KONSEP
MODEL HILDEGARD PEPLAU
Menurut
Peplau, keperawatan adalah terapeutik yaitu satu seni menyembuhkan, menolong
individu yang sakit, atau membutuhkan pelayanan kesehatan. Keperawatan dapat
dipandang sebagai satu proses interpersonal karena melibatkan interaksi antara
dua atau lebih individu dengan tujuan yang sama. Peplau memandang keperawatan
sebagai kekuatan yang matang dan
instrumen yang mendidik. Peplau percaya bahwa keperawatan adalah hasil
pengalaman belajar mengenai diri sendiri dan orang lain yang terlibat dalam
hubungan interpersonal - terapeutik.
Konsep
ini didukung oleh Genevieve Burton (1950) penulis lain tentang keperawatan
mengatakan, tingkahlaku orang lain harus dimengerti agar dapat mengerti diri
sendiri secara jelas. Orang-orang yang tersentuh dengan diri sendiri akan lebih
sadar terhadap berbagai ragam jenis reaksi bujukan individu yang lain. Peplau
mengembangankan modelnya dengan memerinci konsep struktural dari proses antar
personal disinilah letak fase hubungan perawat-klien (nurse patient
reaetionship).
1.
Hubungan terapeutik menurut Hildegard Peplau
Hubungan
terapeutik berbeda dari hubungan sosial atau hubungan intim dalam banyak hal
karena hubungan terapeutik berfokus pada kebutuhan pengalaman, perasaan, dan
ide klien. Dalam hubungan ini, area kerja disepakati dan hasil akhir dievaluasi
secara berkesinambungan. Perawat mengunakan ketrampilan komunikasi, kekuatan
personal, dan pemahaman perilaku manusia untuk interaksi dengan klien. Dalam
hubunngan terapeutik jelas parameternya adalah berfokus pada kebutuhan klien
bukan kebutuhan perawat. Perawat tidak perlu khawatir apakah klien menyukai
atau bahkan berterima kasih kepada perawat. Hal ini merupakan tanda bahwa
perawat berfokus pada kebutuhan untuk disukai atau dibutuhkan. Perawat harus
berusaha agar hubungan terapeutik tidak berkembang menjadi hubungan yang lebih
sosial. Perawat harus secara konstan berfokus pada kebutuhan klien, bukan
kebutuhan dirinya sendiri.
Tingkat
kesadaran perawat bisa menguntungkan atau merugikan hubungan terapeutik,
misalnya jika perawat merasa gugup dengan klien. Hubungan tersebut lebih
bersifat sosial karena hubungan yang bersifat superfisial lebih aman. Apabila
perawat menyadari ketakutannya, kekuatan itu dapat didiskusikan dan dihilangkan
dengan bantuan pembimbing perawat tersebut. Hal ini membantu terbinanya
hubungan yang lebih terapeutik ( Sheila
L Videbeck, 2008). Peplau menjelaskan tentang empat fase hubungan terapeutik
yang saling berkaitan yaitu, orientasi, identifikasi, eksploitasi, dan resolusi. Setiap fase diperlukan peran
yang berbeda sesuai dengan kebutuhan klien (Asmadi, 2005)
2.
Fase hubungan terapeutik menurut Hildegard Peplau
a.
Orientasi
Pada
fase awal, orientasi perawat dan klien bertindak sebagai dua individu yang
belum mengenal. Selama fase orientasi, klien merupakan seseorang yang
memerlukan bantuan professional dan perawat berperan membantu klien mengenali
dan memahami masalahnya serta menetukan apa yang klien perlukan saat itu.
Namun
kebutuhan ini tidak dapat dengan mudah diidentifikasi atau dipahami oleh
individu-individu yang terlibat. Ini sangat penting bahwa perawat bekerja sama
dengan pasien dan keluarga dalam menganalisis situasi sehingga mereka
bersama-sama dapat mengenali, memperjelas, dan mendefinisikan masalah yang ada.
Dengan
saling menjelaskan dan mendefinisikan masalah dalam fase orientasi, pasien
dapat mengarahkan energi yang terakumulasi dari kecemasan kebutuhan yang tidak
terpenuhi untuk lebih konstruktif berhadapan dengan masalah yang diajukan.
Hubungan didirikan dan terus diperkuat sementara kekhawatiran sedang
diidentifikasi.
Saat
pasien dan keluarga berbicara dengan perawat keputusan bersama perlu dibuat
tentang jenis layanan professional apa yang harus digunakan.
Perawat
sebagai narasumber, dapat bekerja dengan pasien dan keluarga. Sebagai
alternatif perawat membuat kesepakatan bersama dari semua pihak yang terlibat
lihat keluarga sebagai sumber lain seperti psikolog, psikiater, atau pekerja
sosial. Pada tahap orientasi perawat, pasien, dan keluarga merencanakan apa
jenis layanan yang dibutuhkan.
Fase
orientasi secara langsung dipengaruhi oleh sikap pasien dan perawat tentang
memberi atau menerima bantuan. Oleh karena itu, dalam tahap awal perawat perlu
menyadari reaksi diri kepada pasien. Perawatan adalah proses interpersonal,
baik pasien dan perawat memiliki bagian yang sama penting dalam interaksi
terapeutik.
Hal
ini dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan terkait dengan kebutuhan yang
dirasakan dan rasa takut yang tidak diketahui. Penurunan ketegangan dan
kecemasan mencegah masalah lain yang timbul sebagai akibat dari depresi.
Situasi stres diidentifikasi melalui interaksi terapeutik. Sangat penting bahwa
pasien mengenali dan mulai bekerja melalui apa yang dirasakan terkait dengan
penyebab penyakitnya.
Pada
akhir fase orientasi perawat dan klien
bersama-sama mengidentifikasi adanya serta menumbuhkan rasa saling
percaya sehingga keduannya siap untuk melangkah ke fase berikutnya ( Asmadi,
2005).
1.
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam fase orientasi
a).
Kontrak perawat – klien
Walaupun
banyak klien memiliki pengalaman sebelumnya di sistem kesehatan jiwa, penting
bagi perawat untuk sekali lagi menjelaskan tanggung jawab perawat dan klien.
Tangung jawab ini pada awalnya harus disepakati dalam kontrak informal atau
verbal. Apabila kontrak tertulis diperlukan klien dimasa lalu atau jika klien
lupa kontrak verbal yang telah disepakati, kontrak tertulis mungkin tepat
dilakukan. Kontrak tersebut harus berisi :
1)
Waktu,
tempat, dan lama sesi pertemuan.
2)
Kapan
sesi pertemuan berakhir.
3)
Siapa
yang terlibat dalam rencana terapi.
4)
Tangung
jawab klien (tiba tepat waktu, selesai tepat waktu).
5)
Tangung
jawab perawat (tiba tepat waktu, selesai tepat waktu, menjaga kerahasiaan
setiap waktu, mengevaluasi kemajuan klien,dan mendokumentasikan sesi
pertemuan).
b).
Kerahasiaan
Klien
dewasa dapat memutuskan anggota keluarga yang dapat dilibatkan dalam terapi dan
dapat memiliki akses informasi klinis jika ada. Idealnya, individu yang dekat
dengan klien dan bertangung jawab untuk perawatan klien yang dilibatkan. Akan
tetapi, klien memutuskan siapa yang akan dilibatkan, agar klien merasa aman dan
batasan harus jelas.
Informasi
tentang siapa yang memiliki akses ke data pengkajian klien dan evaluasi
kemajuan klien harus disampaikan kepada klien dengan jelas. Klien harus
diberitahu bahwa tim kesehatan jiwa saling berbagi informasi yang tepat untuk
memberi perawatan yang konsisten dan
anggota keluarga dapat diberitahu hanya jika klien mengizinkan.
b.
Identifikasi
Pada
fase ini klien memberikan respon atau
mengidentifikasi persoalan yang dihadapi
bersama orang yang dianggap memahami masalahnya. Respon setiap klien berbeda
satu sama lain. Disini perawat melakukan eksploitasi perasaan dan membantu
klien menghadapi masalah yang dirasakan sebagai pengalaman yang mengorietasi
ulang masalahnya dan menguatkan kekuatan positif pada pribadi klien serta
memberi kepuasan yang diperlukan .
Selama
fase identifikasi, klien diharapkan
mulai memiliki perasaan terlibat dan
mulai memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah dengan mengurangi rasa tidak
berdaya dan putus asa. Upaya ini akan membuat sikap positif kepada diri klien
guna melaju ke fase selanjutnya.
Bagian
pengalaman dari klien dan perawat akan memiliki titik tengah apa harapan mereka
selama proses interpersonal. Seperti disebutkan dalam fase orientasi, sikap
awal dari pasien dan perawat sangat penting dalam membangun hubungan kerja
untuk mengidentifikasi masalah dan memutuskan bantuan yang tepat. Persepsi dan
harapan klien dan perawat dalam fase identifikasi lebih kompleks dari pada fase
sebelumnya.
c.
Eksploitasi
Pada
fase ini, perawat memberi layanan keperawatan berdasarkan kebutuhan klien. Disini, masing-masing pihak
mulai merasa menjadi bagian integral dari proses interpersonal. Selama fase
eksploitasi klien mengambil secara penuh nilai yang ditawarkan kepadanya
melalui sebuah hubungan (Asmadi, 2005). Fase ini merupakan inti hubungan dalam
proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam memberikan
gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya.
Prinsip
tidakan pada fase ini adalah eksploitasi atau menggali, memahami keadaan klien,
dan mencegah meluasnya masalah. Perawat
mendorong klien untuk menggali dan mengungkapkan perasaan, emosi, pikiran serta
sikapnya tanpa paksaan dan mempertahankan suasana terapeutik yang mendukung. Melalui
penentuan nasib sendiri, pasien semakin mengembangkan tanggung jawab untuk
dirinya sendiri. Kepercayaan pada potensi, dan penyesuaian menuju kemandirian
dan kemerdekaan. Pasien-pasien ini realistis mulai membangun tujuan mereka
sendiri terhadap status kesehatan.
Mereka
berjuang untuk mencapai pola atau arah hidup mereka kepada kesehatan. Hal ini
dicapai dengan menjadi produktif, dengan percaya dan tergantung pada kemampuan
mereka sendiri. Akibatnya, kepribadian mereka terus terbentuk, mereka
mengembangkan sumber-sumber kekuatan batin yang menghadapi masalah baru atau
tantangan. Klien mungkin dalam peran dependen sementara kebutuhan simultan
untuk kemerdekaan. Ada berbagai penyebab dapat memicu timbulnya
ketidakseimbangan psikologis ini. Klien akan terombang-ambing dan akan muncul
perasaan bingung dan cemas. Dalam merawat pasien yang berfluktuasi antara
ketergantungan dan kemandirian, perawat harus terlibat dengan perilaku tertentu
untuk menangani masalah inkonsistensi komposit.
Pada
fase ini, perawat juga dituntut menguasai keterampilan berkomunikasi secara
terapeutik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa fase eksploitasi merupakan
fase pemberian bantuan kepada klien sebagai langkah pemecahan masalah. Jika
fase ini berhasil, proses interpersonal akan berlanjut ke fase akhir, yaitu
fase resolusi.
a).
Tugas khusus perawat dalam fase ekspoitasi
1)
Mempertahankan
hubungan
2)
Mengumpulkan
lebih banyak data
3)
Mengekspoitasi
persepsi realitas
4)
Mengembangkan
mekanisme koping positif
5)
Meningkatkan
persepsi diri positif
6)
Mendorong
verbalisasi perasaaan
7)
Memfasilitasi
perubahan perilaku
8)
Mengatasi
resistens
9)
Mengevaluasi
kemajuan dan mendefinisikan kembali tujuan jika tepat
10) Memberi kesempatan klien
untuk mempraktikkan perilaku baru
11) Meningkatkan
kemandirian (Sheila L Videbeck, 2008).
d.
Resolusi
Pada
fase resolusi, tujuan bersama antara perawat dan klien sudah sampai pada tahap
akhir dan keduanya siap mengakhiri hubungan terapeutik yang selama ini
terjalin. Fase resolusi terkadang menjadi fase yang sulit bagi kedua belah
pihak sebab disini dapat terjadi peningkatan kecemasan dan ketegangan jika ada
hal-hal yang belum terselesaikan pada masing-masing fase. Indikator
keberhasilan untuk fase ini adalah jika klien sudah mampu mandiri dan lepas dari
bantuan perawat. Selanjutnya, baik perawat maupun klien akan menjadi individu
yang matang dan lebih berpengalaman (Asmadi, 2005).
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Arikunto,
Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta :
Jakarta.
2.
Asmadi,
2008. Konsep Dasar Keperawatan. EGC :
Jakarta.
3.
Carpeniti,
L,J, 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawata. EGC : Jakarta.
4.
Gail
W, Stuart, 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa,
Edisi 5. EGC : Jakarta.
5.
Gazalba,
Sidi. 2007. Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Bhatara : Jakarta.
6.
Haryanto,
2007. Konsep Dasar Keperawatan dengan Pemetaaan Konsep (Concept Mapping). Salemba Medika
: Jakarta.
7.
Herdman,
T. Helther, 2009. NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. EGC : Jakarta.
8.
Hidayat,
A.Alimul Aziz, 2006. Pengantar Konsep
Dasar Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
9.
Irawati,
Dewi, 2011. Kualitas perawat di Indonesia buruk.
http://www.wartakotalive.com/mobile/detil/70944.
Diakses 12 April 2012.
10. Keliat, Budi Anna,
2011. Manajemen Keperawatan Psikososial & Kader Kesehatan Jiwa CMHN (
Intermediate Course ). EGC : Jakarta.
11. Keliat, Budi Anna,
2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa
CMHN ( Intermediate
Course). EGC : Jakarta.
12. Keliat, Budi Anna,
2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, edisi 2. EGC : Jakarta.
13. Nettina, Sandra M,
2002. Pedoman Praktik Keperawatan. EGC : Jakarta.
14. Notoatmodjo,
Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta : Jakarta.
15. Notoatmodjo,
Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.
16. Nursalam, 2009.
Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta.
17. Potter, Perry, 2011.
Fundamental Keperawatan, Edisi . EGC :
Jakarta.
18. Riyadi, Sujono dan
Riyadi, Teguh, 2009. Asuhan Keperawatan
Jiwa. Graha Ilmu : Jakarta.
19. Riyanto, Agus, 2010.
Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Nuha Offset : Yogjakarta.
20. Santosa, Singgih,
2012. Aplikasi SPSS pada Statistik Non Parametrik. PT Elex Media Komputindo :
Jakarta.
21. Soesanto, Wibisono,
2009. Biostatistik Penelitian Kesehatan (spss 16 for windows). Perc. Duatujuh :
Surabaya.
22. Surajiyo, 2006. Dasar
Dasar Logika. Bumi Aksara : Jakarta.
23. Videbeck, Sheila L,
2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC : Jakarta.
24. Wiracahyo, 2011,
Rata-rata 1000 orang di JATIM sakit jiwa.
http://www.informasijatim.com/2011/10/rata-rata-1000-orang-di-jatim-sakit.html.
Diakses 12 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar