Dr. Suparyanto, M.Kes
SEKILAS
TENTANG PERTUSIS
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pertusis
atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau “batuk 100 hari”
merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui
adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah kuman gram
(-) Bordetella pertussis.
Di
seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang
dari 5 tahun meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin
terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak
yang belum diimunisasi. Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic
karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa
bagian dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah
mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan
hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi, meskipun
ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan
mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto roentgen, dan
pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan
penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak
menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory
distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.
BAB
II TINJAUAN TEORI
2.1
Pembahasan Tentang Penyakit Pertusis
A.Definisi
Pertussis
artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut
yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak-anak yang tidak
diimunisasi atau pada orang dewasa dengan kekebalan menurun. Istilah pertussis
(batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana
istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu
sebutan untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”.
Pertussis
adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia. Pada orang
dewasa juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau infeksi yang ringan. Prevalensi
pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena adanya imunisasi aktif.
B.Etiologi
Penyebabnya
adalah Bordetella pertusis. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab
pertusis endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia
merupaka satu-satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a
mild pertussis-like illness- juga dapat disebabkan oleh B. parapertussis
(terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B.
bronchiseptica (jarang pada manusia karena merupakan patogen yang lazim pada
binatang-kucing dan binatang pengerat-, kecuali pada manusia dengan gangguan
imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma
klinik berupa batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan,
juga terdapat pada infeksi adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory
Syncitial Virus, parainfluenza virus atau influenza virus, enterovirus dan
mycoplasma.
C.Epidemiologi
Pertussis
adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan
“attack rate” 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa
pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari
penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat.
Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen
adalah anak kurang dari 5 tahun.
Pertusis
terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian,
daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova Scatia
dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata
mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000 pada anak
dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi
4500 kasus sejak tahun 1967. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali
kasusnya karena sudah lebih di galakkan vaksinasi.
Pertusis
adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah
akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi
dari bulan Juli sampai dengan Oktober.Pertusis sangat menular dengan angka
serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang
yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet
yang ditularkan selama batuk.
Dahulu
dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan
perbandingan 0.9:1 .Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan
insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14
tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi
pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-1993.
Tanpa
reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak
yang
lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan.
Sedangkan antibodi dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten
mencegah bayi yang baru lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang
berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal.
D.Patogen
B.
pertussis: kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik dibiak pada
“glycerin-potato-blood agar media (border-gengou)”. Organisme yang didapat
umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur dapat merangsang
pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan
untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif.
Hanya
B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama.
B.pertussis juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol,
hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein
permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan
terhadap sel epitel bersilia saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat
siklase, dan TP menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, factor
dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara dominan menyebabkan cedera
epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah
penyerapan TP.
TP
mempunyai 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada
sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran
enzim. TP akan merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan
mempengaruhi fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi
peradangan saluran napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan
meningkatkan produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada
akhirnya bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia, infeksi sekunder bakteri
lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis
karena apnea dan ventilation perfusion mismatch.
E.Patologi
1.
Organisme
bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor virulen (termasuktoksin)
2.
Ada
bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan
hasil hasil peradangan dalam lumen
bronki. Pada awalnya terjadi hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi
bronkopneumonia dengan nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.
3.
Obstruksi
bronkial dan atelektasis terjadi karena penumpukan sekresi mukus. Dapat pula
timbul bronkiektasi.
4.
Perubahan
patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan
serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya karena adanya anoksia. Pada
hati dapat ditemukan infiltrasi lemak.
E.Manifestasi
klinik
1.
Masa
inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari).
2.
Penyakit
dapat dibagi dalam 3 stadium: (1) kataral; (2) paroksismal; (3) konvalenses
Penyakit
umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
1.
Manifestasi
klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Penderita-penderita
yang berumur 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4C pada semua golongan
umur.
2.
Penyakit
disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama
sakitnya lebih pendek.
3.
Stadium
kataral: 1-2 minggu
Gejala-gejala
infeksi saluran pernafasan bagian atas predominan rinore, “conjuctival
injection”, lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi. Pada stadium
ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat ditetapkan.
Stadium
paroksismal : 2-4 minggu
·
Jumlah
dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi
yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan “whoop” (
udara dihisap secara kuat melalui glotis yang sempit).
·
Mukanya
merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan
distensi vena leher selama serangan.
·
Episode
batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug”
pada saluran nafas menghilang.
·
Pada
stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan
konjungtiva.
·
Emesis
sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai
menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
·
Anak
tampak apatis dan berat badan menurun.
·
Serangan-serangan
dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau
malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih
enak.
·
“Whoop”
dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.
Stadium
Konvalesens : 1-2 minggu
·
Episode
paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi dan
beratnya.
·
Batuk
dapat menetap untuk beberapa bulan.
·
Pemeriksaan
fisik umumnya tidak informatif.
·
Pada
stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan
konjungtiva.
·
Pada
beberapa penderita terjadi ronki difus.
F.Diagnosis
dan Diagnosis banding
·
Pertusis
dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang sangat
muda,adolesens,dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai manifestasi yang
atipis.
·
Riwayat
kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah menolong, tetapi umumnya riwayat
ini negatif pada populasi yang
telah banyak mendapat imunisasi.
·
Batuk
lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik yang
penting.
·
Leukositosis
(20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis absolut khas, pada bayi-bayi
jumlah leukosit tidak dapat menolong
untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis terdapat pula pada banyak
infeksi.
·
Foto
toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema.
·
Diagnostik
spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase
awalpenyakit dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak pada media
Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody staining” dari spesimen faring
dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat.
·
Diagnosis
serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang
serum.
·
ELISA
dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous
hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum
tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon
imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung
terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik
untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi
sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi
pertussis. 4,5
·
Tidak
ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik
untuk menentukan infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
·
Kultur
paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan
pada semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada stadium lanjut
penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan kultur
negatif.
G.Komplikasi
·
Terutama
pada sistem respirasi dan saraf pusat. Pneumonia komplikasi paling sering
terjadi pada 90% kematian pada anak-anak <
style="">B.Pertussis
sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae,
S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
·
TBC
laten dapat juga di aktifer.
·
Atelektasis
dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi
mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
·
Panas
tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
·
Batuk
dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan
dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
·
Sering
terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan
subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura
diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi.
·
Dapat
pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat
disebabkan oleh temperatur tinggi.
·
Kejang-kejang
oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic
hormone (SIADH)”.
Alat
pernapasan
Dapat
terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronchitis, bronkopneumonia,
atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi
emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat”, bronkiektasis,
sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat,
batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial,
pnemutorak.
Alat
pencernaan
Muntah
muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang
mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah
karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk,
stomatitis.
Susunan
saraf pusat
Kejang
dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah.
Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan
otak, koma, ensefalitis, hiponatremi.
Lain
lain Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan
perdarahan subkonjungtiva
2.2 Terapi,Pencegahan dan Pengobatan
A.Terapi
·
Antibiotika:
1.Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dapat
menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata
3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi.
Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis,
mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk
pengobatan pertusis untuk bayi muda. 2. Ampisilin dengan dosis 100
mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis. 3. lain lain : rovamisin, kotromoksazol,
kloramfenikol dan tetrasiklin.
·
Imunoglobulin
Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium
kataralis.
·
Ekspektoransia
dan mukolitik
·
Kodein
diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali.
·
Luminal
sebagai sedative.
·
Oksigen
bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik.
·
Terapi
suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi
·
Betameatsol
dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal,
mengurangi lama whoop.
B.Pencegahan
·
Imunisasi
aktif: Dosis total 12 unit protektif
vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan
toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi).
·
Jika
pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu
berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.
·
Anak-anak
berumu > 7 tahun : tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak permanen oleh
karena menurunnya proteksi selama adolesens ; infeksi pada penderita besar
biasanya ringan tetapi berperansebagai sumber infeksi B.pertussis pada
bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk
mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.
·
Efek
samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti eritema,
indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan , dan sering terjadi panas,
mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif,
ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi
dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan
setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
·
Imunisasi
pertama pertussis ditunda atau dihilangkan : Penyakit panas, kelainan
neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang dll. Riwayat
keluarga adanya kejang, “sudden infant death syndrome (SIDS)” atau reaksi berat
terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi
pertussis. Kontra indikasi untuk
pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari
sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum
imunisasi, menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau
hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5
C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.
·
kontak,
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan
ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis,
peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan
imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal
akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B. pertussis dari saluran
pernafasan, dan mengurangi gejala-gejala penyakit.
·
Orang-orang
yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi
sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan.
Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk
penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis
monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.
C.Pengobatan
·
Eritromisin
: 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari
nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin
biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan terlambat.
·
Suportif
: terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk,
mengatur hidrasi dan nutrisi
·
Oksigen
diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
·
Penghisapan
lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
·
Betametason
dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat
walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
·
Penekan
batuk (“suppressants”) tidak menolong.
D.Prognosis
·
Angka
kematian telah menurun menjadi <10> 10>
·
Kebanyakan
kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru
lain.
·
Sekuele
pernapasan yang lama sesudah infeksi pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi
yang berumur
BAB
III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pertusis
merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian
atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan
batuk lama dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough)
dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel
nekrotik.
Pertusis
sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum
diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan
orang dewasa.
Stadium
penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan
konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, gejala menjadi
lebih jelas justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai
puncaknya pada stadium paroxsismal.
Diagnosa
pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak
dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.
Terapi
yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama
14 hari, dan suportif.
Prognosis
baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat. Kematian biasanya terjadi
karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.
3.2
Saran
Sebagai
tenaga kesehatan harus melakukan deteksi komplikasi penyakit pertusis dan
terjadinya penularan/penyebab terjadinya penyakit menular pertusis,agar dapat
mengurangi angka kematian penderita penyakit pertusis.Dan agar tidak menambah
luas penyakit menular pertusis.
REFERENSI
1. http://www.penyebab dan gejala
penyakit pertusis
2. http://www.pertusis.com
3. http://www.epidemiologiunsri.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar