KRISIS KELUARGA
2.2 Krisis
Keluarga
2.2.1 Pemahaman
tentang Krisis
Kata
“krisis” adalah kata yang sering kita dengar di mana-mana. Krisis moneter
Indonesia, krisis keuangan global, krisis Timur Tengah adalah sebagian istilah
yang sering digunakan akhir-akhir ini. Memang semua orang dan semua institusi
mengalami krisis dalam proses kehidupannya, termasuk juga keluarga.
Krisis keluarga merupakan salah satu dampak
negatif era globalisasi yang cenderung sedang berkecamuk saat ini. Seperti
kondisi keluarga di Barat yang setiap hari semakin mengkhawatirkan. Para
psikolog, sosiolog, dan bahkan para pakar politik turut memberikan perhatian
mereka kepada dampak-dampak akibat krisis keluarga ini. Karena keruntuhan atau
kelemahan keluarga akan memberikan dampak negatif kepada masyarakat dan bangsa.
Karena itu penting bagi kita untuk
mengenal apa itu krisis dalam keluarga, serta bagaimana cara mengatasinya.
2.2.2 Macam – macam krisis dalam keluarga
1. Krisis
Keluarga karena perceraian
Organisassi wanita se-Asia Fasifik(Pan Pacific South East
AsiaWomen’s Asosiation.PPSEAWA) dalam konferensinya yang ke-20 di Kuala Lumpur
Malayasia, menyimpulkan bahwa Kerusakan
yang terjadi dalam keluarga di abad 20 semakin memburuk. Perceraian dan perpisahan
menempati posisi tertinggi. Malah di perkirakan
sekitar 40%-50% generasi
mendatang akan menjadi keluarga yang broken home akibat perceraian orang tuanya
atau mereka yang hanya mempunyai orang
tua tunggal(Single Parent).
Hasil penilitian dari beberapa ahli, seperti, Mc.
Demott. Moorison, Offord dkk, Sugar,Westmen & kalter (Adam & Gullota,
1983:253:254)yaitu bahwa remaja yang orang tuanya bercerai, cenderung
menunjukan ciri-cri: berperilaku nakal, mengalami despresi, melakukan hubungan
seksual secara aktif dan kecenderungan
terhadap obat-obatan terlarang.
2. Krisis
keluarga karena perselingkuhan
Perselingkuhan
yang terjadi antara suami istri
sebenarnya tidak terlepas dari urusan pribadi masing-masing. Perlu di sadari
bahwa dalam perkawinan terdapat dua orang yang mempunyai karakter dan temperamen yang sangat berbeda satu sama lain. Sebagai
hasil pembentukan dari pola asuh orang tua di masa lalu, pengaruh lingkungan,
dan juga unsur genetika ( keturunan).
Di
Amerika Serikat di sebutkan 75% para
suami selingkuh dan 40% para istri juga selingkuh, dalam 5 tahun pertama dari 5
perkawinan, 3 berakhir dengan perceraian. Dalam 3 dekade terakhir ini 70%
perkawinan di AS berakhir dengan perceraian. Melihat angka-angka ini banyak
pria dan wanita memilih hidup bersama tanpa menikah, dan kalau terjadi perpisahan
tidak ada resiko dari segi hukum.
Sementara
itu, di kalangan pria bekerja, di dapatkan data bahwa empat dari lima pria-pria
yang di survei pernah berselingkuh hingga tahapan berhubungan intim
Akibat
perselingkuhan sepanjang tahun 1986 saja di Indonesia, telah tercatat angka
perceraian mencapai angka 2% dari 140.000(2800 perceraian ).
3. Krisis
keluarga karena perkawinan antar agama
Perkawinan
antar agama sering terjadi, khususnya di Negara indonesia, agar perkawinan bisa
berlangsung, maka di lakukan ‘kompromi semu’ dengan jalan misalnya : pada suatu
saat suami ikut/ masuk agama istri dan kawin secara agama istrinya. Dan di saat
yang lain istri/ikut masuk agama suami dan kawin dengan tata cara agama suami dan juga sering di lanjutkan
di kantor Catatan sipil. Namun,
dalam perjalanan perkawinan selanjutnya suami atau istri berbalik
kembali memeluk agama semula yang di anutnya.
Perbedaan
agama dalam perkawinan, dapat merupakan stesor psikososial untuk terjadinya terjadinya berbagai bentuk
konflik (krisis) kejiwaan. Yang pada akhirnya sulit terwujudnya keluarga yang
sehat dan bahagia. (Dadang H. 2006:101 & 103).
4. Krisis Keluarga Karena Perkawinan Antar Warga Negara
Yang
dimaksud dengan perkawinan antara warga Negara adalah perkawinan antar seorang
yang berwarganegara Indonesia (WNI) dengan orang yang berwarna Negara asing.
Selanjutnya Dadang
menyampaikan permasalahan -permasalahan yang timbul akibat perkawinan
antara WNI dan WNA yang berkecenderungan
berdampak krisis dalam keluarga. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Latar belakang social yang
berbeda.
Hukum perkawinan yang
berlaku di negeri asalnya berbeda.
Motif pria WNA.
Wanita WNI lemah dalam
hukum.
Indonesia menganut asas ius
sanguinis partikal.
Motif tindak kejahatan.
5. Krisis
keluarga karena perkawinan Siri (di
bawah tangan )
Belakangan
ini terjadi pergesekan makna suci pernikahan. fenomena ini di tandai dengan
mareknya prosesi pernikahan siri atau nikah di bawah tangan. Meski sah menurut
agama namun pernikahan secara sembunyi-sembunyi tidak ada perlindungan hukum
perkawinan(tidak ada buku nikah).
Dampak
negatif dari pernikahan sirih dapat menimbulkan krisis identitas keluarga,
terutama yang menyangkut hak-hak kaum wanitanya. Disamping itu pengakuan yang
pernah dan utuh bagi sang anak dan keturunannya.
6. Krisis
keluarga karena perkawinan mengalami penyimpangan seksual
Penyimpangan
social merupakan perilaku abnormal yang terkait dengan pemuasan seksualnya.
Yang berdampak kepada perilaku suami (maladjusted), karena sering merintangi
penyesuaian personal dan sosial.
Tipe-tipe penyimpangan
seksual
v
Sadisme, adalah cara
seseorang untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan menghukum atau menyakiti
lawan jenisnya.
v
Masochisme, adalah
sebaliknya dari sadisme yaitu cara memperoleh kepuasan sex yang dilakukan
seseorang melalui hukuman atau penyiksaan dari lawan jenisnya.
v
Homosex (pria dengan
pria),dan lesbiansme (wanita dengan wanita), merupakan masalah identitas social
di mana seseorang mencintai atau menyenangi orang lain yang jenis kelaminnya
sama.
Secara
pesikologis , perilaku homo sex, tersebut merupakan hasil belajar melalui
conditioning atau pembiasan pada awal kehidupan, atau terjadi sebagai akibat
dari kekeliruan hubungan dalam keluarga
atau perlakuan orang tua patologis.
2.2.3.
Reaksi
keluarga dalam menghadapi Krisis Keluarga
Dalam hal menghadapi krisis keluarga, reaksi anggota
keluarga bisa berbeda-beda, yang sering menimbulkan dinamika yang baru, atau
bahkan krisis susulan.
Bisa juga anggota keluarga memiliki reaksi yang sama
dalam menghadapi krisis, baik secara negatif maupun secara positif.
Beberapa contoh reaksi yang muncul dalam mengahadapi
krisis keluarga:
a. Reaksi
negatif yang umum
§
Menyalahkan atau mencari kambing hitam, mungkin pada
diri sendiri, kepada anggota keluarga yang lain, orang luar atau bahkan kepada
Allah
§
Menyangkal: Merasa tidak ada masalah, atau
berpura-pura tidak ada masalah, mungkin karena takut dianggap gagal atau jelek
oleh orang lain
§
Mengeraskan hati: Mengakui keberadaan masalah, namun
berusaha menguatkan diri dengan cara yang negatif, bahkan menolak untuk mencari
pertolongan ketika tidak dapat menghadapi krisis tersebut
§
Melupakan masalah: Mengakui keberadaan masalah dan
kemudian berusaha untuk menghilangkannya dari pikiran
§
Mengabaikan atau meremehkan masalah: Mengakui keberadaan
masalah, namun mengecilkan arti atau pengaruhnya dalam hidup.
§
Melarikan diri dari masalah: Beberapa orang lari dari
masalah dengan melakukan hal-hal tertentu, yang sering membawa masalah yang
baru. Beberapa lagi lari ke fantasi atau penyakit. Beberapa orang yang lain
justru berusaha menjauhkan diri dari orang-orang lain.
§
Bertumpu pada satu reaksi tertentu. Beberapa orang
hanya memiliki reaksi emosionil yang terbatas, misalnya ketika ia takut, sedih,
khawatir, kecewa atau frustasi, yang menjadi reaksi hanyalah marah.
b. Reaksi yang
positif
§
Mengakui keberadaan krisis, dampak dan emosi-emosi
yang ditimbulkan oleh krisis tersebut: Terbuka di hadapan diri sendiri, orang
lain dan Tuhan.
§
Secara obyektif berusaha memahami krisis tersebut dan
memisahkan mana yang tanggung jawab pribadi, mana yang tanggung jawab bersama,
mana hal yang berada di dalam kendali dan di luar kendali
§
Secara realistis dan bertahap mencari jalan keluar
dari masalah yang sedang dihadapi
§
Belajar dan berusaha untuk fleksibel dan beradaptasi
dengan perubahan yang ada.
§
Berkomunikasi: Mencari dukungan dan pertolongan dari
luar, apalagi untuk hal-hal yang di luar kemampuan diri
2.2.4 Faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi Krisis
Keluarga
Ada beberapa hal yang mempengaruhi reaksi-reaksi tersebut, antara lain:
Tingkat kedewasaan orang: yang berhubungan dengan
keterampilannya mengatasi emosi dan tekanan
Pemahaman tentang krisis itu sendiri: bagaimana
seseorang melihat krisis
Pengalaman selama ini ketika menghadapi krisis:
bagaimana keberhasilan atau kegagalannya selama ini ketika menghadapi krisis,
yang akan mempengaruhi baik keterampilannya maupun kepercayaan dirinya.
Keterampilan dalam memecahkan masalah: yaitu kemampuan
mencari jalan keluar dari masalah yang sedang dihadapi
Adanya sumber daya yang mendukung: misalnya pelatihan,
konseling, teman-teman, buku-buku dll.
2.2.5 Langkah-langkah dalam menghadapi Krisis keluarga
Ada beberapa langkah yang secara umum dilakukan agar
dapat menangani krisis dalam keluarga secara maksimal. Langkah-langkah ini
berlaku secara umum dan perlu diketahui baik oleh mereka yang sedang mengalami
krisis, maupun orang yang ingin menolong keluarga yang sedang dilanda krisis.
Langkah-langkah ini juga hanya bersifat panduan, dan tidak harus terjadi secara
berurutan. Langkah-langkah dalam menghadapi krisis keluarga antara lain:
1. Pengakuan
dan Pengenalan akan krisis
Penting bagi
seluruh keluarga untuk secara bersama-sama mengetahui keberadaan krisis. Sangat
berat bagi anggota keluarga yang mau keluar dari krisis, tapi ada anggota lain
yang tidak peduli, tidak tahu, atau menyangkal keberadaan krisis. Keluarga juga
perlu seobyektif mungkin untuk mengenali apa sebenarnya yang menjadi sumber
krisis tersebut. Dan bukan untuk saling menyalahkan, namun lebih ke arah mencari
sebab-sebab dari krisis tersebut.
2. Mencari
dukungan
Keluarga
juga serealistis mungkin mencari dukungan dari luar. Ada beberapa alasan
seseorang membutuhkan dukungan dari luar:
Kondisi krisis didefinisikan sebagai kondisi yang
dialami yang tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang biasa dilakukan.
Artinya memang ada masalah dalam mengatasi kondisi yang terjadi karena ada
sesuatu yang baru terjadi, dan mungkin membutuhkan orang lain untuk bisa keluar
dari situasi yang baru ini.
Keluarga yang sedang berada di dalam krisis,
kemungkinan besar tidak bisa melihat secara obyektif apa yang menjadi masalah
maupun sumber masalah. Beberapa anggota keluarga mungkin terlalu stress dan
tegang untuk berpikir secara jernih. Beberapa yang lain mungkin lebih terfokus dalam
menyalahkan dan bukan mencari jalan keluar. Mungkin ada yang lebih tertarik
untuk menyelamatkan diri sendiri, dan mengabaikan kepentingan keluarga.
Karenanya penting agar ada orang luar yang dapat melihat situasi dengan lebih
jernih.
Dukungan juga dibutuhkan karena kemungkinan seseorang
yang sedang mengalami masalah sedang menderita tekanan batin dan emosional yang
besar. Mungkin akan membutuhkan orang lain yang bisa menjadi tempat mencurahkan
hati dan mengeluarkan uneg-uneg atau apa yang dirasakan. Meskipun juga perlu
berhati-hati untuk melibatkan orang luar dalam masalah keluarga. Karena
terkadang keberadaan orang luar justru malah menambah masalah. Atau mereka
sebenarnya tidak kompeten untuk membantu. Atau masalah yang terjadi terlalu
sensitif untuk diketahui oleh orang luar. Karena itulah penting bagi anggota
keluarga untuk memiliki komunitas yang aman, dan terlebih lagi mau berdoa
bersama-sama untuk menghadapi masalah.
3. Melihat
prioritas tindakan
Sering
ketika ada masalah atau krisis terjadi ada tindakan yang harus diambil, dan hal
itu harus terjadi dalam waktu yang singkat atau mendesak. Jika seseorang belum
mengenali masalahnya secara obyektif, maka akan kesulitan untuk mengambil
keputusan. Ada beberapa hal yang harus dicermati:
·
Periksa mana yang bersifat darurat
Ada hal-hal
yang harus ditangani sedini mungkin dan kalau tidak terjadi dapat mengakibatkan
krisis yang semakin berkepanjangan. Misalnya ada anggota keluarga yang sedang
depresi berat dan sedang merencanakan bunuh diri. Dalam hal ini anggota
keluarga yang lain mungkin harus meninggalkan semua pekerjaan dan mencari
solusi untuk masalah ini.
·
Periksa hal-hal yang prinsipil atau dianggap prinsipil
yang tidak boleh diganggu gugat.
Ketika
masalah terjadi, sering ada rambu-rambu yang (menurut seseorang) tidak boleh
dilewati, atau ada juga kebiasaan (ritual) yang harus dilakukan. Misalnya ada
kehamilan di luar nikah, dan orang tua berprinsip : tidak boleh menikah dengan
orang tidak seiman. Atau ada masalah keuangan, dan ada yang berprinsip : tidak boleh
rumah yang ditempati ini dijual, karena ini warisan, dll. Sering hal-hal yang
dianggap prinsipil akan menjadi sumber pertengkaran di dalam menghadapi
masalah. Penting bagi seseorang untuk merumuskan mana yang prinsipil dan mana
yang tidak.
·
Periksa mana yang bersifat sementara atau berlangsung
lama/seterusnya.
Perlu
melihat apakah masalah yang sedang terjadi bersifat sementara, atau berlangsung
terus. Tindakan yang harus diambil pun tentu akan berbeda. Jika terjadi krisis
karena kepala keluarga meninggal, tentu kita tidak bisa mengharapkan bahwa
almarhum akan memenuhi kebutuhan keluarga seterusnya (walau mungkin ada
pensiun). Tapi jika krisis yang terjadi adalah karena seorang remaja yang
sedang kehilangan kepercayaan diri, tentu harus disikapi dengan cara yang
berbeda.
4. Mencari
alternatif solusi atau pilihan-pilihan
Sering
mereka yang sedang mengalami krisis terpaku dengan solusi tertentu, mungkin
yang berasal dari pengalaman pribadi (dulu), atau berdasarkan saran orang lain
yang pernah mengalami peristiwa yang mirip atau serupa. Namun yang sering
terjadi krisis menuntut perubahan yang berbeda, karena ini merupakan masalah
yang tidak bisa ditanggulangi oleh cara-cara biasa. Dalam hal ini memang
seseorang diminta untuk bersikap lebih kreatif, terbuka pada ide-ide baru, dan
mau memberi waktu untuk memeriksa pilihan-pilihan yang dimiliki.
Dalam hal
ini perlu anggota keluarga duduk bersama dan membicarakan pilihan-pilihan dan
alternatif solusi yang ditawarkan. Tidak semua pilihan itu akan diterima oleh
semua pihak. Karenanya penting untuk berkepala dingin dan berdiskusi dengan
sehat agar dapat melihat pilihan-pilihan yang ada dengan lebih sehat.
5. Membuat
perubahan secara fleksibel
Krisis
terjadi karena ada perubahan dalam situasi yang tidak tertanggulangi, dan biasanya
menuntut perubahan dalam kehidupan sebelum krisis itu bisa tertangani. Artinya
krisis memang menuntut perubahan. Namun dalam melakukan perubahan seseorang
perlu melakukannya dengan cara yang sehat.
6. Fokus dalam
memecahkan masalah
7. Membangun
keluarga yang tahan krisis
Membangun
keluarga yang tahan krisis dimulai dari membangun karakter orang-orang di dalam
keluarga, serta mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik bersama-sama. Lewat
karakter dan kebiasaan yang baik inilah, keterampilan menghadapi krisis
dibangun.
Berikut
adalah beberapa keterampilan dan kebiasaan baik yang perlu dibangun dalam
keluarga. Ini adalah hal-hal yang penting dimiliki keluarga yang sehat :
Ø
Memiliki jalur komunikasi yang baik
Perlu
dibiasakan agar tiap anggota keluarga bisa terbuka satu sama lain, dan bisa
berkomunikasi dengan cara-cara yang baik satu sama lain. Riset mengatakan bahwa
hal yang paling merusak keluarga adalah komunikasi yang tidak sehat.
Ø
Memiliki kebersamaan
Perlu ada
kebersamaan dalam nilai, tujuan dan interaksi satu sama lain. Ini dibangun
dengan melakukan kegiatan bersama-sama: bermain bersama, belajar bersama.
Ø
Memiliki komunitas pendukung
Artinya
memiliki jaringan dan sumber daya yang lain di luar keluarga. Ketika mengalami
krisis, maka dukungan dari orang-orang yang yang terpercaya akan memberikan
kontribusi yang besar dalam menghadapi krisis.
Ø
Fleksibel dan bisa beradaptasi
Yang
ditekankan disini adalah keterampilan untuk berubah dan menghadapi perubahan.
Keluarga akan melewati tahap-tahap dan masalah tertentu yang menuntut
perubahan. Ketika memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan itu,
keluarga akan dapat menghadapi krisis dengan lebih baik.
Ø
Bertumbuh dan belajar
Di sini
adalah kemampuan untuk mempelajari hal-hal yang baru, atau mengambil hikmah
dari peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi.
Ø
Memiliki keterampilan menghadapi stress/tekanan
Apa yang
keluarga lakukan untuk melepaskan atau melewati masa-masa yang penuh tekanan :
Memiliki keterampilan memecahkan masalah
Kreativitas
dan kemampuan untuk secara sehat dan realistis memecahkan masalah yang sedang
mengganggu
Memiliki sikap yang positif dalam menghadapi kegagalan
Banyak
krisis yang ditimbulkan oleh kegagalan atau kesalahan dari anggota keluarga
sendiri. Bagaimana kebiasaan keluarga menghadapi kegagalan atau kesalahan akan
mempengaruhi saat keluarga dilanda krisis.
DAFTAR PUSTAKA
- Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. “Ilmu Perilaku Kesehatan”. Jakarta. Rineka Cipta.
- Effendy, Nasrul. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
- Ekasari, Mia Fatma, dkk. 2008. Keperawatan Komunitas Upaya Memandirikan Masyarakat untuk Hidup Sehat. Jakarta: Trans Info Media.
- Go Nursing. 2008. Keperawatan Keluarga Sebuah Pengantar. http://ilmukeperawatan.wordpress.com/2008/04/07/keperawatan-keluarga-sebuah-pengantar/.
- Slamet, Juli Soemirat. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Friedman, M. M. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek.(Family nursing teori and practice). Edisi 3. Alih bahasa Ina debora R. L. Jakarta: EGC
- Tri Kurniawati, Irma. 2008. “ Gambaran Pemanfaatan-Literatur”. www.lontar.ui.ac.id.
- http://andhablog.blogspot.com/2009/04/perilaku-sakit.html
- (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3747/1/fkm-juanita5.pdf)
- http://www.scribd.com/doc/75657031/DINAMIKA-KELUARGA
- http://hikmatpembaharuan.wordpress.com/
- http://rizkipkip.blogspot.com/2013/05/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html
- http://g00dlucky.blogspot.com/2013/04/perilaku-pencarian-pelayanan-kesehatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar