SEKILAS
TENTANG STRESS
1.
Pengertian stress
Istilah
stress secara historis telah lama digunakan untuk menjelaskan suatu tuntutan
untuk beradaptasi dari seseorang, ataupun reaksi seseorang terhadap tuntutan
tersebut. Menurut H. Handoko, stress adalah suatu kondisi ketegangan yang
mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang (Luk Lukaningsih,
2011 : 69).
Selye
(1936) telah menggambarkan bahwa stress adalah suatu sindrom biologik atau
badaniah. Selye menekankan bahwa stress merupakan suatu reaksi penyesuaian diri
suatu sindrom penyesuaian umum terhadap rangsangan yang berbeda-beda (Luk
Lukaningsih, 2011 : 70).
Pandangan
dari Patel (1996), stress merupakan reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang
bisa disebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya ketika manusia menghadapi
tantangan-tantangan (chalenge) yang penting, ketika dihadapkan pada ancaman
(threat), atau ketika harus berusaha mengatasi harapan-harapan yang tidak
realistis dari lingkungannya (Nasir, 2011 : 75).
Andrew
M. Colman (2001) menjelaskan bahwa stress psikologik dan fisik merupakan
ketegangan yang disebabkan oleh fisik, emosi, sosial, ekonomi, pekerjaan atau
keadaan, peristiwa, atau pengalaman yang sulit untuk mengelola atau bertahan
(Nasir, 2011 : 75).
Jadi,
stress adalah suatu reaksi yang timbul dari seseorang akibat suatu kondisi
ketegangan sehingga mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.
2.
Penyebab stress
Stresor
(Patel, 1996) adalah faktor-faktor dalam kehidupan manusia yang mengakibatkan
terjadinya respon stress. Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari
kondisi fisik, psikologis, maupun sosial juga muncul pada situasi kerja,
dirumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya (Nasir, 2011: 79).
Brantley
(1988) dalam Nasir (2011: 79) secara garis besar mengelompokkan stresor menjadi
dua, yaitu :
a.
Stresor mayor
Berupa
major live events yang meliputi peristiwa kematian orang yang disayangi, masuk
sekolah untuk pertama kali, dan perpisahan.
b.
Stresor minor
Biasanya
berawal dari stimulus tentang masalah hidup sehari-hari, misalnya
ketidaksenangan emosional terhadap hal-hal tertentu sehingga menyebabkan
munculnya stress
Menurut
Luk Lukaningsih (2011 : 76-78) terdapat beberapa sumber dan macam-macam stresor
antara lain sebagai berikut :
a.
Kondisi biologik
Berbagai
penyakit infeksi, trauma fisik dengan kerusakan organ biologik, mal nutrisi,
kelelahan fisik, kekacauan fungsi biologik yang continue.
b.
Kondisi psikologik
1)
Berbagai
konflik dan frustasi yang berhubungan dengan kehidupan modern
2)
Berbagai
kondisi yang mengakibatkan sikap atau perasaan rendah diri (self devaluation)
seperti kegagalan mencapai sesuatu yang sangat di idam-idamkan
3)
Berbagai
keadaan kehilangan seperti posisi, keuangan, kawan, atau pasangan hidup yang
sangat dicintai
4)
Berbagai
kondisi kekurangan yang dihayati sebagai sesuatu cacat yang sangat menentukan
seperti penampilan fisik, jenis kelamin, usia, intelegensi, dan lain-lain
5)
Berbagai
kondisi perasaan bersalah terutama yang menyangkut kode moral etika yang
dijunjung tinggi tetapi gagal dilaksanakan.
c.
Kondisi sosio kultural
1)
Berbagai
fluktuasi ekonomi dan segala akibatnya (menciutkan anggaran rumah tangga,
pengangguran, dan lain-lain)
2)
Perceraian,
keretakan rumah tangga akibat konflik, kekecewaan dan sebagainya
3)
Persaingan
yang keras dan tidak sehat
4)
Diskriminasi
dan segala macam keterkaitannya akan membawa pengaruh yang menghambat
perkembangan individu dan kelompok
5)
Perubahan
sosial yang cepat apabila tidak diimbangi etika dan moral konvensional yang
memadai akan terasa ancaman. Dalam kondisi terburuk nilai materialistik akan
mendominasi nilai moral spiritual yang akan menimbulkan benturan konflik yang
mungkin sebagian terungkap, sedangkan sebagian lainnya menjadi beban perasaan
individu dan kelompok.
3.
Faktor yang mempengaruhi stress
Menurut
Nasir (2011: 86-88) beberapa faktor yang dianggap sebagai pemicu timbulnya
stress yang biasa disebut faktor presipitasi antara lain sebagai berikut :
a.
Faktor fisik atau biologis
Berikut
ini beberapa faktor fisik yang dapat menyebabkan stress antara lain genetika,
case history, pengalaman hidup, tidur, diet, postur tubuh dan penyakit.
b.
Faktor psikologis
Berikut
ini adalah beberapa faktor psikologis yang dapat memicu terjadinya stress
antara lain persepsi, emosi, situasi psikologis, pengalaman hidup.
c.
Faktor lingkungan
Berikut
ini adalah beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya stress
antara lain seperti dari faktor lingkungan fisik, biotik dan sosial.
4.
Pengukuran tingkat stress
Menurut
Hardjana (1994) dalam Sriati (2008) tingkat stress adalah hasil penilaian
terhadap berat ringannya stress yang dialami seseorang. Tingkatan stress ini
diukur dengan menggunakan Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) oleh
Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stress Scale
42 (DASS) terdiri dari 42 item.
DASS
adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status
emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. DASS 42 dibentuk tidak
hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi
untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang
berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya
digambarkan sebagai stress.
DASS
dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan penelitian.
Tingkatan stress pada instrumen ini berupa :
1)
Normal
(0-29)
2)
Ringan
(30-59)
3)
Sedang
(60-89)
4)
Berat
(90-119)
5)
Sangat
berat (>120)
5.
Proses terjadinya stress
Stress
adalah reaksi dari tubuh (respons) terhadap lingkungan yang dapat memproteksi
diri kita yang juga merupakan bagian dari sistem pertahanan yang membuat kita
tetap hidup. Stress adalah kondisi yang tidak menyenangkan dimana manusia
melihat adanya tuntutan dalam suatu situasi sebagai beban atau diluar batasan
kemampuan mereka untuk memenuhi tuntutan tersebut (Nasir, 2011: 75).
Pandangan
dari Patel (1996), stress merupakan reaksi tertentu yang muncul pada tubuh yang
bisa disebabkan oleh berbagai tuntutan, misalnya ketika manusia menghadapi
tantangan-tantangan (chalenge) yang penting, ketika dihadapkan pada ancaman
(threat), atau ketika harus berusaha mengatasi harapan-harapan yang tidak
realistis dari lingkungannya (Nasir, 2011: 75).
Dengan
demikian, bisa diartikan bahwa stress merupakan suatu sistem pertahanan tubuh
dimana ada sesuatu yang mengusik integritas diri, sehingga mengganggu
ketentraman yang dimaknai sebagai tuntutan yang harus diselesaikan. Disamping
itu, keadaan stress akan muncul apabila ada tuntutan yang luar biasa sehingga
mengancam keselamatan atau integritas seseorang (Nasir, 2011: 75).
6.
Jenis stress
Stress
melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami sebagai perasaan
yang baik anxiousness (distress) atau pleasure (eustress). Menurut Nasir (2011:
76) terdapat dua jenis stress yaitu antara lain sebagai berikut:
a.
Stress yang baik (eustress)
Stress
yang baik (eustress) adalah sesuatu yang positif. Stress dikatakan berdampak
baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi tuntutan untuk menjadikan orang
lain maupun dirinya sendiri mendapatkan sesuatu yang baik dan berharga. Dengan
stress yang baik, semua pihak merasa diuntungkan. Dengan begitu, stress yang
baik akan memberikan kesempatan untuk berkembang dan memaksa seseorang mencapai
performanya yang lebih tinggi.
Stress
yang baik terjadi jika setiap stimulus mempunyai arti sebagai hal yang
memberikan pelajaran bagi kita, betapa suatu hal yang dirasakan seseorang
memberikan arti sebuah pelajaran, dan bukan sebuah tekanan. Tahu diri sendiri,
tahu menempatkan diri, dan tahu membawa diri akan menempatkan kita pada suasana
yang baik dan menyenangkan, terutama dalam menghadapi suatu stimulus internal
maupun eksternal.
b.
Stress yang buruk (distress)
Stress
yang buruk (distress) adalah stress yang bersifat negatif. Distress dihasilkan
dari sebuah proses yang memakni sesuatu yang buruk, dimana respon yang
digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga
bisa diartikan sebagai sebuah ancaman. Distress akan menempatkan pikiran dan
perasaan kita pada tempat dan suasana yang serba sulit. Hal tersebut
dikarenakan cara memandang suatu masalah hanya dilihat dari sisi yang sempit
dan merugikan saja. Belum pernah dieksplorasi betapa sebuah kejadian ini
membawa makna yang luas sebagai suatu pelajaran yang berharga dan bermakna untuk
kepentingan diri sendiri dan orang lain.
Sementara
itu, menurut Korchin dalam Nasir (2011) mengatakan bahwa stress tidak hanya berupa kondisi yang menekan, baik dari
keadaaan fisik atau psikis seseorang, maupun reaksi-reaksinya terhadap tekanan
tersebut, melainkan keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Terdapat empat
jenis stress, antara lain sebagai berikut :
a.
Frustasi
Kondisi
dimana seseorang merasa jalan yang akan ditempuh untuk meraih tujuan dihambat.
b.
Konflik
Kondisi
ini muncul ketika dua atau lebih perilaku saling berbenturan, dimana
masing-masing perilaku tersebut butuh untuk diekspresikan atau malah saling
memberatkan.
c.
Krisis
Kondisi
yang dijumpai ternyata merupakan kondisi yang tidak semestinya serta
membutuhkan adanya suatu penyesuaian.
d.
Tekanan
Kondisi
dimana terdapat suatu harapan atau tuntutan yang sangat besar terhadap
seseorang untuk melakukan perilaku tertentu.
7.
Tahapan stress
Gejala-gejala
stress pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan
stress timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah
lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat
kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya (Luk Lukaningsih, 2011 : 87-88).
Robert
J. Amberg dalam Yosep (2010: 52-54) membagi tahapan-tahapan stress sebagai
berikut :
a.
Stress tahap I
Tahapan
ini merupakan tingkat stress yang paling ringan dan biasanya disertai dengan
perasaan-perasaan sebagai berikut :
1)
Semangat
besar
2)
Penglihatan
tajam tidak sebagaimana biasanya
3)
Energi
dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya.
Tahapan
ini biasanya menyenangkan dan orang lalu bertambah semangat, tapi tanpa
disadari cadangan energinya sedang menipis.
b.
Stress tahap II
Dalam
tahapan ini dampak stress yang semula menyenangkan mulai menghilang dan timbul
keluhan-keluhan dikarenakan cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang
hari. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan adalah sebagai berikut :
1)
Merasa
letih sewaktu bangun pagi
2)
Merasa
mudah lelah sesudah makan siang
3)
Merasa
lelah menjelang sore hari
4)
Terkadang
gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang-kadang
pula jantung berdebar-debar
5)
Perasaan
tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher)
6)
Perasaan
tidak bisa santai.
c.
Stress tahap III
Pada
tahap ini keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan gejala-gejala :
1)
Gangguan
usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang)
2)
Otot-otot
terasa lebih tegang
3)
Perasaan
tegang yang semakin meningkat
4)
Gangguan
tidur (sukar untuk tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau
bangun terlalu pagi)
5)
Badan
terasa gemetar, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan).
d.
Stress tahap IV
Tahapan
ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
1)
Untuk
bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit
2)
Kegiatan-kegiatan
yang semula menyenangkan kini terasa sulit
3)
Kehilangan
kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial, dan kegiatan-kegiatan
rutin lainnya terasa berat
4)
Tidur
semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan, dan seringkali terbangun dini hari
5)
Perasaan
negativistik
6)
Kemampuan
berkonsentrasi menurun tajam
7)
Perasaan
takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa.
e.
Stress tahap V
Tahapan
ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahap IV diatas, yaitu :
1)
Keletihan
yang mendalam (physical dan psychological exhaustion)
2)
Untuk
pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu
3)
Gangguan
sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar
atau sebaliknya feses cair dan sering ke belakang
4)
Perasaan
takut yang semakin menjadi mirip panik.
f.
Stress tahap VI
Tahapan
ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak jarang
penderita dalam tahapan ini dibawa ke ICCU. Gejala-gejala pada tahapan ini
yaitu sebagai berikut :
1)
Debaran
jantung terasa sangat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan,
karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah.
2)
Nafas
sesak
3)
Badan
gemetar, tubuh dingin dan keringat bercucuran
4)
Tenaga
untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps.
8.
Respon stress
Taylor
(1991) dalam Nasir (2011: 88-89) menyatakan bahwa stress dapat menghasilkan
berbagai respon. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa respon-respon
tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stress pada individu dan
mengukur tingkatan stress yang dialami individu. Respon stress dapat terlihat
dalam berbagai aspek sebagai berikut:
a.
Respon fisiologis
Dapat
ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, nadi, dan sistem
pernapasan.
b.
Respon kognitif
Dapat
terlihat melalui terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi
kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.
c.
Respon emosi
Dapat
muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti
takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
d.
Respon tingkah laku
Dapat
dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan dan flight yaitu
menghindari situasi yang menekan.
Hans
Seyle (1946) dalam Nasir (2011: 89-90) menyebutkan ada dua respon fisiologis
tubuh terhadap stress, yaitu :
a.Local
adaptation syndrom (LAS)
Tubuh
menghasilkan banyak respon setempat terhadap stress. Respon setempat ini
termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya,
dan sebagainya. Respon berjangka pendek.
Berikut
ini adalah karakteristik LAS:
1)
Respon
yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem
2)
Respon
yang bersifat adaptif, diperlukan stresor untuk menstimulasikannya
3)
Respon
bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus
4)
Respon
bersifat restoratif
b.
General adaptation syndrom (GAS)
Merupakan
respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stress. respon yang terlibat di
dalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. GAS terbagi menjadi
tiga tahap berikut ini:
1.
Reaksi alarm (waspada)
Melibatkan
pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh
dan pikiran untuk mengahadapi stresor. Terjadi reaksi psikologis fight
or flight dan reaksi fisiologis. Tanda fisik seperti curah jantung meningkat,
peredaran darah cepat, serta darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke
kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stress
mempengaruhi denyut nadi, ketegangan otot, dan daya tahan tubuh menurun. Fase
alarm Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk mengahadapi stresor.
Terjadi reaksi psikologis fight or flight dan reaksi fisiologis.
Fase
alarm Melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh seperti pengaktifan
hormon yang berakibat meningkatnya volume darah, yang pada akhirnya menyiapkan
individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepas untuk meningkatkan kadar gula
darah yang bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi.
Teraktivasinya epineprin dan norepineprin mengakibatkan denyut jantung
meningkat dan terjadi peningkatan aliran darah ke otot. Selain itu, juga
terjadi peningkatan pengambilan oksigen dan meningkatnya kewaspadaan mental.
Aktivitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan respon
melawan atau menghindar. Bila stresor masih menetap maka individu akan masuk ke
dalam fase resistensi
2.
Fase resistance (resistansi/melawan)
Individu
mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan
masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi
fisiologis sebelumnya pada keadaan normal, dan tubuh mencoba mengatasi
faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi, gejala stress akan menurun dan
tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah dan curah
jantung. Individu tersebut terjadi karena individu berupaya beradaptasi
terhadap stresor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak.
Bila gagal, maka individu akan jatuh pada tahap terakhir dari GAS yaitu fase
kehabisan tenaga.
3.
Fase exhaustion (kelelahan)
Merupakan
fase perpanjangan stress yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya.
Energi untuk penyesuaian telah terkuras. Akibatnya, timbul gejala penyesuaian
diri terhadap lingkungan seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri
koroner, dan sebagainya. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka
kelelahan dapat mengakibatkan kematian. Pada tahap ini cadangan energi telah
menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stress.
Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stresor inilah yang
berdampak pada kematian individu tersebut.
9.
Mekanisme koping pada stress
Menurut
Keliat (1999) dalam Nasir (2011: 4-6) koping dapat dikaji melalui berbagai
aspek, salah satunya adalah aspek psikososial. Menurut Riyadi (2009: 51-53)
beberapa mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
a.
Denial
Menghindari
realita yang tidak menyenangkan dengan mengabaikan atau menolak untuk
mengakuinya.
b.
Kompensasi
Proses
dimana individu memperbaiki penurunan citra diri berupaya mengganti dengan
menonjolkan kelebihan lain yang dimilikinya.
c.
Displacement
Memindahkan
emosi atau perasaan kepada seseorang atau obyek lain yang lebih netral atau
kurang berbahaya.
d.
Proyeksi
Menyatakan
harapan, pikiran, perasaan, motivasi sendiri sebagai harapan, pikiran,
perasaan, motivasi orang lain.
e.
Reaction Formation
Mengembangan
perilaku dan pola sikap tertentu yang disadari, berlawanan dengan perasaan dan
keinginannya.
f.
Isolasi
Memisahkan
atau mengeluarkan dari komponen perasaan tentang pikiran, kenangan atau
pengalaman tertentu.
g.
Introyeksi
Bentuk
identifikasi yang lebih mendalam dimana individu mengambil atau memasukkan
nilai dari orang lain yang dicintai atau benci menjadi struktur egonya.
h.
Rasionalisasi
Memberikan
alasan atau penjelasan yang masuk akal agar perilaku, pikiran atau perasaan
yang tidak dapat diterima atau dibenarkan oleh orang lain.
i.
Subtitusi
Mengganti
tujuan bernilai lebih tinggi yang tidak dapat dicapai dengan tujuan lain yang
hampir sama tetapi nilainya lebih rendah.
j.
Identifikasi
Suatu
proses dimana seseorang berusaha seperti orang yang dikagumi dengan meniru cara
berpikir dan perilakunya.
k.
Undoing
Suatu
tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan menghapuskan atau meniadakan
tindakan sebelumnya.
l.
Sublimasi
Perubahan
bentuk ekspresi dorongan atau rangsangan yang terhambat ke ekspresi yang lebih
dapat diterima oleh masyarakat secara sosial.
m.
Regresi
Dalam
menghadapi stress, perilaku, perasaan dan cara berpikir mundur kembali ke ciri
tahap perkembangan sebelumnya.
n.
Represi
Pengesampingan
secara tidak sadar tentang pikiran atau memori yang menyakitkan atau
bertentangan dengan kesadaran.
Menurut
Lazarus dan Folkman (1984) dalam Nasir (2011 : 93-94), dalam melakukan koping
ada dua strategi yang bisa dilakukan, yaitu :
a.Koping
yang berfokus pada masalah (problem focused coping)
Problem
focused coping yaitu usaha mengatasi stress dengan cara mengatur atau mengubah
masalah yang dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya
tekanan. Problem focused coping ditujukan dengan mengurangi demans dari situasi
yang penuh dengan stress atau memperluas sumber untuk mengatasinya. Strategi
yang dipakai dalam problem focused coping antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Confrontative coping
Usaha
untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat
kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.
2.
Seeking social support
Usaha
untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.
3.
Planful problem solving
Usaha
untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati,
bertahap, dan analitis.
b.
Emotion focused coping
Emotion
focused coping yaitu usaha mengatasi stress dengan cara mengatur respon
emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan
oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh tekanan. Emotion focused
coping ditujukan untuk mengontrol respon emosional terhadap situasi stress.
Strategi
yang digunakan dalam emotional focused coping antara lain sebagai berikut:
1.
Self control
Usaha
untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.
2.
Distancing
Usaha
untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan
seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif,
seperti menganggap masalah sebagai hal yang lucu.
3.
Positive reapprasial
Usaha
mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri,
biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.
4.
Accepting responsibility
Usaha
untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya
dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini
baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri.
Namun, strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung
jawab atas masalah tersebut.
5.
Escape (avoidance)
Usaha
untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau
menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau
menggunakan obat-obatan.
10.
Prinsip dasar mengatasi stress
Untuk
menangani stress tentu saja lebih dulu kita mencari sumber masalah yang membuat
kita akhirnya mengalami stress.
Menurut
Arnold Lazarus dalam Nasir (2011: 95-97) menemukan tujuh bidang pencetus stress
yang perlu kita waspadai antara lain sebagai berikut :
a.
Perilaku (behavior)
Perilaku
yang buruk dipercaya berandil besar pada terjadinya stress. Anggap saja kita
berperilaku buruk terhadap suatu keadaan, maka logikanya keadaan pun menjadi
buruk akibat reaksi yang kurang baik sehingga keadaan menjadi lebih buruk. Pada
akhirnya, semua itu kembali kepada kita yang akhirnya membuat stress. Untuk
mengatasi stress karena perilaku buruk, tidak ada pilihan lain kecuali kita
mengubah sikap dan perilaku kita menjadi positif. Hal ini akan mengurangi
tingkat stress dalam hidup. Reaksi terhadap keadaan akan menentukan seperti apa
keadaan beraksi kepada kita.
b.
Perasaan (affect)
Sikap
yang termasuk dalam affect di antaranya emosi, mood, dan berbagai perasaan
orang lain, misalnya sifat mudah marah atau emosional perlu diatasi, sebab bisa
memicu stress. Jangan berpikir bahwa sifat mudah marah, cepat emosional, dan
mood yang buruk adalah sifat pembawaan yang tidak mungkin diubah. Untuk
mengubah sifat yang mengakar kuat karena kebiasaan dan bentukan lingkungan,
membutuhkan proses yang panjang dan kemauan diri yang kuat, tapi jika kita
berani dan mau mengubah sifat-sifat buruk tersebut, kita akan lebih rileks dan
tidak gampang menjadi stress.
c.
Sensasi tubuh (sensation)
Kelelahan
juga bisa menyebabkan stress, ada baiknya kita memiliki waktu yang cukup untuk
istirahat. Ingatlah bahwa kehidupan harus berjalan seimbang. Ada waktunya untuk
bekerja, tapi ada waktunya juga untuk beristirahat.
d.
Penghayatan mentalitas (imagery)
Mentalitas
yang buruk, seperti perasaan gagal, tidak bisa melakukan segala sesuatu,
perasaan tidak berguna, atau berpikir bahwa dirinya ditakdirkan untuk miskin
dan gagal bisa mengakibatkan stress. Kita harus belajar untuk memiliki cara
pandang yang positif terhadap diri kita sendiri.
e.
Proses berpikir merangkai pengertian (cognition)
Saya
harus sempurna dan tidak boleh gagal. Sikap-sikap tersebut memang bisa memacu
kita untuk menjadi lebih baik, namun bukan berarti menjadi ukuran pencapaian
kesuksesan. Jangan buat standar hidup yang terlalu tinggi, yang justru akhirnya
menjadikan kita stress.
f.
Hubungan antar manusia (interpersonal leadership)
Cara
terbaik untuk mengatasi masalah dengan orang-orang yang ada di sekitar kita
adalah dengan saling menghargai. Dengan saling menghargai, kita bisa belajar
untuk lebih sabar menghadapi mereka, mau mengampuni kesalahan mereka, mau
mengahadapi mereka dengan kelembutan dan pengendalian diri.
g.
Obat-obatan (drugs)
Menurut
penelitian medis, obat memang diperlukan untuk mengatasi rasa sakit, tetapi
ketergantungan akan obat bisa memicu terjadinya stress. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya orang yang stress akibat kecanduan obat-obat tertentu. Segala
sesuatu dapat menjadi berbahaya jika sudah mengikat dan menjadi candu. Keadaan
ini perlu ditangani secara serius, baik dengan berkonsultasi kepada dokter
maupun melalui bimbingan konseling.
DAFTAR
PUSTAKA
1)
Alimul
Hidayat, A.Aziz, 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba
Medika: Jakarta.
2)
Arikunto,
Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta:
Jakarta.
3)
Benih
Nirwana, Ade, 2011. Psikologi Ibu, Bayi dan Anak. Nuha Medika: Yogyakarta.
4)
Damayanti,
Rita, 2012. Perilaku Berisiko Di Kalangan Orang Muda. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia: Jakarta.
5)
Dio
Martin, Anthony, 2011. Inspirasi Kecerdasan Emosional Anak Muda. Raih Asa
Sukses: Jakarta.
6)
Gita,
2011. Emotional Quotient (EQ). http://sman1kayuagung.sch.id/index.php?
pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=48, diakses 11 April 2012.
7)
Goleman,
Daniel, 1996. Emotional Intelegence. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
8)
Hurlock,
Elizabeth B, 1990. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Erlangga: Jakarta.
9)
Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2009. Masalah Kesehatan Mental Emosional Remaja.
http://www.idai.or.id/remaja.asp, diakses 20 maret 2012.
10)
Koran
Bogor, 2011. Menkes: 11,6% Penduduk Indonesia Penderita Gangguan Jiwa.
http://koranbogor.com/nusantara/menkes-116-penduduk-indonesia-penderita-gangguan-jiwa.html,
diakses 11 April 2012.
11)
Luk
Lukaningsih, Zuyina dan Siti Bandiyah, 2011. Psikologi Kesehatan. Nuha Medika:
Yogyakarta.
12)
Mahmudah,
Hakimatul, 2011. Hubungan Emotional Quotient (EQ) dengan Derajat Depresi pada
Siswi kelas XI Madrasah Aliyah Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Semarang.
13)
Monks,
Knoers, 2006. Psikologi Perkembangan.
Gajamada University Press: Yogyakarta.
14)
Mutia,
Evi dan Heru Fahlevi, 2007. Kecerdasan Emosional Dan Pengaruhnya Terhadap
Tekanan Kerja. Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala : Banda Aceh.
15)
Najmah,
2011. Managemen dan Analisa Data Kesehatan. Nuha Medika : Yogyakarta.
16)
Nasir,
Abdul dan Abdul Muhith, 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa Pengantar dan Teori.
Salemba Medika: Jakarta.
17)
Notoatmodjo,
Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.
18)
Nursalam,
2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
19)
Nur
Wulan Ningrum, Dian, 2009. Hubungan Antara Urutan Kelahiran dalam Keluarga
dengan Kecerdasan Emosional pada Remaja di SMA Muhammadiyah I Klaten. Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.
20)
Rachmi,
Filia, 2010. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku
Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro Semarang: Semarang.
21)
Riyadi,
Sujono dan Teguh Purwanto, 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
22)
Riyanto,
Agus, 2010. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.
23)
Rizki,
Arini, 2011. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional.
http://id.shvoong.com/tags/faktor-yang-mempengaruhi-kecerdasan-emosional/,
diakses 11 April 2012.
24)
Sarwono,
Sarlito W, 2011. Psikologi Remaja. Rajawali Press: Jakarta.
25)
Sriati,
Aat, 2008. Tinjauan Tentang Stress. Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu
Keperawatan: Bandung.
26)
Supriyatna,
Ena, 2010. Remaja, Psikologi Remaja, Karakteristik dan Permasalahannya.
Universitas Inderaprasta Fakultas Pendidikan Ekonomi: Jakarta.
27)
Suyanto,
2011. Metodologi dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Nuha Medika: Yogyakarta.
28)
Tridhonanto,
Al. dan Beranda Agency, 2010. Meraih Sukses dengan Kecerdasan Emosional. PT
Elex Media Komputindo: Jakarta.
29)
Yosep,
Iyus, 2010. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar