekentalan darah (Handayani & Andi
2008, h. 80).
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi 2010, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik, Rineka Cipta,
Jakarta.
Bakta, Imade 2012, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta.
Chairlain
& Estu Lestari 2011, Pedoman Teknik
Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan, EGC, Jakarta.
Dacie
sir john V & S, M Lewis 1996,
Practical Haematology, Churchill Livingstone, London.
Gandasoebrata,
R 2010, Penuntun Laboratorium Klinik,
cetakan ke-16, Dian rakyat, Jakarta.
Hadayani,
Wiwik & Andi Sulistyo Hariwibowo 2008, Asuhan
Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi, Salemba Medika,
Jakarta.
Hidayat,
Aziz Alimul a 2012, Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data, Salemba
Medika, Jakarta.
Hoffbrand
A,V, Pettit J,E & Moss P,A,H 2012, Kapita
Selekta Hematologi, EGC, Jakarta.
Kee,
Joyce LeFever 2008, Pedoman Pemeriksaan
Laboratorium & Diagnostik, EGC, Jakarta.
Kosasih,
E.N & A.S kosasih 2008, Tafsiran
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik, Karisma publishing group, Tangerang.
Mehta, Atul & Victor Hoffbrand
2008, At a Glance Hematologi,
Erlangga, Jakarta.
Murray,
Robert K, Daryl K Granner, Peter A Mayes & Victor W. Rodwell 2003 , Biokimia Harper, EGC, Jakarta.
Nasir,
ABD, Abdul Munith & M, E Ideputri 2011, Buku
Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Notoatmodjo,
Soekidjo 2005, Metodelogi Penelitian
Kesehatan, Rineka cipta, Jakarta.
Nursalam
2008, Konsep dan Penerapan Metodologi
Penelitian Ilmu Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Pagana,
Kathleen Deska & Timothy J.Pagana 2006, Mosbby’s
Manual of Diagnostic and Laboratory Test, Mosby Elesevier, Inggris.
Proverawati,
Atikah 2011, Anemia dan Anemia Kehamilan,
Nuha Medika, Yogyakarta.
Sacher,
A Ronald & Richard a McPherson 2012, Tinjauan
Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, EGC, Jakarta.
Saryono
2009, Biokimia Respirasi, Nuha Medika,
Yogyakarta.
WHO
1968, Haemoglobin Concentration for The
Diagnostic of Anemia and Assesment of Severity, dilihat 28 februari 2014, www.who.int/umnis/indicators/haemoglobiin.pdf
Yepi,
Hardi Rustam 2010, Struktur Molekul
Protein, dilihat 19 Februari 2014, http://Sciencebiotech.net/struktur-molekul-protein/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar